.8.
Bibik menuruni anak tangga, mendatangi Putih yang tengah duduk memandang kosong meja makan yang kosong. Bibik duduk di kursi sebelah Putih.
Sejak semalam, Bibik memperhatikan Putih banyak memandangi satu persatu benda yang ada di rumahnya. Bibik tidak tahu apa yang terlintas di benak Putih, kenangan apa yang ditimbulkan setiap barang dari rumah ini bagi Putih. Bibik berharap bukan seperti kenangan yang menyakitinya semalam.
Bibik penasaran apakah peristiwa bayangan menyakitkan yang menimpa Putih sudah mencapai puncaknya semalam.
Sekilas, muncul sebuah penyesalan dalam benak Bibik, pernah mengatakan bahwa Gama sudah punya kekasih baru agar Putih bisa melupakan Gama. Bukannya bisa melupakan, keinginan Putih justru semakin kuat untuk mengenang Gama.
Perenungan Bibik berakhir ketika Putih mempertanyakan arti keberadaan mereka setelah meninggalkan jasad. Bibik hanya bisa bertutur tentang apa yang sering orang-orang bijak katakan, bila ketiadaan mereka di dunia adalah awal dari perjalanan yang panjang. Dan Bibik selalu meyakinkan Putih selalu akan ada jalan cerita baru di depan.
“Bik..?”
“Ya..?”
“Aku pingin dengar puisi Bibik lagi, nih. Sepertinya enak kalo Bibik baca puisi.” pinta Putih.
Bibik tersenyum mendengar pinta Putih dengan suara yang tidak biasa. “Iya..."
Bibik langsung menunduk kusuk mempersiapkan pembacaan karya Gama di atas panggung.
###
Menjelang sore hari, minivan yang biasa dipakai keluarga Ibu Ros dan sedan lawas Iwan merapat di depan beranda rumah besar.
Dari pintu depan minivan keluar Dewi dan Ayah, diikuti Iwan keluar dari sedannya. Dewi mengenakan pakaian hitam-hitam membawa toples berisi air bercampur bunga.
Dewi ditemani Ayah dan Iwan, tidak pernah absen untuk mengisi jadwal dua mingguannya mengunjungi makam adiknya. Kegiatan rutin ini tidak pernah diikuti Ibunya. Ibu Ros tidak berani untuk mengunjungi Dukuh Trowulan setelah peristiwa panas itu. Ibu Ros hanya menunggu di rumah Ayah.
Ibu Ros dan Dewi tinggal di rumah Ayah setelah tidak lagi menempati rumah besar. Atas bujukan Dewi, belakangan Ayah memutuskan kembali rujuk dengan Ibu Ros.
“Kak Dewi...!?” Putih menoleh antusias ke arah ruang depan. Suara kedatangan mobil yang membawa Dewi dan Ayahnya menyela cerita dari Putih untuk Bibik.
Putih beralih ke Bibik, “Bik, Kak Dewi…”
“Kakak dan ayahmu datang…”
“Bik, aku kangen Kak Dewi,... Aku kangen Kak Dewi."
“Iya, Bibik tahu.” lirih Bibik berat.
Bibik merasakan keinginan kuat yang sering dielukan Putih untuk bisa menampakkan diri kehadapan kakaknya dan menghabiskan waktu bersama seperti ketika mereka masih satu atap.
“Bik, aku kangen Ayah... aku kangen Kak Dewi...”
“Meski kamu tidak lagi hadir dihadapan mereka, hati mereka masih menyimpan sayangnya untuk kamu. Gama..., Dewi..., Ayah…” Bibik memandang foto Ibu Ros di tembok ruang tengah, foto yang membuat Putih selalu tidak nyaman setiap masuk ke rumahnya sendiri.
“…mungkin juga ibu kamu. Ia memang keras, tapi Bibik yakin masih ada sayang di hatinya. Panjatkan harapan baik untuk mereka, sebagaimana mereka mendoakan yang baik untuk kamu. Dan biarkan doa kalian yang saling bertemu. ...Biarkan doa kalian yang bertemu.” Seandainya Bibik masih memiliki air mata, mungkin saat ini ia sudah menitikkannya.
“Kak Dewiii… Kaak... ” lirih Putih memanggil Dewi, berharap kakak tersayangnya akan benar benar mendengar teriakan pelannya.
#-#-#
Ayah, Dewi, Iwan duduk mengelilingi pusara dengan nisan terpahat nama Nala. Dengan mata mulai basah, Dewi menaburkan bunga di atas pusara.
Bunga yang ditabur Dewi adalah hasil dari tanaman di halaman belakang rumah Ayah. Ibu Ros sengaja menanamnya sebagai penebusan kesalahannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Sembari berharap bahwa benar apa yang orang kebanyakan katakan, bunga dan doa bisa menenangkan kepergian anak bungsunya.
Dewi beranjak berdiri meninggalkan Ayah dan Iwan yang masih khusuk di depan pusara. Dewi tidak pernah bisa berlama-lama ikut berdoa di depan pusara adiknya. Menabur bunga di atas pusara, air matanya langsung meleleh membasahi kaca mata dan pipi.
Iwan menghampiri Dewi yang berdiri beberapa langkah membelakangi pusara Nala. Iwan merangkul bahu Dewi berusaha menenangkan isak Dewi, “Kamu yang ikhlas, ya?”
“Nala Kak!... Nala...!” rintih Dewi sesenggukan memanggil nama adiknya. “Naalaa...” pekik Dewi.
“Iya. Sudah... Nala anak baik, dia pasti menemukan kebahagian di manapun dia berada sekarang.” Iwan membantu mencopot kaca mata Dewi. Iwan mengusap air mata di kedua pipi Dewi.
Jika sudah berada di hadapan pusara. Hanya nama Nala yang bisa keluar dari bibir Dewi.
Dewi tidak lagi kuasa membendung air mata yang makin deras, kali ini membasahi baju hitamnya, kepalanya bersandar di dada Iwan tidak kuat menahan tubuhnya yang melemah.
Dewi masih merasa bertanggung jawab pada peristiwa siang itu. Seharusnya ia tidak hanya menitipkan kunci cadangan ke Oki. Seharusnya dia bisa bertindak lebih, seperti yang biasa ia lakukan. Menjaga Nala adalah prioritas utama setelah perpisahan kedua orang tuanya. Tapi pagi itu bercerita lain.
Iwan menoleh ke Ayah, sebelum merangkul dan menuntun Dewi menjauh dari pusara Nala. “Kita nunggu Ayah di mobil aja, ya?”
“Nalaa… Nalaa..!” rintih Dewi makin keras diantara sesenggukannya. “Naalaa....”
Dewi tidak berdaya diantara ingin berlama-lama di makam adiknya dan tubuhnya yang tidak lagi kuat menahan sedih.
Iwan mengelus punggung Dewi untuk menenangkan, “Yakinlah dia bahagia, yakinlah dia bahagia. Ya?"
Sesengguk Dewi makin keras seiring langkahnya menjauh dari pusara. Iwan membimbing Dewi menepi dari tengah pemakaman untuk beristirahat di mobil.
#-#-#
Bayangan bulan menari di atas riak aliran sungai membuahkan senyum di paras Putih.
Putih duduk di atas bale bambu, Putih berusaha menikmati aura sungai tempat dimana Gama sering mengajaknya untuk berbagi tawa. Putih meraba-raba ingatan polah Gama yang bisa membuatnya tersenyum atau terkadang membuatnya kesal. Sketsa wajah Gama pun ikut terbayang.
Bale bambu menjadi saksi bisu cerita indah mereka. Aliran air sungai menjadi saksi gemericik cerita mereka. Putih tidak ingin ada cerita baru untuknya, seperti apa yang sering Bibik elukan kepadanya. Entah apa itu. Walau Bibik selalu menanamkan bahwa sesuatu yang indah akan datang untuknya, Putih hanya ingin ceritanya bersama Gama kembali.
“Tumbuhan apa, ya?” Sekelebat sebuah suara terngiang di sekeliling Putih mengganti gemericik aliran air sungai. Suara yang berasal dari salah satu kenangannya bersama Gama di sungai Dukuh Trowulan ini seakan hadir kembali.
“Bangkai juga ?”
“Eh, istilah buat tumbuhan mati… kalo nggak salah, sayur.”
“Kok sayur ? Ngawur. Kebiasaan nih Kak Gama…”
“Aaah, oke maaf... maaf!! Kak Gama, maaf. Aku abis luluran loh!”
“Abis luluran ya? Makanya jangan cari gara-gara...”
“Aahh… tuh kan, jadinya basah. Kak Gama jahat! Lulurnya jadi luntur, tuh? Hayo, tanggung jawab!”
“Tadi bilang lulurnya palsu…”
“Iya, hi hi…”
Dengan tersenyum Putih mendongak ke langit malam. Putih masih mendamba bisa menemukan keping memori indahnya bersama Gama. Kenangan akan Gama semakin memudar dan Putih belum menemukan jawaban kenapa kenangannya terpotong hanya sampai kenangan di pagi ia memasakkan nasi goreng untuk Gama.
Pandangan Putih bergeser memandang bulan. Putih berharap saat ini Gama ada di sampingnya, menemaninya memandangi apa yang ia lihat. Bulan hampir purnama berhias cantik awan tipis dan beribu bintang. Langit Dukuh Trowulan tidak menampilkan awan mendung seperti kemarin.
“Kak Gama lihat, deh. Bulannya cantik, ya?” lirih Putih masih memandang langit malam. “Cantik ya, Kak?”
“…” Sungai Dukuh hening.
“Kak Gama, nggak pingin nulis cerita tentang bulan? Pasti keren..” lirih Putih lagi. “Pasti banyak yang suka.”
“…” Sungai Dukuh masih hening.
Putih beralih memandangi lama aliran sungai yang masih menampilkan bayangan bulan hampir purnama. Putih menahan senyumnya ketika sebuah lintasan ingatan tentang Gama kembali mampir.
Putih memandang dalam dalam aliran sungai dukuh. “Kak Gama, aku kangen, deh.” lirih Putih.
“Aku kangen, Kak...”
Pohon bambu meneteskan salah satu sulur daunnya untuk Putih.
Pohon bambu menjatuhkan sulurnya di atas aliran sungai Dukuh Trowulan untuk Putih. Pohon Bambu yang pernah menjadi saksi kehangatan cerita Putih di sungai Dukuh Trowulan tidak lagi kuat menahan sulurnya untuk menitik.
#-#-#
Gama keluar rumah.
Raut muka Gama tampak sangat butuh kopi buatan Bu Piye. Kopi dengan takaran pas, kopi yang tidak pernah bandel rasa manisnya.
Berganti tema untuk novel barunya tidak semudah seperti yang ia bayangkan. Ia terus dibuat kusut selama proses pengerjaan dan kesulitan menemukan akhir cerita yang pas.
Apalagi sejak siang Putih memasuki rumahnya, konsentrasi Gama terus bercabang.
Dari kejauhan, Putih berjalan dari arah sungai hampir mencapai rumah Bibik, langsung menepi untuk menyembunyikan diri. Putih menggeser langkahnya pada kegelapan pepohonan, ia tidak ingin Gama melihat bayang putihnya.
Sementara itu, sebelum jauh dari teras rumah, Gama hampir menoleh, sesuatu seperti memanggilnya. Gama meragu untuk menengok, Gama melanjutkan langkah majunya ke warung Bu Piye.
#-#-#
“Kopi, Gam?” tanya Bu Piye pada Gama yang mendatangi meja panjang.