Aku sengaja memilih duduk di jendela, bukan lorong, di pesawat ini. Ingin kuihat mega putih yang bergerombol. Lalu tercerai semacam kapas-kapas kecil yang berlarian. Kemudian menggumpal menjadi tumpukan kasur besar. Di sanalah aku ingin melihat cuplikan film kisahku. Di antara perjalanan udara yang melelahkan antara Amsterdam Schiphol menuju Kuala Lumpur International Airport. Beruntungnya petugas boarding pass tadi menawarkan apakah aku ingin duduk di jendela atau lorong, sehingga aku dapat memilih untuk menyepi dengan pemandangan di luar kotak kaca ini.
Kontrak kerjaku sebagai asisten terapis di Rumah Rehabilitasi dan Perawatan Careyn de Vier Ambachten, Kota Spijkenisse, Netherland, telah habis. Tepatnya dihabiskan oleh manajemen. Aku selesai dini setelah terlibat masalah yang menyeretku. Leganya, aku mendapat semacam uang pesangon dari perusahaan, meski tak terlampau besar. Kini aku pulang ke Indonesia.
Hampir dua tahun aku berada di Spijkenisee, kota kecil di Selatan Belanda yang membawaku pada emosi tersendiri jika mengingatnya. Tante Uma dan Om Didik sudah tak lagi dapat menahanku supaya memperpanjang visa kerja. Tak juga Frederica Deceuninck, si cantik resepsionis Careyn de Vier Ambachten yang giginya tersusun rapi, mampu membuatku menangguhkan seminggu kepulanganku. Bahkan Ruud Krajenbrink yang kuanggap sebagai bapakku di tanah rantau belum sempat kukabari bahwa hari ini aku sudah berada di pesawat untuk pulang. Kutinggalkan semua kenangan di Spijkenisse dengan lambaian tangan terakhir pada Tante Uma yang mengantarku di stasiun menuju Amsterdam.
Aku harus pulang. Sebuah berita yang mengejutkanku pukul 12 malam itu (di indonesia pukul 4 sore) membuatku seperti orang kesurupan. Safiya, kakak perempuanku satu-satunya yang kegemarannya hanya menangis saat menelepon itu, memberikan ultimatum bahwa aku harus pulang ke Indonesia sekarang. Awalnya kupikir dia menangisi suaminya, Herman, yang masih berada di penjara Politiebereau Spijkenisse. Jika tidak, pasti dia menangisi bapak karena mungkin cardiovascular yang bersarang di otaknya kembali berulah. Namun Safiya memberikan kabar yang lain. “Innalillahi, ibu berpulang.”
Aku runtuh.
Terisak-isak Safiya bercerita mulai dari awal. Saat malam sebelumnya ketika ibu mengeluhkan dada kirinya yang sesak. Lalu keringat dingin yang terus mengucur di sekujur badan. Hingga ibu harus masuk ICU dan meninggal dalam ketenangan. Matanya terkatup seperti orang sedang bermimpi indah.
Aku tak mendengar jelas semua cerita-cerita Safiya. Semua seperti samar-samar nada seorang perempuan yang mendendangkan lagu sedih di kejauhan. Meski kupikir jaringan satelit untuk telepon seluler ini tak bermasalah. Dan aku tak membalas satu pun ucapannya, meski dia berulang kali memohon maaf atas kelalaiannya yang tak bisa menjaga ibu saat aku merantau jauh di negeri orang. Aku masih diam, meski lirih kuucap, “Ya Allah, ibuku.”
Tenggorokanku tercekat. Ada semacam batu sebesar puncak Mahameru yang menindih dadaku. Sekuat apapun ingin kukembalikan kesadaran, tetap saja aliran air di sudut-sudut mataku ini berjatuhan. Bahkan bukan dari mata yang keluar, dari hidung kini lelehan itu berjatuhan. Aku menangis tanpa suara. Lama. Hingga dadaku perih menahan batu besar itu.
Ibu sehat selama ini. Selalu sehat. Ibu jelas lebih sehat dibanding bapak yang harus duduk di kursi roda karena stroke bertahun-tahun. Aku sering meneleponnya. Menanyakan kabarnya dan kabar bapak. Selalu cerita menyenangkan yang ibu beritakan. Lalu di akhir ceritanya selalu terselip kata-kata, “Kapan kamu pulang, Aryo?”
Aku kembali meratap mengingat kalimat itu. Mengapa aku harus meninggalkan tanah air hanya demi kemauanku semata? Bekerja di tanah Eropa, mendapat gaji besar, pengalaman bertemu dengan banyak orang, kincir angin, kanal-kanal besar, tulip, laskar sepak bola oranye, Van Gogh, Ratu Belanda. Omong kosong! Aku tetaplah pemuda Jawa biasa. Seorang dari bekas koloni negara kulit putih yang kadang masih merasakan diskriminasi di Eropa. Cukup sudah kisahku di kota ini, Spijkenisse. Sekarang saatnya aku pulang.
Kepulanganku ternyata didahului dengan sesuatu yang menyesakkan. Sakit hatiku ini saat mengenang bagaimana aku mendebat ibu yang kurang merestui kemauanku untuk pergi ke Belanda. Harusnya aku mengabaikan kemauanku dan menuruti kemauan ibu untuk tetap di rumah. Menjaga bapak yang juga stroke. Sakit hatiku ini yang tak bisa mendekap ibu dan mencium wajahnya di sisa akhir hayatnya. Aku sungguh ingin mendengar suaranya, melihat parasnya yang masih jelita di usia senja, dan menyentuh tangan keriputnya yang dulu amat berjasa menjadikanku beranjak dewasa.
Aku lunglai. Mengapa penyesalan harus dicederai dengan “kemauanku” versus kemauan orang lain.
Gumpalan awan berceceran. Membentuk gelombang putih yang makin membesar. Terkadang menghilang. Biru seluruhnya dalam penglihatan. Lalu datanglah lagi ceceran seumpama kapas putih itu. Kembali menyatu membantuk awan yang besar. Di sanalah lamat-lamat kupandang wajah ibu. Matanya yang teduh, hidungnya yang mungil, serta bibirnya yang tipis.
“Are you okay?” Aku terperanjat. Suara lelaki tiga puluhan tahun di sebelah dudukku itu menggangguku. Suara bass yang dalam. Bukan aksen Belanda yang banyak mendapat tekanan di laring bagian atas yang sering kudengar. Orang ini beraksen Selatan Eropa. Mungkin orang Portugal atau Spanyol.
“It’s better for you to close the window!” bule ini kembali berkata. Dagunya terangkat sembari menunjuk ke jendela kecil ini. Nadanya macam seseorang yang memerintah pada anak kecil.
“I’m fine,” ucapku singkat. Kulirik lagi lelaki di sebelahku. Lelaki bertotol-totol merah sekujur badan. Berkumis pirang tebal, berwajah garang, rambut coklat tua acak-acakan. Hanya mengenakan singlet polos hitam dan celana pendek. Tato melingkar di ujung lengan. Gambarnya seorang perempuan.
Tidak sopan, makiku dalam hati. Menaiki pesawat dengan banyak orang hanya memakai kaos singlet. Bulu keteknya berhamburan pula keluar. Untunglah hidungku ini mampet karena semalaman berteman dengan sesak dan air mata. Mungkin jika hidungku ini plong, bau tikus comberan akan membebani perjalananku hingga tiba di Kuala Lumpur nanti.
“Twice! Malaysia Airlines.” Lelaki itu berkata ringan. Menunjukkan dua jarinya.
“What?” Aku bingung maksdunya.
“Kamu tahu kalau maskapai yang kita naiki ini sudah dua kali mendapat kecelakaan besar,” ucapnya dengan tatapan yang mengerikan.
“Ya, aku tahu itu. Sekali menghilang tanpa bekas meski seluruh dunia mencarinya, kedua kali dibom di Ukraine berkeping-keping,” ucapku.
“Karena itu aku tahu banyak orang takut naik pesawat ini. Kamu juga, bukan? Kuperhatikan kamu selalu menatap ke luar jendela. Sudahlah jangan panik. Titipkan saja nyawa kita pada pilot dan kotak hitam pesawat untuk sementara,” ujarnya terkekeh. Dia tanpa sadar mempermainkan nyawanya sendiri.
Bodoh! Aku hanya menitipkan nyawaku pada Tuhan. Aku tak membalas omongan basa-basinya lagi. Aku hanya ingin bernostalgia dengan awan-awan putih yang berarak di kejauhan. Menatap senyum ibu yang merekah menyambutku di antara gumpalan awan-awan itu. Aku tahu senyum itu tak akan pernah hilang dalam hidupku. Dimulai sejak aku dapat membuka mataku saat bayi hingga aku berusia dua puluh tujuh tahun kini.
“Coffee, tea, or softdrink?” Kembali aku terperanjat. Seorang pramugari dengan kotak alumunium dengan aneka minuman di atasnya tiba-tiba saja sudah berada di samping lelaki bersinglet itu.
“Coffee,” jawab lelaki itu cepat. Melepaskan kepala dari sandarannya.
“Coffee, too.” Aku ikut menjawab. Kupikir secangkir kopi akan membuatku tenang saat ini. Walaupun aku tahu jika tidak ada kopi senikmat kopi arabika Indonesia. Kalian boleh mendebatku soal itu, setidaknya aku sudah merasakan kopi di kedai-kedai kopi di Belanda.
“Thank you,” ucapku saat tangan lentik dengan kulit kuning langsat itu mengulurkan secangkir kertas kopi. Aromanya tak kucium hebat. Sudah kebas indra penciuman ini sejak tadi malam.
Seorang pramugari Asia yang menawan. Senyumnya mengembang. Rambutnya digelung ke belakang. Baju batik biru dua potongan panjang yang ia pakai mengingatkan aku pada batik pesisir Jawa Timur, Tuban atau Lamongan. Namun kukira mereka akan mengklaim bahwa motif batik itu asli Malaysia. Terserahlah! Jika Unesco tidak memberikan pengakuan resmi masterpieces of the oral and intangible heritage of humanity tahun 2009 untuk batik Indonesia, mungkin perseteruan klaim batik tak akan kunjung sirna antara dua negara.