Jikalau berbincang tentang waktu, maka yang cepat adalah waktu saat bahagia, yang lambat adalah waktu saat bersedih, yang mencemaskan adalah waktu saat menunggu, dan yang paling menggairahkan adalah waktu berbuka puasa.
Aku merasa waktu benar-benar lambat dan mencemaskan. Turun di KLIA, kemudian masuk antrian pemeriksaan passport, masuk ruang tunggu, naik pesawat yang membawaku ke Surabaya, hingga menaiki mobil travel yang kupesan sebelumnya untuk mengantar ke Lawang Malang. Semuanya terasa lambat dan mencemaskan. Sehingga aku lebih suka langsung membawa cerita ini ketika mobil travelku sudah tepat berada di depan rumah.
Sore, pukul lima waktu Sumberporong, Lawang, Malang.
Tenda berwarna hitam didirikan di depan rumah. Hanya satu petak saja. Ini sudah cukup menandakan bahwa yang punya rumah bukan sedang mengadakan acara kegembiraan semisal kawinan. Meski beberapa kursi plastik berwarna hijau dideretkan. Ini tenda kematian untuk orang tahlilan. Jika tenda yang dipasang di depan rumah berjumlah dua atau tiga petak itu menandakan yang punya hajat cukup siap dalam mengadakan acara. Jika tendanya lima petak berarti orangnya mengundang lebih dari lima ratus orang. Namun jika tenda yang di pasang di depan rumahnya berjajar hingga lebih dari lima petak, maka semua tetangga pasti akan bicara: lebih baik kau sewa gedung pernikahan saja!
Aku turun perlahan dari mobil yang selama perjalanan sopirnya tidak kuajak berbicara apapun kecuali tempat tujuanku ini. Kupandang sebentar rumah sederhana dengan pagar besi bercat hitam itu. Sama persis keadaannya saat kutinggalkan dua tahun lalu. Taman sempitnya masih ditumbuhi dengan melati, wijaya kusuma, bonsai serut, dan tanaman perdu yang daunnya runcing berwarna putih hijau (apalah namanya aku tak tahu). Mereka rupanya betah dan berlama-lama hidup di situ, meski orang yang menyiraminya kini telah tiada.
Orang-orang langsung mengenaliku. Pakdhe, paklik, budhe, bulik memelukku bergantian. Sebagian histeris dan menyesal karena aku baru datang padahal jenazah sudah dikebumikan pagi tadi pukul sembilan.
Budhe Kasihani menghujaniku dengan ciuman di seluruh wajah sambil memelukku amat erat. “Oalah, Le, Le…” Tangisnya tak henti berderai-derai. Namanya Kasihani, mungkin dia selalu saja kasihan dan berempati pada orang lain. Apalagi mendapati keponakannya ini pulang tanpa bisa menengok wajah ibunya lagi. Aku tak mengapa budhe yang paling perhatian dengan keluarga kami itu berlama-lama memeluk dan menciumiku, tapi seharusnya dia sadar bahwa bau mulutnya masih memancarkan aroma rawon dengan sambal plus kecambah pendeknya.
Sepanjang langkahku menuju pintu masuk rumah, sudah puluhan kata sabar terngiang. Jika tak salah sudah dua puluh tiga kali kata sabar terucap dari orang-orang. Anehnya, aku bisa tegar. Aku melangkah tenang, tidak goyah meski dilanda turbulensi pesawat, tidak sesenggukan walau aku melakukannya di sepanjang jalan pulang. Tak tahu apakah karena kata sabar yang banyak disebarkan oleh orang-orang itu telah mempengaruhi, ataukah karena aku sudah tak bisa lagi menitikkan air mata pada saat orang berkumpul begitu riuh di rumahku yang biasanya sunyi.
“Assalamualaikum,” uluk salamku.
“Waalaikumsalam,” serempak orang di dalam ruang tamu menjawab.
“Aryo pulang,” celetuk seseorang. Namun aku lebih tertarik memandang ruang tamu yang berbeda dari sebelumnya ini.
Satu set kursi lama ukiran jati yang ada di ruang tamu itu disingkirkan ke depan rumah. Karpet digelar. Orang-orang yang melayat duduk bersila di atasnya. Ruang ini tidak terlampau luas, tetapi sebuah karpet utuh tak mungkin mampu menutupinya. Sehingga di ujung Utara karpet merah bermotif bunga, di tengah karpet coklat dengan gambar sebuah kuda besar, dan di Selatan karpet hijau dengan lukisan pohon nyiur. Terserah kau kuda, mau makan bunga di sisi kiri atau daun nyiur di sisi kanan.
Orang-orang yang melayat juga dihadapkan dengan kue-kue ringan. Ada keripik singkong, keripik pisang, kacang, dan cookies. Aku yakin hanya anak-anak kecil yang dibawa oleh orang tuanya yang mau makan jajanan yang disediakan itu. Ini tempat untuk berduka cita bukan untuk bersuka cita dengan makan-makan atau minum sesukanya.
Selain itu terdapat pula jagung pipilan dan biji kopi utuh. Jelas yang ini bukan untuk dimakan atau gigimu bisa rompal alias retak. Tradisi di sini, orang-orang yang melayat akan membaca surat Al-Ikhlas pada satu biji jagung atau satu biji kopi, lalu menaruhnya ke piring yang lain. Di acara tiga atau tujuh hari kematian, jagung akan dikukus, ditaburi garam dan kelapa, dibungkus daun pisang, lalu dibagi-bagikan. Sedangkan kopi akan disangrai, digiling, dibungkus plastik kecil, lalu dibagikan juga. Supaya apa? Aku juga tak tahu, namanya saja budaya. Kalau kau mengingkarinya karena tidak ada dalam tuntunan, silakan. Aku sudah mengatakan kalau ini budaya orang di sini.
Mataku cepat bergerak. Kucari orang yang paling ingin kusentuh tubuhnya. Bapak. Dia duduk di atas kursi roda. Memakai baju taqwa berwarna putih, sarung hitam, dan songkok hitam. Siapa yang memakaikan songkok itu? Terlihat miring menagapa tidak dibetulkan. Semenjak stroke, bapak memang tak pernah peduli dengan penampilan. Jika ibu tidak mengomel untuk menggunting kumis dan cambangnya, maka akan dibiarkannya bulu-bulu itu macam belukar tumbuh di wajahnya. Kini, yang nampak olehku juga demikian. Janggut dan kumisnya yang tiga per empatnya berwarna putih itu tidak keruan, awut-awutan. Barangkali di umur 75 tahun, bapak sudah tak suka lagi berhias. Oh, kuralat pernyataanku barusan. Tangan kanan bapak yang stroke menyulitkannya untuk melakukan kegiatannya itu. Jangankan sekadar menggunting kumis, jika makan saja sendoknya sering bertengkar dengan piring, alias menimbulkan kegaduhan bunyi tang ting tang ting. Malah sendoknya sering terjatuh ke lantai.
Matanya yang sayu menatapku. Mata yang sudah melihat sejarah hidup yang keras. Menjadi prajurit angkatan bersenjata. Memanggul senjata. Mengadakan konfrontasi dengan Malaysia 1962. Mengikuti pasukan perdamaian PBBd di Timur Tengah, Sinai 1976. Kini berada di kursi roda karena stroke dengan mata yang sayu. Dan mata itulah yang menjadi semacam jendela besar pengingat sejarah hidupnya. Aku bahkan sering tak bisa berlama-lama menatap sorot matanya sejak dulu. Rasanya banyak rahasia yang tersimpan di retinanya.
Tak tahan dengan sorot sayu mata bapak, aku pun menghambur ke pangkuan bapak. Kupeluk kakinya. Kepala ini kutaruh di pangkuannya. Aku masih merasakan seperti anak kecil yang rindu dibelai oleh orang tuanya. Kemudian tangan kanan itu bergetar, pelan-pelan terangkat dan mendarat di kepalaku. Diusapnya rambutku ini dengan gerakan yang susah payah. Dan aku menemukan kedamaian di sana.
“Doakan ibumu, Aryo,” kata bapak dengan nada putus-putus. Suara bapak memang susah dikeluarkan sejak stroke menimpanya sepuluh tahun lalu.
Aku mengangguk. Aku tak sanggup berkata-kata. Meski tak ada juga air hujan yang keluar dari mata.
Inilah pertemuan pertama kalinya antara bapak dan anak sejak dua tahun terakhir. Dua tahun masa yang pendek bila itu membahagiakan, tapi menjadi masa yang panjang bila menyedihkan. Aku memilih di antaranya saja. Pertemuan yang sungguh menguras emosi, tanpa ada ibu yang seharusnya menjadi tempat curahan hati.