Tujuh hari sudah ibu meninggalkan kami semua. Kini rumah ditata seperti semula. Tenda dibongkar. Karpet digulung. Kursi tamu diletakkan pada posisi semula. Budhe, pakdhe, paklik, bulik, yang biasanya setelah subuh bertandang ke rumah kini sudah tidak lagi menampakkan diri. Bahkan Safiya pun sudah pulang ke rumahnya di Kota Malang. Sementara anak-anaknya sejak tiga hari yang lalu sudah mulai belajar di sekolah.
Rumah menjadi sepi. Hanya aku dan bapak yang mondar-mandir di rumah ini. Aku ke dapur, bapak di ruang tamu. Aku duduk di ruang makan, bapak menggerakkan kursi rodanya melihat televisi. Kadang kami berpapasan di jalan masuk ke dapur. Dan di situlah aku berkata, “Sebentar ya Pak, makanan belum siap.”
Itulah yang membuatku bingung. Mau kumasakkan apa bapak hari ini. Aku jelas tak cakap meracik bumbu-bumbu dapur seperti ibu. Bahkan sekadar membedakan kunyit, jahe, dan lengkuas saja belum tahu. Paling banter telur orak-arik yang dapat kubuat. Sedikit naik level masakanku saat melihat konten youtube tentang cara membuat masakan.
Kutengok kulkas. Barangkali ada banyak bahan yang dapat kugunakan pagi ini. Namun saat melihatnya aku menghentikan keinginanku semula. Aku putuskan tidak jadi masak hari ini karena rupanya masih banyak masakan yang tersimpan di sana. Bekas tahlilan tadi malam. Aku memanaskannya. Tiga menit kemudian makan pagi sudah tersaji di meja makan.
Beras, gula, dan mie menggunung di ruang tengah. Sumbangan dari pelayat yang menjejali rumah ini sejak seminggu lalu ini rencananya juga akan kusumbangkan ulang. Tak kan habis tiga bulan bila hanya kugunakan bersama bapak saja. Lebih baik diberikan pada yang membutuhkan.
Aku memanggil bapak untuk mengajaknya sarapan. Namun aku terdiam saat melihatnya dengan tertatih-tatih bangkit berdiri dari kursinya. Tubuhnya yang besar menyulitkannya berdiri saat stroke menyerang otak. Perlu sebuah perjuangan hebat yang dilakukan penderita stroke hanya untuk sekali berdiri. Dan biasanya aku akan langsung berlari pada bapak, memapah tangannya, membuka penahan kaki di kursi roda. Namun kali ini aku membiarkannya.
Bapak berdiri dengan kaki yang gemetaran tepat di bawah foto perkawinan bapak dan ibu. Tangan kirinya yang masih berfungsi dengan baik menempel di tembok, menahan dengan erat. Sedangkan tangan kanannya itu menggapai pada bingkai foto itu. Beberapa kali usahanya belum membuahkan hasil. Namun akhirnya tangan kanannya yang juga bergetar itu mampu mengambil foto hitam putih itu. Foto pernikahan mereka. Bapak memakai jas resmi angkatan bersenjata sedangkan ibu memakai kebaya lengkap dengan riasan pengantinnya.
Kudengar nafas bapak ngos-ngosan setelah dapat meraih bingkai foto itu. Itulah perjuangannya yang hebat, mampu membuat tubuhnya berdiri dan mengambil foto tanpa bantuan. Kukira perjuangannya dulu sewaktu masih jadi prajurit lebih ringan meski harus mendaki gunung, menyusur sungai, merangkak di lelumpuran, dan maju di area gelanggang perang. Saat tubuh sehat apa saja dapat dikerjakan ketika muda. Sekarang, hanya untuk mengambil foto saja sudah membutuhkan usaha yang berlipat ganda.
Selanjutnya bapak kembali duduk di kursi roda. Dipandangnya foto itu berlama-lama. Foto itu jelas tak akan mampu berbicara pada bapak, tetapi kenangan yang ada saat melihatnya membuat bapak seakan dapat berbicara dengannya. Dengan masa lalunya. Itulah sebabnya aku tak bisa membantu bapak berdiri atau mengambilkan foto itu dengan sekali gerakan saja. Aku tahu bapak sedang ingin mengenang sesuatu. Sehingga layak baginya memperjuangkan itu sendirian.
Aku masih saja mematung memperhatikan dari kejauhan. Setelah itu bapak mengelap seluruh permukaan foto. Dia membersihkannya dengan ujung sarung yang dikenakannya. Melalui ujung jari-jemarinya yang bergetar. Sebenarnya tak tega aku memandangnya sejak saat pertama tadi. Aku bisa dengan mudah mengambilkan lap atau tisu, kemudian membuat foto yang sedikit berdebu itu kembali kinclong. Namun, sekali lagi aku harus menahan diri. Sambil terus menatap apa yang terjadi berikutnya.
Setelah merasa cukup membersihkan seluruh permukaan foto itu, bapak sekali lagi memandangnya. Tidak seberapa lama kemudian dia memeluk foto itu degan erat. Seakan ingin mendekap kenangan yang tak ingin dibuang. Lima puluh tahun mereka bersama. Banyak yang terjadi. Banyak kenangan dan masa lalu yang terlampaui.
Aku yang tak kuat melihatnya. Seorang tua yang duduk di kursi roda mendekap kenangannya melalui sebuah foto hitam putih pernikahan mereka. Air mataku luruh. Aku belum merasakan sebuah pernikahan. Apalagi sebuah pernikahan yang lama. Tentu rasa kehilangan itu telah menyakitkan seluruh perasaan. Meski aku paham benar, bapak tidak akan menangisi keadaan.
Seingatku, hingga kini bapak tidak pernah menangis. Bapak tidak pernah mengeluarkan air matanya di depan orang lain. Aku tidak tahu apakah itu tanda seorang laki-laki yang tegar ataukah karena didikan bapak di tentara yang membuatnya seperti itu. Hingga bapak terserang stroke pun, tak sekali pun bapak dapat meneteskan air mata. Padahal aku tahu jika para penderita stroke itu mengalami masalah dengan syaraf mereka. Stimulus sedikit saja yang tertangkap emosi di otak mereka langsung direaksikan gegap gempita. Tak heran penderita stroke biasanya menjadi sangat pemarah, membanting semua yang ada di dekatnya jika ada yang kurang berkenan di hati. Pernah kulihat mereka menangis meraung-raung hanya karena teringat sesuatu yang menyedihkan. Sering juga orang-orang seperti itu tertawa terbahak-bahak haya karena menonton drama komedi. Maklum, pengereman emosi di otaknya sudah dol, tak bisa dikendalikan lagi dengan sempurna.
Bapak tidak seperti itu. Pembawaannya yang tenang sejak dahulu tak berubah meski stroke telah membuat syarafnya pecah. Setengah badan bapak sebelah kanan tak bisa digerakkan. Kursi roda menjadi alat bantu bapak bergerak. Ke depan dan ke belakang rumah, bapak duduk di kursi dengan tangan kiri yang menyetel pergerakan lajunya. Itu untuk badannya. Sementara untuk emosinya masih stabil. Setidaknya kulihat bapak terlihat tegar selama tujuh hari meninggalnya ibu. Tak ada air mata, tak ada penyesalan atas sebuah kehilangan. Bapak menerima tamu dengan tenang. Walaupun tidak juga bapak bisa runtut menceritakan pada tamu tentang detik-detik terakhir ibu berpulang. Sama seperti penderita stroke lainnya yang susah mengucapkan sesuatu, lidah bapak juga kelu.
Kembali kupandang bapak dari jauh. Masih juga didekapnya erat foto pernikahan itu. Kurasa hingga sepuluh menit berlalu. Dan aku pun hanya bisa membiarkan bapak tenggelam dengan perasaannya. Perasaan yang tak juga mampu meruntuhkan air mata dari kelopaknya. Aku kemudian berlalu. Mungkin lima menit lagi baru aku akan memanggilnya untuk sarapan bersama.
Aku berjingkat menuju kamar tidurku. Aku tak mau mengejutkan bapak yang masih mengenang kekasih hatinya. Kemudian kuambil ponselku. Kurebahkan di kasurku dengan sprei yang baru digelar. Kucium harum bau pewangi pakaian. Kupegang ponsel. Kusentuh layar. Masih terlihat banyak yang mengucapkan duka cita padaku. Teman-teman sekolah mengirim pesan di grup. Satu orang yang memberitakan, semua hanya menyalin tempel hingga ke bawah. Jadi aku ini hanya seperti membaca nama-nama yang turut berduka cita karena tulisan dalam pesannya sama dari atas hingga ke bawah. Zaman instan. Semua ingin serba cepat. Sampai urusan mengirim pesan pun hanya tinggal salin dan tempel.
Pada hari ke tujuh ini Frederica Deceuninck kembali mengirim pesan. Tulisannya singkat tapi menumbuhkan harapan. De show moet doorgaan, je leven zal rooskleurig zijn voor de toekomst[1]. Emoji love bertaburan. Itu membuatku sedikit tenang. Cintaku di Spijkenisse masih memberi semangat untukku melalui cobaan berat ini.
Kutengok spot waktu di kanan atas ponsel. Astaga! Sudah sepuluh menit lewat. Bapak pasti sudah mengembalikan foto ibu di tempatnya. Lalu kini pasti merasa lapar. Mengambil foto dan mengembalikan kembali ke tempatnya memerlukan usaha luar biasa bagi bapak. Tangan dan kaki yang harus gemetaran. Menyeimbangkan badan pada satu tumpuan sisi badan bukan hal mudah bagi penderita stroke.
Aku melompat dari kasur. Menuju ke ruang tengah tempat bapak berlama-lama mendekap foto ibu. Namun sudah tak kujumpai bapak di sana. Sedangkan foto itu sudah kembali di tempatnya semula. Lebih bersih dan licin akibat lap ujung sarung bapak. Aku bergegas ke meja makan, tetapi tetap kujumpai bapak di sana. Aku ke ruang tamu. Dan ternyata bapak di sana. Memegang sebuah pulpen yang dituliskan pada sebuah buku agenda lama milik bapak.
Tangan kirinya itu bergetar menggoreskan ujung pena di atas buku itu. Kurasa tulisan yang dihasilkannya juga tidak sempurna. Bagaimanapun orang yang biasa menulis menggunakan tangan kanan akan merasa kesulitan bila menulis menggunakan tangan kiri. Terlebih jika tangannya bergetar.
Aku ingat saat dulu pertama kalinya bapak stroke dan harus memakai surat kuasa saat mengambil gaji pensiunnya. Petugas bank tidak mau menerima lantaran tanda tangan yang dibubuhkan di atas form itu tidak sesuai dengan yang ada di buku tabungan. Sontak aku berdebat dengan tellernya. Meski aku mengalah. Kembali pulang, memegang tangan bapak, lalu menandatangani ulang form. Melalui bantuan tanganku, tanda tangan bapak nyaris sama dengan yang dulu. Saat di perjalanan kembali ke bank aku kembali berpikir, betapa jujurnya diriku, mengapa tidak kutandatangani saja form itu sendiri. Tinggal menyontek tanda tangan yang ada di KTP bapak, selesai urusan. Tidak perlu bolak-balik ke rumah menghabiskan waktu di jalan. Namun itulah diriku. Terlampau jujur.
“Pak, sarapan dulu,” ucapku.
Bapak buru-buru menutup lembar kertas itu. Meletakkannya lalu mengangguk. Tangan kirinya menggerakkan sisi luar lingkar kursi roda dan kini kursi itu bergerak mundur, kemudian maju menuju ke meja makan di ruang tengah. Aku mengikutinya.
Kuambilkan nasi, lauk, dan sayur. Sebenarnya agak bingung menakar seberapa makanan yang biasa dimakan bapak. Selama ini ibu hanya mengambilkan sesuai kata hatinya dan bapak menghabiskannya tanpa sisa, tapi juga tak pernah sekalipun menambah.
“Kurang?” tanyaku. Mungkin pertanyaan itu lebih baik untuk memastikan seberapa porsi makanan yang dapat dihabiskan bapak untuk sarapan pagi. Masih ada soto lengkap dengan taburannya, ayam dan telur yang sudah kuhangatkan.