Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #1

Prolog

Bus melaju dari terminal Leuwi Panjang menerjang hujan yang mengguyur kota kembang. Tidak seperti hari-hari biasanya cuaca pada pagi hari ini begitu lembap, hujan yang turun dari pagi membuat beberapa orang kerepotan dalam aktivitasnya. Mereka merutuki rezeki yang Tuhan berikan, hujan yang membuat baju mereka basah, hujan yang membuat jalan menjadi licin, hujan yang membuat beberapa kendaraan roda dua menepi.

Helaan nafas terdengar, uap hangat keluar dari mulut mengembuni jendela. Padahal ini sudah memasuki musim panas, namun hujan tetap turun tanpa diminta. Ia melanggar peraturan langit akan pembagian musim yang sudah ditetapkan. Eva duduk di kursi bis dengan tenang, menatap keluar jendela mengamati rintik hujan yang jatuh dan mendarat di jendela. Kata orang hujan selalu membangkitkan kenangan, namun tidak bagi Eva. Ia tidak mempunyai kenangan apa pun saat hujan, justru ia ingin mengubur kenangannya bersama rintik hujan yang jatuh menimpa tanah, ia berharap kenangannya lebur dengan air hujan dan hanyut mengalir menuju laut.

Lamunannya terhenti ketika kilat cahaya tertangkap oleh retina matanya. Buru-buru ia tutup jendela dengan tirai dan menyumpali telinganya dengan headphone. Dia benci petir, suara menggelegar masih samar terdengar meskipun telinganya sudah tertutup busa headphone, namun suara alam itu semakin jelas terdengar. Eva memejamkan matanya badannya sedikit bergetar saat suara itu semakin besar. Suaranya seperti menjalar di atas kepala, jantungnya berirama tak karuan, ia meremas tangannya berusaha menenangkan diri. Nafasnya naik turun, ia berusaha mengatur aliran udara yang masuk ke dalam paru-parunya demi membuat jantungnya sedikit tenang.

Lagu The Man dari Taylor Swift yang mengalun mulai kembali terdengar jelas,

i’m so sick of running as fast as i can

Wondering if i’d get there quicker

If i was a man

Potongan lirik yang membuatnya kembali tersadar dan berusaha bersikap tenang. Saat hujan seperti ini seharusnya ia berada di dalam kamar dan bersembunyi di balik selimut tebalnya. Sudah menjadi sebuah ritual jika hujan turun disertai petir, Eva akan membungkus dirinya dengan selimut dan memejamkan mata agar ia tertidur berharap saat bangun nanti hujan sudah berhenti. Bukan berarti dia tidak menyukai hujan, hanya saja suara petir yang menggelegar selalu membuatnya tidak tenang dan merasa alam sedang mengutuknya. Saat cahaya kilat terlihat, Eva akan mulai mengalami sesak, jantungnya berdegup kencang dan badannya bergetar. Entah sejak kapan ia mengalami hal tersebut, itu terjadi begitu saja tanpa disadari dan tanpa penyebab apa pun.

Hujan sudah mulai mereda, namun rintik kecilnya masih terus menyapa bumi. Eva membuka tirai jendela dan kembali menatap jalan yang basah. Ia menyukai hujan ini, hujan yang tidak ribut dan tenang. Rintik kecil yang turun dan suara hujan yang lembut membuatnya tenang. Jika diistilahkan, Eva menyebut hujan dengan petir merupakan hujan yang Jahat sedangkan hujan dengan rintik kecil merupakan hujan yang baik. Sungguh hujan yang turun seperti ini membuatnya tenang, berbeda dengan hujan yang membawa badai membuatnya ketakutan setengah mati. Di sepanjang jalan hujan rintik ini menemani Eva dengan headphonenya yang masih terpasang memutar lagu Kiss The Rain yang sekarang mengalun menemani perjalanannya. 

Bus berhenti di terminal Pasir Hayam untuk istirahat, perjalanan dari Bandung menuju Sukabumi terasa amat lambat kali ini. Terlebih cuaca hujan yang disertai petir menemani setengah perjalanannya membuat perasaan tidak tenang. Merasakan perutnya yang mulai perih, Eva beranjak dari kursi dan turun dari bis menuju salah satu warung yang menjajakan makanan ringan. Ia lupa perutnya belum diberi makan dari pagi, tangannya meraih satu buah cup mi yang berada di rak dan membayarnya.

“Ibu ini bisa di seduh?” Eva bertanya sambil menyodorkan cup mi memintanya diberi air.

Memakan mi instan saat cuaca hujan seperti ini merupakan kenikmatan yang harus dirasakan setiap orang. Kuah hangat yang mengalir dari tenggorokan menuju perut dan rasa umami dari kuah mi merupakan surga dunia bagi Eva. Mungkin satu cup mi instan bisa mengganjal perutnya dari kelaparan.

“Aduh punteun neng, airnya habis dipake yang ngopi.” Pupus sudah kenikmatan yang ia bayangkan. Lalu bagaimana nasib cup mi ini, jika tahu begitu alih-alih membeli mi ia akan membeli roti untuk mengganjal perut.

Tak habis akal, ia melihat sepasang suami istri yang duduk di depan salah satu warung tengah menyeduh air susu untuk bayi mereka, ditatapnya termos yang sedang dipegang oleh sang suami dan sebuah ide muncul dikepalanya, namun jika ia mau meminta air dan termos tersebut, ia harus melunturkan sikap introvertnya dan beramah-tamah dengan mereka. Sedikit merepotkan namun demi memuaskan perutnya yang keroncongan Eva berjalan mendekati pasangan suami istri tersebut dan duduk di sebelah sang istri. Dengan lembut ia berbicara dan meminta sedikit air untuk merendam mi yang dia beli agar sedikit lembek.

Teteh punteun, mau minta air hangatnya sedikit boleh?” Merasa ada yang berbicara di sebelahnya, kedua orang tersebut menoleh.

“Tadi beli mi di warung, tapi airnya habis.” Eva tersenyum ramah sambil menunjukkan cup mi, berusaha tak terlihat memelas.

“Oh boleh teh, tapi kayanya udah gak terlalu panas gapapa?” Disambut senyum oleh sang istri Eva merasa bahwa malaikat memang benar adanya. Selain baik, ibu dari satu anak ini sangat cantik. Senyumnya yang manis membuat hati menghangat.

“Gapapa teh, Cuma sedikit kok buat nyeduh mi aja.” Eva mengambil termos yang disodorkan sang suami kepadanya. Ia langsung membuka plastik pelindung produk dan menyobek penutup atas mi. Air yang mengepul membanjiri cup, hangat mulai terasa pada telapak tangannya yang memegang cup mi. Sayang, ia harus menunggu beberapa menit untuk menghasilkan tekstur mi yang lembek dan enak.

“Anaknya umur berapa teh?” Berbasa-basi sedikit sambil menunggu mi layu bukan hal yang mudah. Sebagai seorang introvert, energinya sudah habis dipakai di perjalanan. Namun sebagai seorang manusia yang mempunyai sopan santun, ia harus beramah-tamah dengan kedua orang tersebut yang sudah menolongnya dari kelaparan.

“Satu tahun kurang teh.”

“Ohh.” Percakapan berhenti. Eva bingung harus menanyakan apa lagi, topik apa yang biasanya digunakan saat seperti ini. sambil berpikir untuk melanjutkan percakapan, ia mengambil cup mi yang sudah cukup lembek dan mulai memakannya.

“Teteh mau ke mana?” Oh Tuhan untunglah wanita cantik ini mau bertanya dan membuka kembali percakapan yang sebelumnya canggung.

“Mau ke Sukabumi, kalo teteh mau ke mana?” Eva balik bertanya.

“Sama, ke Sukabumi juga. Teteh Sukabuminya di mana?”

“Aku di Sukalarang. Tahu gak, yang deket pabrik GSI sama NIKE?”

“Oh iya, kalo aku di Sukaraja ke bawah deket terminal.”

“Oh iya tau-tau. Atuh caket yah di situ mah.”

“Iya. Teteh habis dari mana?” Pertanyaan yang membuat Eva berpikir.

Dari mana ia, tempat antah berantah yang dulu di tinggali dan sekarang ia ingin pulang ke rumah. Rumah yang benar-benar rumah, yang bisa menampungnya dari lelah kehidupan selama ini.

“Pulang kerja teh.” Eva menjawab sekenanya.

“Emm, kerja di mana gitu?” Sekarang sang suami yang bertanya.

Sebenarnya malas sekali untuk menjelaskan pekerjaan dan kegiatannya saat di Bandung, jika tidak berpikir karena kebaikan yang sudah diberikan oleh sepasang suami istri ini, Eva lebih baik masuk ke dalam bis dan melanjutkan tidurnya daripada harus mengobrol dengan orang asing seperti ini.

“Saya ngajar di Bandung, kebetulan besok libur jadi pulang ke Sukabumi.” Eva berharap jawaban tersebut cukup dan tidak menimbulkan percakapan yang lebih mendalam tentang dirinya.

Untungnya kernet sudah mulai memasuki bis dan memanggil penumpang untuk segera masuk. Dia yang merasa terselamatkan dari situasi canggung itu langsung segera pamit dan lebih dulu memasuki bis. Sepasang suami istri tersebut langsung membenahi barang-barang mereka, sang suami menggendong si kecil dan segera menyusul memasuki bis.

Sepanjang perjalanan pulang, hujan sudah mulai reda namun genangan air masih terlihat di jalan. Sebelumnya, Eva duduk sendiri di kursi bis yang mempunyai dua kursi. Namun sekarang ia duduk dengan seorang wanita paruh baya yang sepertinya naik dari pemberhentian di terminal tadi. Suami istri yang ditemui tadi duduk di kursi sebelahnya. Melihat mereka berdua bercanda dengan si kecil membuat Eva berpikir, apakah ia juga akan mengalami masa seperti itu.

Menimang bayi dan mengajaknya bermain, apakah hal tersebut akan Eva lalui. Melihat dirinya yang saat ini sudah berumur tiga puluh tahun, namun masih belum juga mempunyai tambatan hatinya. Ia menerawang ke masa lalu, apa yang sudah ia lakukan sampai tak pernah merasakan cinta, bukan berarti ia tidak tertarik terhadap lawan jenis, namun ketertarikannya terhadap mimpi dan karier membuat ia lupa akan hal seperti itu. Jalan yang panjang sudah ia lalui tak ada sedikit pun perasaan tertarik terhadap percintaan. Mungkin sempat ada beberapa pria yang hendak mengisi hatinya yang kosong. Namun semua pergi begitu saja ketika tahu bahwa Eva ini adalah seorang yang ambisius dan gila kerja.

Tidak ada waktu untuknya mengurusi cinta, kecintaannya sudah habis dengan belajar dan bekerja. Entah apa yang dipikirkannya dulu sampai dia mengabaikan beberapa pria yang mendekatinya. Di antara mereka ada yang masih bersedia menjadi tempat berbagi cerita dan berkeluh kesah, meskipun hanya sebatas teman. Mereka menikmati hubungan yang tanpa status itu, ketidakpekaan Eva dengan perasaan lelaki membuatnya terlihat seperti tidak tertarik terhadap lawan jenis, sedangkan hubungannya dengan sesama wanita sangat peka, ia bisa merasakan kesedihan temannya hanya dengan menatap matanya. Ia juga berkali-kali menemani temannya yang putus cinta begadang hanya untuk mendengarkan keluh kesahnya. Namun sayang, kebucinan teman-teman perempuannya sama sekali tidak memengaruhi perasaannya.

Lihat selengkapnya