Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #2

Rumahku

Eva membuka pagar yang belum dikunci, ia mulai mengetuk pintu rumahnya. Ketukan pintu terdengar, namun tak ada orang yang membuka. Eva sudah berkali-kali mengetuk pintu namun tak ada sahutan dari dalam. Ia malas untuk membuka suara, namun karena tak ada jawaban dari dalam rumahnya terpaksa ia harus membuka mulutnya untuk bersuara.

“Pakeeetttttt.” Dia berteriak dan mengencangkan ketukan pada pintu.

 Suara gaduh dari dalam mulai terdengar, langkah kaki menuju pintu semakin mendekat. Pintu terbuka dan betapa kagetnya seorang wanita melihat anaknya yang sudah lama tidak pulang. Namun bukan pelukan atau sambutan yang didapat, wanita di hadapannya malah menggerutu tak jelas.

 “Astagfirullah, kirain beneran tukang paket. Mana nih yang katanya mau pulang kalo udah sukses sambil bawa mobil sama calon.” Wanita yang berada di hadapannya melipat tangan dan tersenyum. Terlihat raut bahagia di wajahnya.

“Yaampun Bu, anaknya pulang bukan disambut malah dinyinyirin.” Tanpa dipersilahkan masuk, Eva membawa dua tas jinjingnya dan memasuki rumah. Duduk di kursi layaknya seorang tamu.

“Abisnya kamu pulang gak bilang dulu, kalo bilang kan ibu bisa masak buat kamu.”

“Dih tumben masak, emang ada waktu buat masak. Bukannya sibuk terus?”

 “Aduh ada tamu ya.” Seorang pria muncul dari arah dapur, masih dengan samping sarung dan kopiah yang melekat pada tubuhnya bapak satu ini tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan melihat anaknya yang sudah lama tidak pulang itu kini duduk di hadapannya.

“Eh Bapak, apa kabar pak?” Eva mengulurkan tangan memberi salam kepada ayahnya. Dibalas dengan pelukan hangat yang meleburkan rindu dan kecupan di kepala.

“Ke Bapak apa kabar, kok ke Ibu engga?” Ibu Eva menyindir sambil mendelik kepada anaknya.

 Eva memang lebih dekat dengan ayahnya. Anak tunggal yang selalu ditinggal bekerja oleh kedua orang tuanya ini, lebih nyaman jika ia berbincang dengan ayahnya daripada dengan ibunya. Keduanya memang selalu sibuk bekerja, bahkan tak jarang ayahnya tidak pulang selama dua bulan demi mencari pundi-pundi rupiah untuk menafkahi keluarganya. Sosok ibu yang selalu sibuk dan tidak pernah asyik jika diajak mengobrol, membuat hubungan mereka renggang. Ibunya kaku tak bisa diajak bercanda. Sedangkan ayahnya, meskipun jarang pulang ke rumah namun Eva sangat nyaman saat bercerita kepadanya.

“Udah kelihatan ibu sehat makin glowing juga.” Eva melempar candaan kepada ibunya yang dibalas dengan tepukan halus di pundak dan tawa canggung dari ibunya.

Perkataan Eva memang benar, ibunya yang sudah lama tidak ia lihat masih sama seperti dulu. kulitnya yang putih dan halus, tak terlihat ada kerutan di sana. Tidak seperti ayahnya yang sudah terlihat berumur, meskipun masih bugar namun kerutan halus jelas terlihat di wajahnya. Pekerjaannya sebagai buruh bangunan membuatnya tak ada waktu untuk mengurus tubuhnya sendiri. Meskipun sekarang ia sudah tidak bekerja dan lebih memilih membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Namun efek sakit dari pekerjaan kerasnya dulu masih sering terasa. Pegal-pegal dan asam urat mulai menyerangnya. Berbeda dengan sang ibu yang bekerja sebagai guru, ibunya selalu memperhatikan penampilan. Entah sudah berapa uang yang keluar untuk merawat wajah yang terlihat awet muda itu.

 Ayahnya memilih berhenti bekerja karena Eva sudah selesai menempuh pendidikan. Kedua orang tuanya sudah merencanakan ini sedari dulu, jika mereka sudah menggugurkan kewajiban mereka untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya, maka ayah akan berhenti bekerja kasar dan membuka warung di rumah, mengantar jemput ibu ke sekolah dan beristirahat menikmati hari tua. Ayahnya bukanlah seorang yang berpendidikan, ia hanya seorang pria lulusan SMA yang bekerja sebagai seorang buruh bangunan. Meskipun seorang buruh ayahnya selalu mendapatkan proyek pembangunan pusat perbelanjaan yang lumayan terkenal dan tersebar di seluruh Indonesia. Itulah sebanya sang ayah jarang pulang ke rumah.

Ibunya seorang guru SD, dari sinilah Eva mendapatkan madrasah pertamanya. Kedisiplinan dan kegilaannya pada belajar adalah hasil dari didikan ibunya. Dulu Eva sangat takut jika ia ketahuan keluar rumah untuk bermain sebelum menyelesaikan tugas sekolahnya. Dia di didik untuk menjadi seorang terpelajar yang bisa mengangkat derajat orang tua. Karena statusnya sebagai anak tunggal, maka kepada siapa lagi harapan itu ditumpukan selain padanya.

“Motor di mana Va?” Ayah Eva membuka pintu hendak mengunci pagar. Tatapannya menyapu sekeliling halaman rumah mencari kendaraan yang diberikan ibunya untuk memudahkan kegiatan Eva sehari-hari.

“Dijual pak hehe.” Eva menjawab dengan cengengesan.

Astagfirullah va, naha make dijual. Ker boga sakitu-kituna teh” Ayahnya yang berniat mengunci pagar kembali ke dalam dan duduk di kursi.

“Palingan juga bohong pak, dia kan suka gitu.” Ibunya masih menjawab dengan tenang. Memilih tidak percaya dengan ucapan Eva. Sudah menjadi kebiasaan Eva meninggalkan kendaraannya di kosan karena ia merasa lelah untuk berkendara dan memilih pulang naik bis sehingga dia bisa tertidur di perjalanan.

“Asli bu, seriusan motor dijual sama Eva.” Dia mengacungkan dua jari membentuk huruf v.

“Coba nyarios ka bapak naha bet dijual, tara sasarina kamu ge pulang. Kalo ditanya pulang kapan, ngomongnya, nanti kalo udah sukses.”

“Kan cuma becanda pak, emang lagi gak sibuk aja mung pung ada waktu jadi Eva pulang.” Suara ayahnya sudah mulai serius, namun Eva memilih untuk mengalihkan pembicaraan alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya. Ia tidak bisa membayangkan amukan ibunya jika ia mengaku.

“kirain ibu, udah gak inget sama orang tua jadi gak pulang-pulang.”

“Engga atuh Bu, masih inget kok. Emang Eva anak durhaka.”

“Yaudah atuh sana makan dulu tapi lauknya seadanya, abis itu istirahat.”

Senangnya dalam hati, batin Eva. Orang tuanya tidak memperpanjang masalah motor yang tidak kembali pulang bersamanya. Ternyata tidak semenyeramkan itu jika kamu berkata jujur. Namun raut wajah ayahnya masih murung, sepertinya ia masih tidak percaya dengan perkataan Eva. Biasanya jika ada hal seperti ini ibunyalah yang akan menginterogasi Eva sampai ia mengaku, namun entah mengap kali ini ibunya tidak menggubris sama sekali, bahkan dia tidak percaya kalo motor pemberiannya itu sudah dijual oleh anaknya.

“Tadi udah makan Bu, di rumah Eca.”

Naha di rumah Eca?” Tanya ibu heran.

“Hehe, iya tadi mampir dulu.”

“Dasar, bukannya langsung pulang ke rumah malah mampir dulu ke rumah orang.” Ibu hanya bisa menggeleng mendengar jawaban anaknya.

Sudah tidak heran jika ia mengunjungi rumah teman masa kecilnya itu. Ia juga sadar separuh masa kecil Eva tumbuh di rumah tetangganya, tak jarang ibunya menitipkan Eva kepada ibu Eca karena dia harus menghadiri rapat sekolah atau pulang sore hari. Tak jarang Eva juga sering menginap di rumah Eca jika ibunya ada acara sekolah seperti acara berkemah atau acara pelatihan. Maka patutlah Eva menyebut rumah teman masa kecilnya itu adalah rumah kedua baginya.

Iya tadi gak sengaja lewat liat Eca lagi di warung mampir dulu sebentar, eh malah diajak makan.” Buru-buru ia mengambil kedua tas jinjingnya dan memasuki kamar. Menghindari interogasi dari kedua orang tuanya lebih lanjut. Ia ingin beristirahat hari ini.

Ia sadar tak semudah itu membohongi kedua orang tuanya. Selama hidup di rumah ini orang tahunya sudah kenal betul sifat anaknya. Terdengar samar-samar oleh Eva orang tuanya masih berdiskusi di ruang tamu. Eva berharap topik diskusi mereka bukanlah dirinya, hatinya merasa risau sekarang, bisakah ia terus melanjutkan kebohongan ini kepada orang tuanya.

Segera ia menjatuhkan tasnya di sudut kamar, mengganti pakaiannya dengan piama dan merebahkan diri di atas kasur. Eva terlalu malas untuk membersihkan diri terlebih dahulu, bahkan hanya untuk menggosok gigi ia malas. Sebenarnya lebih kepada rasa takut ditanya lebih lanjut oleh kedua orang tuanya jika ia kembali keluar kamar. Debu-debu yang ada di atas kasur juga dihiraukannya, ia memilih menarik selimut dan membungkus dirinya.

Belum sepenuhnya menjamah alam mimpi, Eva dikagetkan dengan guncangan pada tubuhnya. Dengan malas ia membuka mata dan menoleh kepada sosok yang sudah berani membangunkannya. Ia hanya bisa menghela nafas menyadari bahwa dirinya sedang ada di rumah dan firasatnya tidak baik sekarang, ia melihat ibunya di samping ranjang dengan tatapan serius. Hal buruk akan terjadi menimpanya, ia perlahan bangun dan duduk di atas kasur, menggosok matanya yang lengket.

“Eva kamu beneran jual motor yang ibu kasih ke kamu?” Ia duduk di samping Eva sambil mengelus rambut anaknya dengan lembut, ia menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah anaknya itu.

Seketika rasa kantuknya hilang, ia merasa segar sekarang, mendengar pertanyaan dari ibu berhasil mengusir rasa kantuk yang begitu berat. Eva tidak menjawab, ia hanya mengangguk mengiyakan bahwa memang benar motor pemberian ibunya itu sudah ia jual.

“Yang bener Va, kenapa kamu jual motornya?” Nada bicaranya sudah mulai kesal.

“Buat bayar pinjol Bu.” Ia kembali menarik selimut dan hendak kembali merebahkan dirinya di kasur.

Belum sempat punggungnya menyentuh kasur, tangan ibunya sudah lebih cepat menarik selimut dan melemparnya asal, ia menarik tangan Eva menyuruhnya untuk tetap duduk. Pukulan mendarat di punggungnya.

Teu eling, kamu ngambil pinjol?” Suara ibu setengah berteriak.

Sudah pasti ia kaget mendengar anaknya menjual motor untuk membayar pinjaman online. Seberapa susah hidupnya di sana, padahal selama ini ibunya masih memberi ia uang meskipun tidak seberapa dan ke mana penghasilan yang di dapatkan putrinya sehingga ia harus mengambil pinjaman online. Ibunya sudah mengajarkan dari dulu, sesulit apa pun keadaannya jangan pernah ia meminjam uang dari online, apalagi orang yang tidak kita kenal. Jika ia membutuhkan uang, ibu dan ayahnya akan memberikan berapa pun yang ia butuhkan. Jika tidak ada, maka ia harus mengendalikan kesabarannya dan menunda apa yang ia mau sampai uang orang tuanya cukup untuk membelikan apa yang dia mau.

“Kamu kekurangan apa sih, gaji gede, uang jajan juga suka ibu tambahin, kok bisa-bisanya ngambil pinjol. Astagfirullah Eva.” Pukulan kembali mendarat di punggungnya.

Ayah yang mendengar teriakan ibu bergegas menghampiri asal suara. Sebenarnya saat berdiskusi tadi mereka memang sudah berencana untuk menanyakan alasan Eva menjual motor, mereka juga bertanya-tanya akan kepulangan anaknya yang mendadak. Melihat barang bawaan Eva yang banyak menandakan ia akan lama tinggal di sini, mereka berencana untuk menanyakannya besok hari karena merasa kasihan dengan kondisi anaknya saat pulang. Penampilan yang semrawut dan badan yang kurus, ia pikir ibunya tak akan tega untuk memarahi anak semata wayangnya itu.

Tapi lihatlah, dengan tidak sabar ibunya langsung membangunkan anak semata wayangnya yang sedang istirahat. Ia tidak peduli anaknya kelelahan, ia hanya butuh jawaban yang pasti.

“Kamu mikir gak sih, gimana usaha ibu buat beliin kamu motor. Ibu sama ayah mati-matian kerja buat biayain kamu, supaya hidup kamu gak sengsara kaya kita. Kurang apa kita sama kamu, ibu selalu ngasih apa yang kamu mau. Kamu ngehargain kita sebagai orang tua ga, kamu udah hampir tiga tahun ga pulang, kamu pernah ga mikirin ibu sama bapak di rumah?”

“Bacot Bu berisik, ibu gak tahu kan sesuah apa aku di sana.” Tak tahan dengan omelan ibunya Eva berteriak.

Ia tak sadar jika perkataannya benar-benar membuat orang tuanya kaget, anak yang selama ini penurut dan tak pernah berkata kasar kepada kedua orang tua tiba-tiba berperilaku kasar. Keluarga yang sangat menjunjung tinggi kehormatan satu sama lain ini tak bisa membiarkan anaknya menjadi preman seperti itu. Ayahnya hanya terdiam di ambang pintu kamar namun terlihat jelas raut kecewa di wajahnya. Ibu yang sedari tadi menggunakan mulut untuk mengomeli putrinya, kini mulai menggunakan tangan untuk memukul. Ini adalah pukulan pertama dan terkejam yang Eva terima dari ibunya, selama ini ia selalu menurut dengan apa yang ibunya perintah, tak pernah ada pukulan selama hidupnya. 

“Udah gila ya kamu, sana pergi gak usah pulang ke sini. Udah dewasa kan sekarang, sana pergi. Cari rumah sendiri, cari uang sendiri, gak perlu minta-minta lagi sama ibu sama ayah.” Ibu menarik tangan Eva supaya beranjak dari kasur. Ia mendorong dan menyeret Eva supaya pergi keluar dari rumah. Ayah yang sudah peka dan tidak perlu diberikan kode langsung membuka pintu.

“Udah gede masih aja nyusahin, orang lain seumuran kamu udah nikah, udah bisa ngasih uang ke orang tua, ini malah hambur-hambur uang. Pake pinjol segala.” Ibu mendorong Eva keluar seraya membanting pintu dengan kasar.

Eva berjongkok di teras rumah, memeluk lutut membenamkan wajahnya. Baru kali ini ia bertengkar hebat dengan ibunya, selama ini ia menjadi anak yang patuh selalu menuruti apa yang orang tuanya inginkan. Ia memendam kekesalan ini selama tiga puluh tahun. Ia dituntut untuk sempurna, memiliki masa depan yang cerah yang sudah di atur oleh ibunya. Bagaikan boneka, ia hanya objek untuk dipamerkan ibunya pada tetangga dan teman-temannya. Ia hidup hanya untuk menjadi salinan dari ibunya. Maka saat hidupnya tak lagi di bawah kendali sang ibu, ia merasa bebas apa pun bisa dia lakukan sesuai keinginannya. Tapi sayang kehidupannya seperti tak tentu arah, ia kehilangan kompasnya. Selama dua puluh tiga tahun ia hidup di bawah kekangan orang tua begitu ia merasakan kebebasan, ia tak terkendali. Hanya dua tahun ia benar-benar merasa hidup, dan dua tahun itu pula hidupnya kacau ia tidak bisa mengendalikan badai yang terus berdatangan.

Jika ada orang yang lewat, maka mereka akan mengira Eva adalah hantu kuntilanak yang sedang jail. Kondisinya sangat kacau sekarang, rambutnya acak-acakan dan isak tangis terdengar dalam hening malam. Ia tidak pernah bisa berbohong kepada orang tuanya terutama kepada ibunya. Menutupi hal seperti ini saja ia tak bisa, bersikap baik-baik saja di hadapan ibunya adalah hal yang sangat mustahil. Ibu sudah tahu betul sikap dan perangai putrinya ini, ia adalah salinan dari ibunya bagaimana mungkin ibunya tidak akan tahu bahwa anaknya sedang dalam masalah.

Eva merenung, memikirkan kembali perkataan yang sudah dilontarkannya tadi, begitu kasar dan sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin ia terpikir untuk berbicara seperti itu, ia harap ini hanyalah mimpi dan ia akan terbangun besok hari. Ia memejamkan matanya dan menelungkup memeluk lutut dalam kedinginan malam.

Beberapa saat kemudian terdengar kunci pintu diputar pintu terbuka, Eva langsung menoleh melihat ayahnya berdiri di depan pintu. Ayah melangkah mendekati Eva melihat anaknya yang menangis membuat hatinya sakit, sembab di matanya dan tubuhnya yang kurus terlihat seperti Eva sudah mengalami kekerasan rumah tangga. Eva meraih tangan ayah dan berdiri, ayah langsung memeluknya dan merapikan rambut Eva. Kecupan yang mendarat di kepalanya membuat tangisan Eva pecah kembali. Begitu rindu ia pada pelukan ayahnya, ia yang selalu menjadi tempat pulang Eva setelah lelah belajar di sekolah. Eva rindu berbincang dengan ayahnya, bercerita sambil memakan ubi rebus buatan ibu di akhir pekan.

Ibunya memang selalu ada untuknya, namun saat ayah pulang dari pekerjaannya yang jauh, Eva akan menghabiskan waktu dengannya. Dengan ibunya ia merasa tersiksa akan kedisiplinan belajar dan berperilaku, namun dengan ayahnya ia merasa bebas menjadi dirinya sendiri. Ayah membawa Eva ke dalam rumah, menyelimutinya dengan selimut tebal dan membawakannya segelas susu hangat.

“Ibu gimana Pak?” Eva masih menghawatirkan ibunya. Bagaimanapun perkataannya tadi pasti menyakitkan.

“Ibu udah bobo, tenang aja.” Ayah mengusap kepalanya lembut.

“Bapak maafin Eva ya.” Air mata kembali mengalir dari sudut matanya. Ia sadar sudah bersikap kejam kepada kedua orang tuanya. Menghancurkan harapan orang tuanya yang sangat ingin anaknya sukses dan bisa mengangkat derajat mereka.

Lihat selengkapnya