Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #3

Surat dari Langit

Gor yang baru satu tahun berdiri di perumahan Asri selalu terlihat ramai. Apalagi hari ini adalah malam minggu, banyak para pemuda yang berolahraga di sana. Lapangan bulu tangkis terlihat penuh oleh para pria yang tengah mengolah otot lengannya agar lebih kuat. Riki dan Indra tengah asyik melempar smash satu sama lain, orang-orang di sekeliling pun melihat penasaran siapa yang akan melesatkan kok lebih kencang dan mendarat di lantai lapangan. Keduanya beradu sengit dalam menerima smash satu sama lain, kok yang mereka gunakan sudah rontok terlihat beberapa bulu kok di lantai.

           Akhirnya suara orang-orang yang menjadi penonton dadakan itu pecah. Mereka berseru dan sang pemain terlihat bangga dengan kemenangannya. Indra ikut bersorak dengan mereka, ini sudah seperti turnamen Bulu Tangkis. Indra merebahkan dirinya di lantai mengatur nafasnya yang terengah. Lawan mainnya seperti tidak kalah senang ia juga merasa permainannya kali ini semakin meningkat bisa menyusul poin dan mendapat kan poin yang sama dengan Indra adalah hal yang membanggakan, sehingga mereka harus memperebutkan poin deuce. Mereka sudah menjadi lawan main sejak masa sekolah Riki selalu kalah jika beradu badminton dengan Indra, temannya yang atletis itu tidak bisa dikalahkan. Namun hari ini ia tetap merasa bangga karena bisa mengimbangi score Indra meskipun hasilnya ia tetap kalah.

           Riki mengulurkan tangannya kepada Indra yang masih merebahkan badannya di lapangan. Matanya terpejam, bulir keringat masih terlihat di pelipisnya. Indra membuka mata dan meraih tangan temannya menepuk-nepuk pundak temannya, merasa bangga dengan peningkatan permainan tadi.

           “Keren eung maneh sekarang. Suka latihan diem-diem yah.”

           “Maneh we yang kerja terus, duduk mulu depan komputer, jadi performanya menurun.”

           “Sa ae lu bambang, tapi asli maneh keren banget sumpah.”

           Mereka berdua berjalan keluar dari gor dan berhenti di sebuah warung untuk membeli air mineral, melegakan tenggorokan mereka yang kering.

           “Mau langsung balik atau ikut ke kafe?”

           “Maneh mau ke kafe, udah malem juga.”

           “Kalo malem minggu suka rame, kasian karyawan harus lembur.”

           “Yaudah, urang mah mau balik mau istirahat” Meskipun badannya atletis, namun imun tubuh Indra berbeda jauh dengan temannya.

           Ia lebih sering terkena penyakit, tubuh temannya yang kebal itu tidak akan terkena angin malam jika pergi menggunakan kaus tanpa lengan di malam hari. Indra memakai jaketnya dan segera berpamitan kepada Riki untuk pulang terlebih dahulu. Indra berjalan menyusuri gelapnya perumahan yang sudah malam, lampu-lampu rumah warga menerangi sepanjang perjalanan. Tangan kirinya menjinjing tas raket dan tangan kanannya sibuk memainkan ponsel. Ia membuka aplikasi instagram untuk melihat story instagram terbaru temannya. Namun sudah beberapa bulan ini temannya itu tidak mengunggah apa pun di media sosial. Apakah benar yang Riki bilang kalo Eva sudah berhenti bekerja dan sedang dalam masa sulit. Tadi saat dirinya pergi ke kafe Riki ia diberitahu olehnya bahwa Eva sudah pulang, ia bahkan sempat melihat Eva sekilas di kafe namun ia tak percaya bahwa itu benar dirinya. Karena teman sekaligus rival belajarnya itu terlihat jauh berbeda dari terakhir mereka bertemu. Badannya terlihat kurus, meskipun ia tersenyum kepada pelanggan, terlihat jelas raut sedih di matanya.

           Tidak bisa dipungkiri memang selama ini Indra selalu mengikuti kehidupan Eva di media sosial. Ia terlihat bahagia di sana, ia selalu membagikan kegiatan-kegiatan saat dia mengajar dikelas. Kebahagiaan itu juga menular kepada Indra saat ia melihat senyum Eva di layar handponenya. Namun sekarang Eva tak membagikan kegiatan mengajarnya, bahkan ia tak pernah terlihat aktif lagi. Postingan terakhirnya sekitar lima bulan yang lalu. Indra membuka Direc Message Eva, beberapa kali ia ingin mengirim pesan, sekedar menyapa atau menanyakan kabar. Namun ia selalu mengurungkan niatnya, ia takut Eva tidak membalasnya karena pesannya tertumpuk, mengingat pengikut yang ada di sosial medianya cukup banyak. Ia hanya bisa menyukai setiap postingan atau story Eva, bukan bermaksud apa-apa itu merupakan bentuk dukungannya kepada teman masa kecil. Tidak ada maksud tersembunyi dari hal yang ia lakukan, ia hanya suka dengan semua kegiatan yang Eva lakukan.

           Saat tengah asyik melihat konten Eva yang sudah lama di post, ia melewati taman bermain yang artinya sudah semakin dekat dengan rumahnya. Menyadari itu ia pun segera menekan tombol home dan memasukkan handphone ke dalam saku. Baru tiga langkah ia berjalan, telinganya dikejutkan dengan suara samar-samar. Bulu kuduknya mulai meremang, ia melihat sosok yang sedang duduk di gazebo taman bermain. Ia sudah terbiasa dengan hal ini, namun tetap saja saat mengalaminya tubuh pasti merinding tak karuan. Angin mulai bertiup kencang membuat Indra menaikkan ritsleting jaketnya sampai atas. Memasukkan tangannya ke dalam saku dan berjalan dengan santai berusaha bersikap tenang dan biasa saja. Karena katanya jika kita merasa takut sosok mereka akan semakin gencar mengganggu karena ketakutan kita merupakan energi bagi mereka. Semakin mendekat kepada sosok tersebut, semakin jelas telinga Indra mendengar suara tangis, tangis yang pilu dan sesak, bulu kuduknya semakin merinding, ingin rasanya ia berlari sekarang namun justru langkah kakinya semakin berat. Ia mengatur nafas agar detak jantungnya lebih tenang.

           Sedikit lagi pikirnya, ia melewati sosok itu. Terlihat jelas oleh mata Indra sosok berwarna putih yang sedang memeluk lutut dengan rambut panjang yang terurai. Jantungnya sedikit tenang saat sudah melewati sosok tersebut. Ia juga membaca doa yang ia hafal di dalam hati berharap sosok tersebut tidak mengikutinya sampai rumah. Memang sudah menjadi hal yang wajar jika saat malam beberapa sosok sering tertangkap oleh mata. Sering kali warga saat sedang menjalankan tugas ronda melihat mahluk halus dan yang paling sering mereka lihat adalah di tempat taman bermain ini.

           Semakin jauh melangkah, Indra semakin jelas mendengar tangisannya yang pilu bahkan sesak, hantu itu sepertinya meninggal karena kehabisan nafas saat menangis. Hantu itu mulai terbatuk dan sesegukan mencoba mengatur nafasnya. Tunggu, apakah hantu bisa terbatuk. Indra mulai menoleh, melihat sosok itu mulai terbaring di gazebo sambil memegang dadanya, sepertinya ia benar-benar sesak. Dengan berani ia perlahan menghampiri sosok itu, ia merasa sosok itu adalah manusia yang butuh pertolongan. Jika itu hantu maka Indra akan berlari sekencang-kencangnya. Namun firasatnya yakin bahwa itu adalah manusia, ia terlihat kehabisan nafas dan sesegukan karena menangis.

           “Punteun?” Indra memberanikan diri untuk menyapa.

           Sosok tersebut perlahan bangun dan menampakkan wajahnya. Mukanya yang sembab, matanya yang merah dan rambutnya yang berantakan, membuat Indra kaget dan mundur beberapa langkah. Diterangi lampu taman yang remang-remang Indra mengenal sosok itu. Dengan air matanya yang masih mengalir dan nafas yang terengah-engah sosok itu menatap lurus ke arah Indra, tatapannya seperti meminta pertolongan. Indra memberanikan diri mendekat, benar saja ia tidak mungkin salah mengenalinya, sosok wanita ini adalah teman masa kecilnya. Eva tengah berada di hadapannya sekarang, namun mengapa ia ada di sini dengan penampilan yang kacau.

           “Eva?” Indra berusaha meyakinkan penglihatannya. Ia mencondongkan kepalanya melihat wajah wanita itu.

           Benar, meskipun wajahnya membengkak karena menangis namun itu benar Eva. Mana mungkin ia salah mengenalinya.

           “Ngapain kamu di sini?” Indra perlahan duduk di samping wanita yang ia duga adalah Eva. Ia juga melihat beberapa kertas usang ditangan wanita tersebut yang di pegang erat.         

           Sosok itu mulai menangis kembali, dengan tatapan bingung Indra merasa harus melakukan sesuatu. Ia memberanikan diri untuk menyentuh rambut wanita itu dan mengusapnya lembut. Ia menunggu sampai Wanita itu berhenti dan sedikit tenang.

           Dengan wajah yang sembab dan rambut yang acak-acakan, Eva mulai berhenti menangis, sebenarnya ia masih ingin menangis namun air matanya sudah tak ada yang keluar. Matanya sudah perih dan hidungnya sudah membengkak merah. Dengan sesegukkan Eva mulai berani mengangkat wajahnya dan menatap Indra. Pria yang di hadapannya tersenyum dan merapikan rambut yang menempel di wajah Eva. Dengan lembut ia merapikan rambut Eva yang berantakan dan mengusap air mata yang ada di pipinya.

           “Ini beneran kamu kan?” Tanya Indra memastikan.

           Eva hanya mengangguk, ia tak bisa berkata-kata. Sesegukkan masih menghalangi suaranya untuk berbicara jelas. Indra yang baru pertama kali melihat Eva tanpa hijab tersadar dan langsung membuka jaketnya. Memakaikannya kepada badan Eva yang ringkih dan menutupkan kupluk ke kepala Eva agar rambutnya tak terlihat.

           Ia tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan yang baru saja ia lihat di ponsel dalam keadaannya yang seperti ini. ia ingin beranjak ke warung untuk membelikannya susu hangat, namun ia tak tega jika meninggalkannya sendirian. Ia juga belum berani bertanya, masih mendiamkan Eva dengan sesegukkannya dan membiarkan ia mengatur nafas sampai tenang. Kesunyian menyelimuti mereka hampir lima belas menit, Eva mulai terbatuk dan merasakan nyeri di dadanya. Indra yang melihatnya hanya bisa mengelus punggungnya pelan. Eva menoleh dan tersenyum, senyum yang sudah lama tidak Indra lihat. Senyumnya masih sama meskipun keadaannya sedang kacau tapi senyumnya masih bisa membuat hati Indra hangat, seperti yang selalu ia rasakan selama ini.

           “Hayu aku antar pulang. Udah jam sembilan lebih.” Indra melihat jam tangannya.

            Hari memang sudah semakin malam, angin malam juga semakin dingin menyapa kulitnya menembus tulang. Ia tidak mau mengambil risiko jika badannya sakit, mengingat hanya kaus olahraga tanpa lengan yang ia kenakan.

           Eva hanya menggeleng, ia sepertinya tidak mau beranjak dari tempat ini. Indra tidak tahu apa yang sudah dialami temannya ini, namun ia juga memikirkan kesehatan dirinya dan juga Eva, ia tak mau masuk angin dan harus berbaring selama weekend besok. Apalagi angin malam sangat berbahaya jika tidak waspada, mereka bisa terkena angin duduk. Apa sebenarnya yang dialami Eva sehingga ia tidak ingin pulang ke rumah, Indra memang sempat mendengar dari Riki kalo Eva berhenti bekerja, namun jika tebakannya benar, maka orang tuanya sedang marah sekarang, Indra sudah tahu bagaimana kerasnya sikap ibu Eva.

           Indra segera mengirim pesan kepada Riki, menyuruh menjemputnya di taman bermain. Dengan sedikit tidak sopan bahkan Indra menyuruh temannya menjemput dengan kendaraan roda empat. Ia tak tega jika Eva harus menaiki motor malam-malam seperti ini. Sudah lama menjadi teman Indra, Riki tidak pernah protes dengan kelakuannya, ia menurut saja dan mengendarai mobilnya untuk menjemput Indra. Sebenarnya ia sudah jaga-jaga menggunakan mobil saat hendak berangkat tadi, karena permintaan Indra yang seperti ini bukan sekali dua kali ia sudah sering merepotkannya dengan bilang tidak akan ikut ke kafe namun dua jam kemudian minta dijemput ikut ke kafe hanya untuk sekedar menumpang wifi gratis.

Lihat selengkapnya