Minggu pagi Indra terbangun dengan kepala yang pusing, badannya terasa sakit di sana sini. Sudah dipastikan karena masuk angin, mengingat semalam saat bertemu dengan Eva ia hanya menggunakan kaus olahraga tanpa lengan dan celana pendek selutut. Ia keluar dari kamar dengan masih menggunakan sarung samping. Selepas salat subuh tadi Indra merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur untuk meluruskan badannya yang sakit-sakit, namun tak kuasa menahan kantuk ia pun terlelap kembali. Ia celingak-celinguk mencari seseorang, dari ruangan depan sampai belakang sudah ia jelajah namun ia tak menemukan sosok ibu atau ayahnya di mana pun.
Indra pergi keluar rumah berbelok ke sebelah kanan dan membuka pagar rumah kakaknya yang terletak tepat di samping rumah. Ia langsung menerobos masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu bahkan tanpa salam. Tujuannya hanya satu, yaitu mencari orang tuannya. Ia melihat keponakannya yang sedang bermain ponsel, dan kakaknya muncul dari arah dapur.
“Tumben pagi-pagi bangun, biasanya juga nanti siang.” Seorang pria yang tinggi dan lebih berisi dari Indra muncul dari arah dapur, membawa keranjang cucian yang hendak di jemur.
“A, mamah sama bapak ke mana?” Indra langsung duduk di kursi santai depan TV.
“Kapasar meren, kan banyak orderan ketring.” Sudah sedari dulu ibu Indra menjalankan usaha ketring untuk membantu keuangan keluarga.
Ayahnya yang seorang satpam proyek hanya cukup untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan kedua anak mereka semakin dewasa dan kebutuhannya semakin bertambah. Maka seiring berjalannya waktu ibu Indra berusaha membuka rumah makan di simpang jalan menuju arah kota dan perumahan. Begitulah akhirnya Indra dan kakaknya bisa mengecap bangku perkuliahan dan kerja di perusahaan yang layak.
“A, pang ngeroken eung, masuk angin yeuh jigana.” Indra mulai merebahkan badannya di kursi.
“Dih, makannya cepet punya istri biar ada yang ngurus. Udah hampir kepala tiga kok masih nempel sama orang tua.” Bukannya mendapat sambutan hangat, Indra malah mendapat cibiran dari kakaknya.
Bukannya tidak ingin menikah, namun dia masih memikirkan banyak hal. Baginya menikah bukanlah sekedar mengucap akad, ada hal yang harus ia penuhi sebagai suami nantinya, dan ia rasa ia belum sanggup menjadi suami yang baik. Banyak ilmu yang harus ia pelajari untuk menjadi seorang suami yang baik. Selain itu juga adakah seorang perempuan yang mau mengurusnya nanti dengan segala kekurangan yang ia miliki. Seharusnya kakaknya juga ingat janji apa yang dulu pernah Indra ucapkan kepadanya, bukan hanya kepada dia namun kepada seluruh keluarganya.
“Apa sih baru juga tiga satu, aa kali yang udah kepala empat.”
“Emang, Aa dulu umur dua tiga udah nikah. Kamu masih aja suka main-main ga jelas. Usaha yang bener, nabung, kalo udah banyak uang mah cewe mana yang ga mau sama yang berduit.” Dulu saat kakaknya masih berusia muda, ia bersikeras untuk meminang wanita pujaannya.
Keadaan keluarganya saat itu bisa dibilang sedang mumpuni. Ditambah kakaknya sudah mendapat pekerjaan yang nyaman dan bergaji besar, maka orang tuanya hanya bisa memberi restu jika itu yang anaknya inginkan. Lagi pula untuk apa berlama-lama pacaran jika tidak ada niatan untuk serius. Menikah juga mengurangi maksiat, itulah yang kakaknya bilang saat ingin meminta restu kepada kedua orang tuanya.
Seorang perempuan dari Jakarta bergabung dengan keluarga mereka. Bertambahnya seorang wanita di keluarga mereka, membuat keadaan keluarga semakin hangat. Ibunya kini mempunyai teman untuk sekedar mengobrol di dapur, karena selama ini ia harus mengurus tiga laki-laki yang tidak tahu dan tidak tertarik untuk membicarakan persoalan perempuan.
Hijrah dari Jakarta ke Sukabumi dan meninggalkan pekerjaannya di sana, kakak ipar Indra awalnya bekerja sebagai seorang finace di sebuah perusahaan yang sama dengan kakaknya yang seorang HRD. Demi berbakti kepada seorang suami, ia rela berhenti bekerja dan mengikuti suaminya yang saat itu diangkat menjadi kepala cabang perusahaan yang di dirikan di Sukabumi. Beruntung ia tak dibuat menganggur, di sini ia di ajak ibu mertuanya untuk menjalankan rumah makan bersama, setidaknya ia memiliki kegiatan lain selain mengurus suaminya.
“Ah udah balik aja lah, gajelas malah ceramah.” Keadaan Indra sekarang juga tidak terlalu buruk, ia sudah bekerja di pabrik yang sama dengan Eca. Posisinya sebagai seorang IT tak menutup kemungkinan ia sudah mapan dan mampu untuk menikah secara finansial. Namun ada satu hal yang masih mengganjal dalam hatinya dan membuatnya selalu mengulur waktu untuk menikah.
“Iya atuh sini-sini, pundungan teuing.” Setelah kakaknya selesai menjemur baju, akhirnya Indra mendapatkan pijatan di punggung.
Kegiatan mengerok punggung saat mengalami masuk angin masih di lakukan di keluarganya. Suara sendawa keluar saat kakaknya menekan titik yang sakit. Ia merasa lebih lega sekarang, angin yang berada di perutnya sudah berkurang. Kepalanya juga mendapat pijatan, membuat pusingnya mereda. Meskipun sudah memiliki istri dan seorang anak, kakaknya ini masih sangat menyayanginya. Perhatiannya tak pernah terbagi, bahkan sampai kuliah ia masih mendapatkan uang saku dari kakaknya.
“Eh ada Adek, kenapa tuh dipijitin.” Seorang wanita yang lebih tua darinya baru saja datang, ia membawa sekantong belanjaan.
Adek adalah panggilan Indra di keluarga, meskipun ia sudah besar namun tak menjadi alasan kalau dia memanglah anak bungsu di keluarganya. Kakak iparnya juga sangat menyayangi Indra, ia bahkan ingin memperkenalkan dan merekomendasikan Indra kepada koleganya untuk bekerja di perusahaan yang lebih bagus, namun Indra menolak karena suatu alasan. Ia juga tidak ingin jauh-jauh dari kedua orang tuanya.
“Biasa masuk angin teh.” Indra tak malu-malu membuka bajunya untuk diolesi minyak angin oleh sang kakak.
“Kata mama, kamu kemarin pulang malem banget, abis dari mana emang?”
“Biasa di kafenya Riki.”
“Udah tau gampang sakit, masih aja suka keluyuran malem.” Kakaknya menekan ujung koin satu ribu rupiah ke atas tengkuknya, membuat Indra meringis kesakitan.
“Nongkrong mulu, sukur-sukur kalo pulang bawa jodoh, ini malah bawa angin.” Sambung sang Kakak.
“Yaudah makan dulu di sini teteh mau masak, sekalian bantuin yah.” Kakak iparnya berjalan menuju dapur.
Bisa dibilang dia ini duplikat ibunya dalam hal memasak, karena masakan yang dia masak rasanya akan sama persis dengan masakan ibu. Entah karena faktor mereka sering bersama di dapur atau ibu memang sengaja mewariskan resep-resep andalannya kepada menantu kesayangannya ini.
“Siap teh.” Indra mengangkat tangannya memberi tanda hormat.
Indra kembali memakai bajunya dan meregangkan badan setelah di pijat dan di kerok. Matanya menangkap adik iparnya yang sedari tadi tak lepas dari ponsel. Sebelum sampai di dapur, otak jahilnya muncul, ia mengambil ponsel keponakannya yang sedang asyik bermain game online. Menaruhnya di atas lemari TV, tentu saja keponakan laki-lakinya yang masih menginjak sekolah menengah pertama itu belum setinggi Indra, badannya masih dalam masa pertumbuhan.
“Mamang ih kembaliin. Ayahhhh mamang jail.” Ayahnya yang melihat hanya tersenyum geli.
“Libur sekolah tuh belajar bukannya main game,” ujar Indra dengan nada meledek.
“Aku udah belajar di sekolah, masa di rumah juga di suruh belajar, Istirahatlah.” Keponakannya mengeluh karena selalu mendapat tuntutan untuk belajar dari Indra.
Indra seperti guru les bagi keponakannya. Saat keponakannya masih kecil Indra menjadi tutornya belajar membaca dan menulis, sehingga saat masuk sekolah keponakannya itu sudah fasih membaca dan tulisannya sudah rapi. Begitu pun dengan sekarang, saat keponakannya mendapatkan kesulitan dalam belajar, dia pasti meminta bantuan kepada Indra.
“Kamu gak tahu aja dulu mamang belajar dari pagi sampai pagi lagi buat jadi juara satu.” Indra selalu membanggakan prestasinya agar menjadi motivasi bagi keponakannya.
“Itu kan karena mamang punya saingan, jadi ga mau kalah. Kalo aku mah aman yang pinter di kelas cuma aku doang.” Keponakannya sudah besar kepala sekarang. Ia tak mau kalah membandingkan prestasi dengan pamannya.
Berkat didikan Indra keponakannya sekarang menjadi langganan juara satu di sekolah. Bahkan dia juga pernah menjuarai beberapa Olimpiade Nasional. Tapi ada kekhawatiran di dalam diri Indra, karena anak zaman sekarang sudah pintar menggunakan ponsel dan itu akan menjadi hambatan bagi keponakannya untuk belajar. Ia mulai sulit jika diajak untuk belajar, atau sekedar mengulas kembali apa yang dipelajarinya di sekolah.
“Dih sombong, udah turun nilai tahu rasa nanti.” Indra mengembalikan ponsel keponakannya dan selanjutnya yang ia dapatkan hanya ejekan dan uluran lidah.