Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #5

Lintas Alam

Sukabumi, 13 Agustus 2018

Masa sekolah tidak lengkap jika tidak mengikuti kegiatan pramuka. Begitu pun dengan Eva dan teman-temannya. Ia sudah menginjak kelas tiga, namun masih harus mengikuti kegiatan kepramukaan. Seharusnya ia sedang di meja belajarnya untuk mempersiapkan Ujian Nasional nanti. Tapi lihatlah sekarang, ia menggunakan seragam pramuka lengkap dengan sepatunya yang sudah dilumuri lumpur. Ia dan teman-temannya sedang berhenti di sebuah pos dalam kegiatan Lintas Alam, sebelum esok harinya di adakan upacara memperingati HUT Pramuka ke-57. Kegiatan ini dihiasi dengan beberapa mata lomba di bidang pramuka. Eva yang tidak terlalu familier dengan kegiatan ini hanya ikut-ikutan saja saat Eca mengajaknya. Ini juga menjadi kesempatan Eva untuk mengeksplore dirinya untuk lebih berani menjelajah di alam.

Selama ini ia hanya diam di rumah dan duduk di meja belajarnya menghadapi buku-buku tes yang harus ia pelajari. Tempat terjauhnya untuk bermain hanya di lapangan, ia tak pernah menjelajah seperti ini. Walaupun hati kecilnya masih mengingat soal latihan untuk Ujian Nasional nanti, tapi dirinya sepenuhnya menikmati kegiatan ini. Berteriak menyanyikan yel-yel, menebak kode-kode yang harus dipecahkan, dan masih banyak lagi kegiatan yang mengasikan.

Kegiatan ini diikuti oleh setiap sekolah di satu kecamatan. Satu sekolah mengirimkan dua regu, laki-laki dan perempuan. Satu regu berjumlah paling banyak sepuluh orang. Regu perempuan dan laki-laki berbeda saat menjalani Lintas Alam ini, perempuan berjalan terlebih dahulu untuk menjelajah, dan laki-laki berjalan setelahnya. Dalam kegiatan ini mereka diharuskan memecahkan kode-kode yang sudah di sebar di setiap pos yang berjumlah lima pos dan dua pos tambahan untuk mengecek kesehatan. Kenyataannya saat di perjalanan para lelaki yang memiliki langkah panjang selalu mendahului perempuan dan ada beberapa di antara mereka yang akhirnya berbaur untuk saling membantu memecahkan kode dan menjadi regu perwakilan dari sekolah mereka yang pertama sampai.

Riki dan regu laki-laki yang dipimpinnya berlari mendahului beberapa regu perempuan. Saat lewat mereka disoraki dan saling melempar yel-yel mengunggulkan sekolah masing-masing. Eva dan regu perempuannya yang mendengar suara mereka, memilih untuk menepi dan menunggu mereka. Sambil beristirahat Eva melihat kertas yang ada di tangannya, tinggal dua pos lagi yang harus dilalui. Mereka sudah hebat sejauh ini, bisa menebak semua kode yang ada di setiap pos dan mendapatkan posisi kelima. Ketua regu yang sekaligus merupakan pradana putri dari sekolahnya sangat bersemangat dan disiplin membimbing mereka. Saat melihat Riki mendekat, Mila langsung menghampirinya. Ya, Mila adalah pemimpin regu putri. Mereka berdua langsung berdiskusi terkait kode yang harus mereka pecahkan untuk pos selanjutnya.

Regu lelaki yang baru sampai langsung beristirahat bergabung dengan regu putri. Eca menghitung regu laki-laki yang baru sampai, dirinya menghitung berulang para lelaki yang sedang berteguh di bawah pohon itu.

“Eh coba kalian berhitung, kok kaya ada yang kurang.” Eca menunjuk teman laki-lakinya satu persatu.

“Apa sih Ca, kita semua lengkap kok.” Seorang laki-laki menimpali. Ia tengah duduk di bawah pohon sambil memegang botol minum yang isinya hampir habis.

“Engga, ada yang kurang loh satu.” Eca kembali meyakinkan.

“Kan itu Riki lagi diskusi sama Mila.” Temannya itu mengira kalau Eca keliru karena satu dari mereka sedang keluar barisan dan berdiskusi dengan Mila.

“Engga anjir, coba berhitung ceuk urang ge.” Dengan sedikit memaksa Eca menyuruh berdiri mereka satu persatu.

Mereka akhirnya menuruti perkataan Eca dan berhitung. Benar saja mereka kehilangan satu anggota. Siapa yang masih tertinggal di belakang, regu yang beranggotakan sepuluh orang itu akhirnya memberi tahu Riki.

“Indra ke mana, kok gak kelihatan.” Eva menghampiri Riki sebelum para regu melaporkannya.

“Lah dia gak ada di sana?” Jawab Riki menunjuk barisan laki-laki yang sedang duduk beristirahat.

“Engga, aku gak liat dia.”

“Pasti ketinggalan, soalnya tadi dia banyak ngobrol sama regu cewe pas di jalan.” Riki kembali fokus pada kode yang harus ia pecahkan.

Begitulah para lelaki, langkah kaki yang panjang dan kecepatan yang mereka miliki digunakan untuk mencari kesempatan berbicara dengan regu putri. Tak jarang setelah kegiatan pramuka ini mereka memiliki teman dari sekolah lain bahkan pacaran. Begitulah indahnya bumi perkemahan bagi sebagian orang. Menjadi ajang mencari cinta monyetnya.

“Lapor! Ketua kayanya kita ketinggalan satu orang di belakang.” Dengan sikap formal Bima melapor kepada Riki.

 “Udah biarin aja nanti juga nyusul.”

Sudah hampir setengah jam mereka menunggu, namun Indra tak kunjung sampai. Regu dari sekolah lain sudah mendahului mereka. Kini hati Eva tidak tenang, ke mana temannya yang satu itu. Ia tahu Indra seorang ekstrovert yang ramah dan ekspresif, ia senang bersosialisasi. Apakah semenyenangkan itu berbicara dengan perempuan sampai ia belum sampai juga di sini. Beberapa regu sudah mendahuluinya dan ia tidak mau sekolahnya mendapat urutan terakhir, jangan sampai usaha mereka mendapat posisi ke lima sia-sia.

Merasa jengkel akhirnya Eva memutuskan untuk menyusul Indra. Sempat ditentang oleh Mila dan Riki, namun dia tetap bersikeras untuk menyusul Indra. Ia kesal dengan perilaku temannya itu yang seenaknya, bagaimana bisa Indra terpisah dari regu hanya untuk bergabung dengan regu perempuan dari sekolah lain, dan ia juga kesal dengan sikap santai Riki yang sama sekali tidak khawatir dengan anggota regunya. Tanpa pikir panjang Eva langsung membawa tasnya dan berlari kembali ke jalan yang sudah di laluinya tadi. Akhirnya Tira dan Bima menyusul Eva yang sudah berlari terlebih dahulu, Eca dan Riki tidak bisa menghentikan temannya yang keras kepala. Riki yakin temannya itu hanya sedang asyik berbincang dengan regu lain dan akan menyusulnya, mungkin Indra bersama regu terakhir.

Eva menghentikan larinya, nafasnya terengah-engah sudah dua pos ia lewati, namun ia tak melihat Indra. Eva memberanikan diri untuk bertanya kepada regu dari sekolah lain, namun ia tak tahu bagaimana memulai pembicaraannya. Mereka tidak akan tahu Indra bukan, jadi apa yang harus ia tanyakan.

“Maaf kak, kakak dari SMP 2 kan?” Seorang laki-laki menepuk pundaknya dari belakang dan memperhatikan bet sekolah yang menempel di baju Eva.

“Iya.” Jawab Eva singkat.

“Itu temannya ada yang sakit di pos 3.” Pikirannya langsung tertuju pada Indra.

Eva segera berlari dan diikuti oleh lelaki yang tadi memberitahunya di belakang. Ia sudah melewati pos tiga tadi, namun tak melihat tanda-tanda apa pun. Ternyata kerumunan yang tadi Eva lewati adalah mereka yang sedang mengerubungi Indra, Eva berpikir mereka sedang beristirahat dan berdiskusi memecahkan kode. Saat sampai Eva langsung membelah kerumunan dan melihat Indra tengah berbaring kesakitan. Tangannya menutupi separuh wajah, namun terlihat sekali wajahnya pucat. Eva meminta salah seorang memberinya sebotol air, namun mereka menjelaskan bahwa Indra tidak mau minum. Mereka bingung apa yang harus dilakukan dan hanya memberondongi pertanyaan kepada Indra. Tentu saja Indra hanya meringis dan tidak menjawab pertanyaan mereka. Eva melihat tangan Indra yang satunya memegang perut sebelah kanan, apakah ia terkena kram perut.

“Indra ini aku, kamu bisa bangun gak?” Perlahan Eva menyentuh lengan Indra,

Indra mengenali suara yang ada di hadapannya, ia perlahan menurunkan tangan yang menutupi wajahnya dan terlihat senang saat melihat Eva. Sebenarnya Indra menutup wajahnya karena malu dikerubungi oleh banyak orang tak dikenal. Tapi rasa sakit yang ia rasakan sungguh menyiksanya, sebenarnya tadi ia masih bersama dengan regunya, ia berada di barisan paling belakang. Saat sedang bercanda dan mengobrol dengan regu lain, ia merasakan sakit di perut bagian kanannya, Indra menepi dan mengeluarkan air dari tas kecilnya ia meneguk semua isi di dalamnya, sedikit tertinggal dari regunya bukanlah masalah, ia bisa berlari untuk menyusul mereka setelah perutnya sedikit membaik .

Bukan perasaan lega yang ia rasakan, namun otaknya merasa seperti membeku dan dingin menjalar di tubuhnya. Disusul dengan sakit di bagian perut kanan, ia merebahkan diri sebentar untuk meredakan sakitnya, namun bukan membaik sakitnya malah bertambah parah membuatnya meringis. Sekelompok regu laki-laki yang melintas melihat Indra yang tengah kesakitan dan menghampirinya, beberapa regu perempuan juga ikut mengerubungi, Indra yang merasa malu hanya bisa menutupi wajahnya sambil meringis kesakitan, wajahnya sudah semakin pucat.

Kedatangan Eva membuatnya sedikit lega, setidaknya ada orang yang bisa ia andalkan sekarang. Eva perlahan memegang pundak Indra membantunya untuk duduk, sedikit pergerakan yang dilakukan membuat Indra meringis kesakitan, Eva semakin khawatir dibuatnya, apalagi keringat dingin mulai menjalar di tubuh Indra. Untungnya Tiara dan Bima menyusul mereka, Eva langsung menyuruhnya untuk memberitahu Riki dan meminta pertolongan kepada para pembina. Dengan kencang Bima berlari dan melewati beberapa regu di depannya yang terheran-heran melihat Bima lari seperti dikejar anjing.

Dia berlari melewati regunya sendiri dan berteriak kalo Indra sakit dan membutuhkan pertolongan. Mereka semua langsung berlari dan menyusul Bima, setelah sampai di pos penjaga, Bima langsung menjelaskan kondisi Indra dan segera mengirim pertolongan.

Sebuah motor tuk-tuk berhenti di depan kerumunan, mereka menurunkan tandu dan dengan cekatan mengangkat Indra membawanya naik. Andai saja Eva tak berani, ia pasti sudah ikut naik ke atas dan menemani Indra. Melihat betapa cekatannya para PMI menolong Indra, membuat Eva tidak berani mengganggu. Ia berharap Indra segera diobati dan dia lekas membaik.

Maneh gimana sih kok bisa ninggalin anggotanya gitu aja?” Eva marah dan mendorong bahu Riki. Mereka sudah sampai di tenda dan sedang berkumpul di tenda laki-laki setelah menerima arahan dari pembina mereka mengenai hal yang menimpa Indra.

Indra sedang mendapat perawatan di posko medis sekarang. Eva benar-benar marah pada Riki, bagaimana bisa dia menelantarkan temannya sendiri yang kesakitan. Jika Eva tak menyusul ke sana entah apa yang akan terjadi pada Indra sekarang.

Maneh becus teu jadi ketua, mun aya nanaon ka si Indra kumaha? Lain kabisana gumasep we ka awewe.” Eva habis-habisan memarahi Riki. Ini adalah kali pertamanya marah dan mengeluarkan kata kasar. Semua orang di sekelilingnya kaget dan terdiam, mereka juga pertama kali melihat Eva marah. Eva tak sungkan melayangkan caci makinya karena di hadapannya adalah Riki, dia harus mengerti apa yang telah diperbuatnya, karena dia Riki dia harus lebih memperhatikan teman dekatnya.

“Mana atuh tanggung jawabna sebagai ketua teh, mana solidaritasna?” Eva semakin keras mendorong Riki.

“Va udah Va, malu takut kedengeran orang.” Eca berusaha melerai mereka. Meskipun tak berani untuk mendekat setidaknya ia berani membuka suara di antara semua orang yang ada di sini. Mereka hanya menunduk dan merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Indra.

Lihat selengkapnya