Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #6

Bunga Matahari

Sukabumi, 2019

           Menjalani keseharian di tahun terakhir sekolah memang sangat sibuk. Mereka diharuskan mengikuti segala ujian percobaan untuk menghadapi Ujian Nasional. Beberapa mata pelajaran yang akan hadir di Ujian Nasional mengadakan jam tambahan untuk belajar. Waktu pulang juga semakin sore, namun tak apa, demi mendapatkan nilai yang memuaskan dan lulus dalam ujian para siswa ini mendadak menjadi ambisius dalam belajar.

           Tak kalah semangat, Eva juga belajar mati-matian untuk menghadapi ujian terakhir ini, dia harus mendapatkan nilai sempurna dan menjadi juara satu pararel. Jam malamnya semakin bertambah, ia tidur hampir jam sebelas malam setiap hari. Ibu tidak pernah memarahinya, karena ini demi masa depan putri tercintanya. Kegiatannya di luar semakin berkurang, Eva hanya akan duduk di meja belajarnya dan menghadapi buku kumpulan tes Ujian Nasional. Selain mempelajari buku yang sudah diberikan di sekolah ia juga mempelajari buku dari lima tahun ke belakang sebagai acuan.

           Setelah di vonis sakit batu ginjal Indra menjadi sedikit pendiam. Ia tidak selincah dulu, jika biasanya Indra dan Eva akan seperti anjing dan kucing jika sudah bertengkar, maka sekarang kelas mereka damai tanpa pertengkaran mereka. Sejak saat itu memang Indra jarang sekali mengusili Eva, mungkin hanya sekedar bercanda sekenanya. Indra juga lebih sedikit berbicara dan sering memisahkan diri dari teman-temannya. Ia lebih suka pergi ke perpus untuk belajar dari pada bermain dengan teman-temannya di lapangan.

           Perubahannya ini membuat Eva sedikit tenang karena tidak ada lagi yang mengganggunya. Ia juga bisa lebih fokus belajar tanpa harus memikirkan sejauh mana Indra sudah menghafal, karena mereka memang disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Kegiatan Eca sekarang juga sama, setelah kemenangannya dalam lomba bola Volly putri sebagai juara tiga, kini ia lebih fokus terhadap akademiknya. Ia sudah puas dengan membawa piala kemenangannya untuk dipajang di kantor sekolah. Disela istirahat, atau jika ada jam kosong, Eva dan Eca akan pergi ke perpustakaan untuk belajar. Kini Eca menjadi pengikut Eva, apa pun yang Eva kerjakan Eca juga harus mempelajari dan memahaminya. Bahkan setelah pulang sekolah mereka menyempatkan waktu tiga puluh menit untuk mengerjakan dan mengulas beberapa soal bersama di sana.

           Di hari Jumat sepulang sekolah mereka akhirnya bisa pulang bersama kembali. Setelah beberapa kegiatan padat yang mereka lakukan akhir-akhir ini. pulang sekolah dengan teman memang selalu menyenangkan, canda tawa yang di lontarkan dan percakapan tidak bermutu yang menjadi hiburan di setiap langkah. Eva merasa kepalanya sedikit ringan, setelah tiga hari menghadapi Try Out dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Setidaknya ia memiliki nilai yang sama dengan Indra hanya sedikit lagi usaha dan kerja keras untuk lebih unggul dari temannya. Ia merasa senang, akhirnya untuk pertama kali ia bisa sejajar dengan Indra.

           “Besok kan libur yah, gimana kalo kita ngeliwet.” Mila dengan antusias memberi usul kepada teman-temannya.

           “Boljug tuh, mau di mana?” Riki menimpali tak kalah antusias.

           “Di rumah Eca lah, dimana lagi, dia kan sumber kehidupan.” Sudah tidak diragukan lagi, Indra menjawab dengan mantap. warung Eca memang selalu di jarah oleh mereka. Terlebih Eva, Riki dan Indra yang sudah melakukannya sedari dulu.

           “Iya asal bayar aja, jangan pada nganjuk.” Eca mendelik, bukan karena keberatan rumahnya selalu dijadikan tempat berkumpul, ia hanya tak ingin warungnya bangkrut karena mereka.

           “Iyalah udunan, berapa ewang gitu?” Tanya Tiara

           “Sepuluh ribu cukup kayanya.” Jawab Eca dengan senyum jahilnya.

           “Ca, yang bener aja, pemalakan itu mah.” Protes Riki.

           “Heyy beras mahal ya sekarang.” Eca berkaca pinggang dan mengomeli Riki.

           “Lagian nanti juga mama kamu pasti bilang, gak usah gapapa jangan di bayar haha.” Indra menirukan gestur dan nada suara ibu Eca.

           “Enak aja, aku gak mau rugi yah. Nanti kalian bayarnya ke aku aja.” Eca memukul pelan lengan Indra, jika ia yang menjaga warung maka teman-temannya tidak akan bisa mengambil makanan seenaknya. Ia selalu menagih mereka saat pulang. Tidak ada harga teman dalam sebuah bisnis.

           “Nanti kita rundingin lagi di grup chat aja, jadi apa engga nya.” Ucap Tiara.

           “Janlup, udunannya yahh sepuluh ribu pokonya.” Eca mempertegaskan kalimatnya.

           Eva hanya bisa tersenyum mendengar percakapan mereka, pasalnya ia tak punya ponsel dan tak bergabung dengan grup chat yang mereka bicarakan. Lagi pula ia tak berencana untuk ikut acara masak-masak di rumah Eca. Ia sudah sering makan di rumah Eca sedari kecil, maka itu tak akan berbeda dengan acara ini. Disaat anak-anak seumurannya sudah marak menggunakan ponsel, Eva masih setia dengan komputernya. Komputer yang ibunya berikan saat ia berusia tiga belas tahu, salah satu kegiatan barter dengan ibunya karena Eva memenangkan perlombaan catur saat class meeting. Komputer yang selalu Eva gunakan untuk mencari bahan pembelajaran dan soal-soal latihan. Terkadang ia juga diam-diam suka bermain game, akhir-akhir ini Eva sedang suka bermain media sosial Facebook. Disana ia bisa berinteraksi dengan teman-temannya tanpa bertatap muka.

           Saat tengah asyik berselancar di media sosial Eva melihat postingan Mila yang tidak sengaja lewat di berandanya, menampilkan foto selfi Mila yang sedang tersenyum manis. Eva menekan tombol komentar dan mendapati beberapa komentar teman-temannya di sana, matanya tertuju kepada usser name @In_Draw yang ia ketahui adalah akun milik Indra, dia memberikan komentar api dan jempol pada foto Mila. Eva hanya berdecak dan segera menutup kolom komentar tersebut. Ia menekan foto profil Indra yang langsung mengarah pada halaman profilnya, isinya hanya postingan hasil gambar Indra dan beberapa foto dirinya saat berolahraga. Berbeda sekali dengan isi halaman profil Eva yang sepenuhnya diisi oleh foto kegiatannya saat belajar dan beberapa prestasinya.

           Saat terdengar langkah ibunya mendekat, buru-buru Eva menekan tombol close dan mematikan komputernya. Ia langsung membuka buku latihannya dan fokus membaca soal. Ibu membuka pintu dan membawa sepiring buah mangga.

           “Besok Ibu ada rapat takutnya pulang sore, kamu gapapakan di rumah sendiri?” Ibu mengelus rabut Eva dengan lembut.

           “Hemmm gapapa bu, biasanya juga sendiri kan.” Eva menimpali dengan mulut yang penuh dengan mangga.

           “Oh iya, besok temen-temen mau masak di rumahnya Eca, Eva boleh ikutan gak?” Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, ia memberanikan diri meminta izin pada ibunya.

           “Ga usahlahh, bentar lagi kan kamu mau UN, mending belajar aja.” Eca sudah menduga jawaban ini yang keluar dari mulut ibunya. ia memang tidak akan bisa ikut dengan teman-temannya.

           “Belajar bareng juga kok di sana.” Eva menatap sang ibu dengan tatapan meyakinkan, berharap ibunya bisa mengizinkan kalau Eva memberi alasan dia dan teman-temannya juga akan belajar bareng di sana.

           “Ah belajar apa, kalo udah ngumpul barudak mah suka moleg.” Sanggah sang ibu.

           “Semangat yah belajarnya, kan mau Hp.” Ibu kembali mengelus kepala Eva dan beranjak pergi.

           Eva dan Ibunya memang sudah membuat perjanjian, jika ia mendapat nilai Ujian Nasional yang tinggi dan menjadi juara satu pararel, maka ibu akan memberinya ponsel. Tentu saja ini menjadi pemicu Eva untuk berusaha keras dalam belajarnya, ia juga ingin menggunakan ponsel seperti teman-temannya dan bertukar pesan seperti mereka. Fitur message di Facebook tidak Eva gunakan karena teman-temannya lebih suka berbincang di aplikasi WhatsApp.

           Setelah selesai mengerjakan soal latihan Eva melirik jam, hampir jam dua belas. Ia tadi terlalu asyik berselancar di media sosial sampai waktu belajarnya bertambah malam. Eva melirik piring yang tadinya berisi buah mangga sekarang sudah habis. Ia beranjak dari kamarnya membawa piring tersebut menuju dapur. Menyeduh susu sebelum tidur adalah hal yang wajib Eva lakukan, jika tidak meminumnya Eva akan mengalami gangguan tidur. Segelas susu hangat sudah ada dalam tangannya, ia berjalan perlahan menuju kamar takut langkahnya membangunkan sang ibu. Segelas susu segera ia minum lalu beranjak ke atas kasur dan tertidur lelap.

           Di hari Sabtu Eva tak banyak berkegiatan, ia hanya fokus pada soal-soal yang harus ia kerjakan. Setelah ibunya berangkat tadi pagi, ia hanya sempat memakan nasi dan telor ceplok buatan ibunya. Setelah siang hari Eva merasa perutnya mulai keroncongan, ia pergi menuju dapur melihat apakah ada makanan yang bisa ia makan. Sayangnya isi kulkas Eva sangat bersih, hanya ada dua telor tersisa di sana. Eva akhirnya berencana untuk membuat telor ceplok seperti yang ibunya buat. Ia mulai mengambil teplon dan memanaskan minyak, mengetukkan telor ke pinggiran panci dan membelahnya. Sayangnya cangkang telur ikut termasak ke dalam teplon, ia segera mengambil cangkang telur tersebut namun panasnya minyak terlebih dahulu menyentuh jarinya, panas disertai rasa terbakar menyentuh jarinya yang lentik.

           Eva segera berlari ke kamar mandi dan merendamkan jarinya ke dalam air, ia merasa sedikit lega namun kulitnya yang putih berubah menjadi merah, aroma gosong mulai tercium olehnya, ia lupa mematikan kompor, ia terlalu kaget karena tangannya terkena minyak. Eva segera berlari ke dapur dan mendapati telur ceploknya sudah gosong, ia lalu mematikan kompor dan membuang telurnya. Sepertinya sia-sia ia memasak, karena selama ini tidak pernah ia bersentuhan dengan alat masak. Eva akhirnya memutuskan untuk keluar dan membeli makanan, sebungkus roti dan sekotak susu mungkin akan cukup untuk mengganjal perutnya.

           Saat tengah berjalan menuju warung Eca, dia tersadar bahwa teman-temannya pasti sedang ada si sana. Ia pun mengurungkan niatnya dan hendak berbalik arah, ia merasa tak enak jika datang ke sana, Eva merasa tidak diajak karena ia tidak masuk ke dalam grup chat yang mereka bicarakan. Eva merasa tidak akan nyaman jika berada bersama mereka dan membahas sesuatu yang tidak Eva ketahui. Mungkin ia harus pergi ke warung lain, warung di perumahan ini hanya ada dua, letak keduanya sangat jauh dari rumah Eva. Warung Eca ada di Blok A sedangkan rumah Eva di Blok C, dan warung satunya lagi ada di sebrang gapura perumahan. Eva mengambil jalan memutar agar ia tak melewati rumah Eca dan terlihat oleh teman-temannya.

           Saat hendak menyeberang jalan ia dikejutkan oleh seseorang yang menarik tangannya dari belakang.

           “Kalo nyebrang liat kanan kiri, liat itu mobil sama motor masih rame, tunggu sepi dulu.” Seseorang mengomelinya, Eva berbalik dan tersenyum ketus mendengarnya.

           “Mau ke mana?” Lanjutnya.

           “Jajan.” Jawab Eva dengan wajah datar.

           Ia tak menyangka akan bertemu dengan Indra, bukannya seharusnya ia ada di rumah Eca, mengapa ia ada di sini sekarang. Terkadang Eva merasa heran kepada Indra yang selalu bisa muncul di mana saja saat Eva sendiri. Eva menurut saja saat Indra menarik tangannya dan menuntunnya ke warung nasi yang ada di pinggir jalan gapura perumahannya.

           “Eh ada Eva, abis dari mana?” Saat sampai Eva disambut oleh ibu Indra.

           “Mau jajan katanya ke seberang, padahal warung Eca deket.” Indra malah menjawab pertanyaan ibunya yang ditujukan pada Eva.

           “Eva udah makan belum, mau teteh siapin nasi gak?” Kakak ipar Indra sudah mengenalnya sejak dulu.

           “Ga usah teteh udah makan da tadi, mau jalan aja ini mah jenuh di rumah terus.” Eva menolak dengan malu-malu.

           “Ga papa makan dulu aja, ini ada menu baru pepes ayam sama tumis cumi, ayo di cobain.” Tumis cumi adalah makanan kesukaan Eva, bagaimana ia bisa menolaknya. Lagipula perutnya memang sedang lapar, apalagi masakan ibu Indra memang selalu enak.

           “Makasih, Ga usah mama Indra, Eva udah kenyang.” Namun ia tetap menolaknya demi menjaga harga diri. Tak enak jika datang-datang ia langsung disuguhi makanan, apalagi ia tak membawa uang banyak untuk membayarnya.

           “Ah gaboleh gitu, Indra ayo ajakin neng Eva makan. Kamu juga sekalian makan, belum makan siang kan.” Akhirnya dengan sedikit paksaan Eva duduk di kursi dengan Indra.

           Rasanya benar-benar malu, ia seperti sengaja datang ke sini untuk meminta makan. Ia juga merasa tak enak saat akan membayar makannya dan ibu Indra dengan tegas menolak. Bahkan ia menawarkan untuk membawa beberapa lauk pauk untuk di bawanya pulang dan diberikan pada ibunya.

           “Makasih ya Indra, masakan mama kamu enak banget sih juara.” Eva tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

           “Kalo gak enak gak bakal jualan Va.” Indra tertawa, begitu pun dengan Eva yang ikut tertawa mendengar jawaban Indra.

           “Mau gak makan masakan mama aku tiap hari?” Eva menoleh, penasaran dengan apa maksud ucapan Indra. Apakah ia akan mendapat makanan gratis setiap hari. Indra mengalihkan pandangannya dari mata Eva dan tak sengaja melihat warna merah di punggung tangan Evea.mIndra mendahului langkah Eva dan berhenti di depannya, meraih tangan kanan Eva. Seperti tersengat listrik, tubuh Eva mengerjap dan mematung. Detak jantungnya mulai tak beraturan.

           “Kamu abis ngapain sih, tangannya nyampe lecet gini.”

Eva menahan nafas, jantungnya seakan berhenti, ia segera menarik tangannya setelah Indra menempelkan plester pada luka bakar Eva. Ia langsung berjalan dan meninggalkan Indra di belakang.

           Indra tersenyum melihat sikap Eva, belum pernah ia melihatnya semalu itu. Indra menyusul Eva dan mensejajarkan langkahnya. Merasa diikuti Eva mengencangkan langkahnya dua kali lebih cepat. Indra memperhatikan langkah kecil Eva yang tergesa, sebenarnya ia gemas dengan langkah kaki Eva yang kecil dan terburu-buru, ingin sekali ia menginjak sendalnya agar ia berhenti melangkah.

           Eva akhirnya berhenti di warung Eca, ia membeli dua susu kotak strawberry. Ia tidak melihat Eca di sana, mungkin ia sedang bermain dengan Mila atau Riki. Sebenarnya ia penasaran dengan kegiatan masak-masak mereka, apakah kegiatan mereka sudah selesai. Sepertinya Eva memang sudah terlalu jauh dengan teman-temannya ia terlalu membatasi diri bergaul dengan mereka. Sudah lama ia tidak pergi keluar seperti ini.

           “Haiii Cici.” Eva menyapa kucing warna hitam yang keluar dari dalam rumah.

           “Mamah Cici boleh Eva bawa main gak?” Ia mengelus kucing yang sudah ia anggap seperti teman. Eva mengajak kucing itu berbincang seperti dengan manusia. Ia ingin membawa Cici pergi ke luar.

           “Bawa aja, tapi nanti balikin lagi ya. Yang punya takut marah.” Ibu Eca yang sedang menjaga warung pasti selalu mengizinkan Eva pergi membawa Cici untuk bermain.

           Indra tersenyum melihat Eva menggendong kucing. Temannya yang satu ini sangat menyukai kucing, Sampai-sampai foto profil sosial medianya adalah foto Cici. Sayangnya ia tak bisa memelihara kucing di rumah karena ibu tidak mengizinkannya.

           “Kamu suka banget yah sama kucing.” Indra melirik Eva yang sedari tadi mengelus dan berbicara dengan kucing.

           Mereka sudah sampai di lapang sekarang. Duduk di pinggir lapang sambil menikmati langit senja. Eva meminum susu kotaknya dan ia memberikan satunya lagi kepada Indra.

           “Iya mereka lucu banget. Liat Cici matanya bulet banget.” Indra sedikit mundur saat Eva menyodorkan kucing yang lucu itu ke hadapannya.

           “Kamu takut kucing?” Melihat reaksi Indra yang sedikit menjauh saat ia menyodorkan Cici, Eva merasa ia bisa balas menjahili Indra.

           “Engga.” Jawab Indra singkat sambil memalingkan wajahnya.

           Eva tersenyum jahil, ia menyodorkan Cici ke wajah Indra berusaha menakut nakutinya. Indra perlahan menghindar dan Eva terus mengarahkan Cici ke wajah Indra. Akhirnya Indra berlari dan Eva mengejarnya, mereka saling kejar kejaran sedangkan Cici yang ada di pangkuan Eva hanya bisa mengeong. Eva tertawa puas melihat Indra berlari ketakutan, mereka sudah enam putaran mengelilingi lapang. Indra berhenti dan merengkuhkan badannya, ia mengatur nafas dan menyuruh Eva untuk berhenti mengejarnya. Eva juga kelelahan, badannya yang tak seatletis Indra kepayahan mengejarnya. Ia akhirnya duduk di tengah lapang, merebahkan dirinya dengan Cici yang masih di pelukan. Indra menghampiri dan ikut merebahkan dirinya tak peduli jika bajunya akan kotor terkena tanah. Mereka masih terengah mengatur nafasnya supaya tenang.

           Setelah beberapa saat Eva kembali melempar Cici ke arah Indra. Ia benar- benar melemparnya seperti barang, Indra menjerit dan tak bisa berdiri karena ada Cici di atas perutnya, ia hanya bisa merengek seperti bayi. Untung saja Cici sangat tenang dan tidak mengamuk, mungkin karena sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Eca dan Eva. Indra berusaha menyentuh Cici perlahan, ternyata tidak ada gertakan darinya. Cici menyukai sentuhan Indra dan mengelus-elus kepalanya ke tangan Indra.

           “Cici baik yahh.”Indra terduduk dan mulai mengelus-elus Cici.

           “Emang, terus kamu kenapa takut.”

           “Soalnya kucing yang ada di warnas, suka badung maling makanan, kadang mereka juga suka nyakar.”

           “Itu karena kamunya jahat sama mereka, kalo kamu baik, mereka juga pasti baik. Mereka bisa ngerasain ancaman di sekitar mereka.”

           Dari kejauhan seseorang yang sedang mengendarai motor berhenti di pinggir lapang, ia memarkirkan motornya dan pergi menghampiri dua manusia yang tengah asyik bermain dengan kucing di tengah lapang.

            “Eva, ibu cari-cari ternyata di sini.” Ibunya berteriak dari kejauhan.

           Keduanya terkejut dan langsung menoleh ke arah suara, Eva lupa kalo sore ibunya sudah pulang dan ia belum sampai di rumah. Ia sudah janji pada ibunya untuk tidak keluar rumah. Ia pasti dimarahi lagi hari ini.

           “Ibu panggil-panggil di rumah gak ada siapa-siapa, untung aja mama Eca ngasih tahu.” Lihatlah ibunya sudah berkaca pinggang.

Lihat selengkapnya