Sudah lima bulan terhitung sejak Eva memutuskan menjadi pengangguran. Pekerjaannya sekarang jika tidak menjaga warung dengan ayahnya maka akan pergi ke perpustakaan kota untuk mengisi waktunya dengan membaca buku, ia perlahan ingin mengembalikan semangat belajarnya yang sudah hilang. Mungkin dengan membaca buku juga bisa menambah semangatnya untuk kembali menjalani kehidupan. Setelah pulang dari perpustakaan, Eva akan menunggu teman-temannya pulang dan berkumpul di kafe Riki.
Tidak ada yang menarik di kehidupannya sekarang, ia sudah membuang jauh-jauh kehidupannya yang terlalu berambisi dan mengejar dunia. Perlahan Eva mulai membenarkan hubungannya dengan Tuhan. Ia mulai mengikuti kajian-kajian, berharap bisa menuntunnya untuk membenahi hidup yang lebih baik dengan ketenangan tanpa rasa was-was atau takut didahului orang lain.
Kedua orang tuanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran mereka. Apakah anaknya akan tetap berdiam diri di rumah tanpa melakukan sesuatu. Mereka khawatir jika Eva menjadi bulan-bulanan tetangga karena keadaannya sekarang. Setidaknya mereka harus berusaha menemukan seseorang yang bisa mengurus Eva, bagaimana pun kedua orang tuanya yang sudah tua tidak bisa terus menerus mengurus dan membiayai Eva.
“Eva, kesini dulu, bapak mau bicara.” Suara ayahnya terdengar tegas, Eva yang sedang berdiam diri di kamar merasakan tanda-tanda bahaya.
“Kenapa pak?” Eva menghampiri ayahnya di ruang keluarga
“Ari kamu ga bakalan cari kerja lagi ini teh?” Mendapat pertanyaan seperti itu dari ayahnya, Eva hanya terdiam. Ia pikir orang tuanya sudah tidak khawatir dengan dirinya, namun ternyata mereka masih saja mengungkit ini.
“Eva udah nyaman pak sama kegiatan sekarang, ga perlu lah kerja, jagain warung aja sama bapak.” Eva merasa dirinya lebih bebas sekarang, ia nyaman dengan kegiatannya sehari-hari, bisa melakukan apapun yang ia mau tanpa ada paksaan atau tekanan dari manapun.
“Bukan kaya gitu Va, ibu sama bapak ga bisa terus-terusan biayain hidup kamu, kamu boleh aja tinggal di sini, tapi kita juga ga bisa terus manjain kamu, kamu harus mandiri. Setidaknya cari suami kalo ga mau kerja, biar ada yang ngurus.” Eva mendelik ke arah ibunya, ia selalu malas mendengar jika ibunya sudah membahas pernikahan. Eva tahu betul jika dirinya selama dua bulan ini sudah sering meminta uang kepada orang tuanya, ia sudah seperti anak sekolah diberi uang jatah satu minggu oleh ibunya. Namun ia juga sedang berusaha, ia berusaha mencari pekerjaan yang cocok dan bisa membuatnya nyaman. Bukannya jika menikah sebagai seorang istri Evalah yang harus mengurus suaminya, sedangkan ia belum siap dan ilmunya belum cukup untuk mengurus rumah angga.
“Mau bapak bantu carikan calonnya?”
“Aduh ga usah pak, terimakasih. Eva mending nyari sendiri.” Ngeri-ngeri sedap jika ayahnya sudah berbicara seperti itu, ini memang sudah terbilang krisis. Eva harus segera menemukan tambatan hatinya, atau ayahnya akan benar-benar menjodohkan dia.
Eva kembali ke kamarnya, memasukan beberapa buku yang ia pinjam dari perpustakaan dan hendak mengembalikannya. Saat berkunjung ke perpustakaan ia memang sempat melihat pria yang sering membaca di sana, parasnya sedikit tampan namun Eva tak berani membuka percakapan. Lebih tepatnya ia tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa. Jika saja ia memintanya untuk menjadi pacar pura-pura Eva mungkin orang tuanya tidak akan mendesaknya untuk segera menikah.
Ini adalah hari jumat, Eva selalu melihat pria itu berkunjung ke perpustakaan. Ia segera memakai hijabnya dan keluar rumah.
“Hei mau kemana?” Ayah yang melihatnya mendorong pintu pagar, dan berteriak dari arah warung.
“Nyari Jodoh,” jawab Eva yang terburu-buru tanpa menoleh ayahnya.
Ayah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya, ia benar-benar harus melakukan sesuatu. Demi masa depan anaknya, demi kebahagiaan Eva. Setidaknya jika ia menikah, Eva tidak akan luntang lantung tak jelas seperti ini, pulang larut malam dan keluyuran tak jelas. Eva memang sudah dewasa dan dia bisa menjaga dirinya sendiri, namun ayah dan ibunya khawatir, bagaimanapun ia adalah anak semata wayang mereka. Tidak baik pula bagi seorang gadis pulang larut malam, apa yang akan dipikirkan tetangga tentang hal itu.
Eva memindai kartu perpustakaannya yang ia dapatkan sebulan yang lalu. Ia masuk memberikan dua buku kepada penjaga perpus dan mengembalikannya. Masuk kedalam ruangan perpustakaan membuatnya merasa tenang, aroma buku yang khas, ruangan yang tenang dan suasana yang hangat, membuat pikiran Eva menjadi jernih. Ia bisa memikirkan dan mulai menata masa depannya kembali.
Pertama yang harus ia lakukan adalah mencari seseorang yang bisa ia jadikan umpan sementara untuk orang tuanya, sambil ia memikirkan pekerjaan apa yang akan ia lakukan. Ia sudah memikirkan beberapa pekerjaan yang cocok untuknya. Salah satunya menjadi konten kreator, Eva lupa ia suka membagikan kegiatannya saat mengajar dan mendapatkan banyak penonton. Pengikutnya juga sekarang sudah berpuluh-puluh ribu. Ia akan melanjutkan akunnya itu dengan membuat konten yang lain. Mungkin review buku atau mukbang, tutorial memasak, atau skincare. Eva belum terlalu memikirkan. Atau dia bertanya kepada penjaga perpustakaan apakah ada lowongan untuknya bekerja. Membuka usaha mungkin bagus untuk anak muda sepertinya. Banyak usahawan muda yang sudah sukses sekarang, mungkin Eva akan menjadi salah satu dari mereka. Eva menuliskan beberapa idenya di buku tulis, hanya gambaran kasar berupa list apa saja yang bisa ia lakukan dan mendapat peluang besar untuk masa depannya.
Pintu ruangan terbuka, Eva melihat seorang pria yang berbadan tinggi dan tegap, ia menggunakan baju koko berwarna putih dan celana hitam. Pakaian yang selalu dikenakan seseorang yang eva lihat di hari jumat. Itu adalah pria yang Eva maksud, ia sengaja berkunjung di hari jumat untuk bertemu dengannya. Pria itu selalu datang di jam sepuluh atau sebelas, sebelum dirinya pergi ke masjid untuk shalat jumat. Dia akan memilih duduk di kursi paling pojok dan melanjutkan bacannya tentang “It End With Us” karya Cooleen Hoover. Eva sudah membaca review buku itu untuk menjadi topik obrolah dengannya.
Ia sengaja mencari tahu hal yang sedang ia baca, maka siapapun pasti akan tertarik untuk berbicara dan mendiskusikan buku sama yang mereka baca. Eva melirik dan perlahan berdiri, merapihkan bukunya dan menjelajah rak buku mendekati posisi duduk pria itu dan berakhir mengambil buku secara acak lalu duduk di sebelahnya. Ini adalah pertama kalinya bagi Eva untuk mendekati seorang pria, semoga pria ini tertarik dengan Eva dan bisa membuat kesepakatan dengannya.
Eva berulang kali meliriknya, ingin memulai percakapan namun ia ragu-ragu. seseorang yang merasa dirinya ditatap berkali-kali merasa tak nyaman dan mulai menatap balik. Eva terdiam saat pria itu menatap nya, buru-buru ia menundukkan pandangannya. Seharusnya ia berani untuk menyapa terlebih dulu. Lihatlah sekarang ia hanya terdiam kaku dan tak bisa melanjutkan bacaannya. Waktu terus berlalu, pria di sampingnya beranjak pergi, Eva segera mengarahkan pandangannya mengikuti punggung pria itu, sayang sekali ia tak bisa berbicara dengannya hari ini.
Ia segera mengintip dari kaca jendela, pria tersebut bertemu dengan beberapa temannya yang lain yang menggunakan baju yang sama. Eva terbelalak saat melihat pria tersebut. Tunggu, apakah itu baju sekolah, atau hanya kebetulan baju yang sama. sialan pekiknya, sudah jelas ini adalah hari jumat dan setiap murid menggunakan baju muslim dari sekolah. Bisa-bisanya ia tertarik pada anak remaja, dia memang tidak terlihat seperti anak sekolahan, postur tubuhnya yang jenjang dan tegap berisi, membuatnya seperti sudah dewasa. Merinding sekali jika membayangkan harus berpasangan dengan murid sendiri. Eva segera membereskan barangnya dan bergegas pulang, rencananya hari ini gagal total. Ia harus mencari cara lain agar orang tuanya tidak berniat untuk menjodohkan Eva.
Saat sampai di depan rumah, Eva melihat kendaraan roda empat terparkir di halamannya, mungkin ayahnya kedatangan tamu. Malas untuk beramah-tamah, Eva berbalik arah dan pergi ke kafe Riki, disana sungguh ramai tetapi Eva merasa sendiri. Teman-temannya belum pulang kerja dan Riki sedang sibuk melayani pelanggan. Akhir-akhir ini mereka memang sangat sibuk dan sepertinya hanya Eva sendiri yang memiliki waktu luang. Eva menghela nafas mengasihani mereka yang harus tetap bekerja padahal hari sudah gelap, membuang-buang waktu mereka demi pundi-pundi rupiah yang akan habis dalam hitungan hari. Indra dan Eca mungkin sedang lembur kerja, biasanya saat hari sudah gelap mereka akan datang ke kafe Indra, namun sekarang Eva masih duduk sendiri sambil melihat Riki mondar-mandir menghampiri meja pelanggan.
Riki terduduk di lantai di balik meja kasir. Ia mengusap peluhnya yang bercucuran. Meski lelah tapi ia merasa bersyukur karena kafenya sangat ramai, ada sedikit waktu untuknya beristirahat dan melakukan sembahyang bergantian dengan karyawannya yang lain. Ia baru ingat temannya sedang ada di sini, dia terlalu sibuk sampai mengabaikannya. Riki berdiri dan melihat kursi yang di duduki Eva sudah kosong. Ia berjalan menuju lantai dua dan mengedarkan pandangannya, ia tak melihat sosok Eva di sana, mungkin Eva sudah pulang. Ia melihat layar ponselnya namun tidak ada pesan dari Eva.
Tak lama setelahnya, Indra dan Eca datang. Mereka membawa lelahnya masing-masing dari pekerjaan. Riki menyodorkan minuman untuk keduanya dan memberikan masing-masing nasi goreng hangat.
“Kalian ga liat Eva?” tanya Riki sambil duduk di depan mereka.
“Lah dia ga di sini?” Eca terheran, biasanya Eva sudah berada di kafe saat mereka sudah pulang bekerja.
“Tadi ada, tapi kayanya udah pulang.” Riki hanya mengedikkan bahu. Ia yakin tadi melihat Eva duduk di sini, namun karena ia sedang sibuk jadi tak sempat menyapanya.
“Bentar deh coba aku telpon.” Eca mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Eva, suara berdering terdengar namun tak ada jawaban dari Eva.
Sementara itu Eva sedang mengurung diri di kamarnya. Setelah orang tuanya menelpon tadi, ia segera pulang bahkan tanpa berpamitan dengan Riki. Tak disangka Eva termakan siasat kedua orang tuanya. Mobil yang terparkir di depan rumahnya masih ada, ternyata orang itu adalah seorang pejabat yang ingin ayahnya kenalkan kepada Eva. Bukan tanpa alasan ayahnya memperkenalkan mereka berdua, ia ingin Eva lebih mengenal pria paruh baya itu dan mendapat pekerjaan darinya. Ia merupakan seorang yang kaya raya, memiliki yayasan dan beberapa perusahaan. Ayahnya berharap Eva bisa kembali mengajar di salah satu sekolahnya.Duda yang beranak dua itu memiliki tubuh yang gempal namun tinggi, saat pertama kali melihat Eva mengira ia adalah seorang aparat yang mencari Eva, ia masih terbayang kejadiannya di masa lalu. Bukan tidak mungkin Andi mengirim orang unuk kembali memerasnya.
Saat itu Eva dan pria tersebut ditinggalkan berdua oleh kedua orang tuanya dan disuruh saling berbicara agar mengenal satu sama lain. Eva tidak kuat berbicara dengannya yang terus memamerkan kekayaannya, Eva tidak tertarik dengan pria yang suka flexing. Selama berbicara dengannya ia hanya mengganggukan kepala dan tersenyum, berbicara saat dia ditanya dan menjawab dengan singkat.
“Jadi gimana Va, kamu sanggup ga jadi istri saya. Kata bapak kamu, kamu pengangguran kan, nah jadi saya mau kasih kamu satu yayasan, boleh kamu kelola terserah kamu.” Pria itu berbicara dengan wajah menjengkelkan.
Syarat macam apa itu, tidak sudi ia harus menjadi istri seorang duda yang beranak dua meskipun ia diberikan akses penuh terhadap satu yayasan. Tentu saja Eva menolak bagaimana bisa ia menikah dengan duda beranak dua, meskipun ia kaya dan seorang pejabat, namun tetap saja Eva mempunyai pilihannya sendiri. Sejahat itukah ayahnya sampai harus menjodohkan Eva dengan lelaki paruh baya seumurannya. Apakah orang tuanya benar-benar sudah tidak mau mengurusnya.
“Maaf pak, saya emang mau ngajar lagi, tapi kalo jadi istri kayanya belum siap. Ilmu saya belum cukup.” Eva berusaha menolak dengan sesopan mungkin.
“Ga usah pake ilmu kalau jadi istri saya mah, asal kamu ada pas saya mau, itu aja udah cukup HAHAHA, melayani suami itu lebih pentingkan, masak, beberes, lah yang gitu mah biar urusan pembantu aja, kamu cukup temani saya di ranjang.” Eva tersentak, Seketika perasaan yang susah payah ia lupakan muncul kembali.
Rasa takut, rasa benci dan jijik, sentuhan tangan pria itu di pahanya membuat Eva mematung, ia merasakan panas kembali menjalar di tubuhnya dadanya berdegup kencang. Seperti saat Andi memeluknya, begitupun saat pria busuk ini menyentuh dan mengelus pahanya. Eva melihat wajah pria busuk itu dengan tatapan benci, lihatlah wajahnya yang memerah dan terbahak-bahak, ingin sekali ia menamparnya. Eva menepis tangan pria tersebut dan berdiri. Pria di hadapannya hanya menatap heran dengan wajah tanpa dosa.
Eva segera berlari ke arah kamar dan membanting pintu, ia mulai menitikan air mata dan meredamkan wajahnya ke bantal. Kedua orang tuanya yang sedang berada di warung mendengar suara pintu di tutup kasar. Mereka langsung bergegas menghampiri dan melihat Eva sudah tak berada di sana. Kedua orang tuanya melihat wajah kesal tamu mereka dan meminta maaf dengan sopan.
“Aduh maaf bapak atas ketidak sopanan anak saya.” Ayah Eva menghampiri, membungkukkan badan seraya meminta maaf.
“Santai-santai saya suka yang modelan kaya gitu.” Pria tersebut merasa penolakan Eva semkain memberinya tantangan untuk terus mengejarnya sampai dapat.
“Jadi gimana pak, anak saya bisa kerja di sekolah bapak kan?” Ayah Eva kembali bertanya dan meyakinkan bahwa Eva sangat kompeten di bidang pendidikan.
“Bisa dong pak, gampang itu mah. Tapi kalau dia memeuhi syarat dari saya baru bisa diterima.” Dia menyeruput kopi yang sedari tadi sudah berada di meja.
“Syarat, syarat apa ya pak.” Kedua alis ibu Eva bertaut, ia tidak mengerti syarat apa yang pria itu maksud. Jika persyaratan seperti lamaran pekerjaan ia sudah bisa menyiapkannya sekarang.
“Saya udah bilang ko ke neng Eva, yaudah kalo gitu saya pamit dulu, ditunggu ya jawabannya neng Eva.” Pria tersebut beranjak dari duduknya dan berpamitan untuk pulang. Mobil sudah terlihat mulai menjauh dari rumahnya dan deru kendaraan semakin tak terdengar.
Kedua orang tuanya hanya saling beradu pandang, pasalnya mereka tidak mengetahui apa syarat yang diajukan pria tersebut. Ibu mengetuk perlahan pintu kamar Eva, namun tidak ada jawaban dan akhirnya memutuskan untuk membuka pintu dan masuk ke dalam. Mereka melihat anaknya tengah terisak di atas kasur dengan nafas yang terengah.
“Eva ...” Ibu memanggilnya lembut.
Eva tak menoleh dan hanya menahan suara tangisnya, namun bisa dilihat jelas badannya bergetar dan sesegukan.
“Eva ada apa sama pak Dirga tadi?” Ayah hanya berdiri dan bersandar di ambang pintu.
Ibu duduk di atas kasur dan berusaha mengangkat tubuh Eva, melihat anaknya yang menangis dan berantakan membuat hatinya ikut sakit. Ia mrapikan anak rambut yang ada di wajah Eva dan mengusap air matanya.
“Kamu ditawarin syarat apa sama dia?” Ibu penasaran, apa yang di katakan pria tersebut sampai membuat anaknya menangis.
Eva mengatur nafasnya ia ingin sekali mengomeli ayahnya sekarang. Berani sekali ayahnya mengundang pria bejat tersebut ke rumahnya. Nafasnya masih tersenggal namun Eva berusaha untuk bicara.
“Ba ... bapak jah ... hat, masa Eva harus nikah sama yang gitu.” Air mata kembali membanjiri wajahnya ia mulai terisak kembali.
Kedua orang tuanya begitu terkejut, mereka tidak tahu kalau Dirga mempunyai tujuan seperti itu. Ayahnya hanya meminta untuk mengajak Eva bekerja di sekolahnya, ia tidak mengundang pria itu untuk menjadi menantunya.
“Astagfirullah, dia ngajakin kamu nikah. Bener-bener ya si Dirga, bapak cuma minta dia buat masukin kamu ke sekolahnya aja biar bisa ngajar di sana.”
“Iya tapi dia minta Eva jadi istrinya, bapak jahat. Kenapa juga minta tolong ke orang kaya gitu.” Eva semakin terisak air matanya tak bisa lagi dibendung.
“Bapak juga tahu dari temen bapak, katanya ada pejabat yang lagi buka lowongan pekerjaan di sekolahnya, mungkin kamu bisa ngajar di sana.”
“Ibu bapak jahattt.” Eva merebahkan badannya di pelukan sang ibu dan menangis tiada henti.