Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #8

Spotishy

​Bulan ini Eva dan teman-temannya disibukkan untuk mempersiapkan acara tunangan Riki dan Mila. Mereka ingin mengadakan acara di kafe agar bisa mengundang seluruh keluarga. Karena jarak rumah Riki dan Mila tidak terlalu jauh, maka mereka ingin mengadakannya di kafe agar terkesan meriah. Eva setiap pagi datang ke sana untuk membantu dekorasi dan membuat kue. Karena hanya Eva yang menganggur jadi ia membantu Riki dari pagi sampai sore. Dirinya sudah seperti karyawan Riki yang siap membantu dan disuruh melakukan apa pun. Hubungannya dengan Mila mulai membaik, Eva sudah tidak membatasi jarak lagi dengannya, ia juga beberapa kali menemani Mila memilih baju untuk lamarannya.

​Sementara itu Indra dan Eca selalu datang sore hari, apalagi saat lembur Indra kadang datang malam hari. Mereka benar-benar sibuk bekerja, terkadang Eva akan menjemput Eca pulang dari pabrik, begitulah keseahriannya sekrang. Selain menjadi tukang dekorasi, ia juga menjadi ojek untuk Eca.

​Ruangan sudah terlihat sembilan puluh persen selesai, hanya sisa makanan saja yang harus disajikan. Eva berpamitan kepada Riki dan Mila untuk menjemput Eca, ini sudah waktunya Eca pulang, ia tidak mau temannya menunggu lama di sana. Jalanan juga akan sedikit macet jika pabrik sudah bubaran dan Eva tidak mau terjebak macet dan harus mendengarkan klakson berbunyi.

​Sesampainya di sana, orang-orang mulai berhamburan keluar, Eva menajamkan matanya melihat sosok Eca. Sayangnya setelah lama memperhatikan matanya tak kunjung menemukan Eca. Ia mengambil ponselnya dan berniat menghubungi temannya. Ternyata Eca sudah mengirimnya pesan terlebih dahulu untuk tidak menjemputnya hari ini. mungkin Eva belum sempat membacanya, atau Eca mengirim pesan saat Eva sudah di jalan.

​“Eva maaf banget, kirain kamu baca chat aku.” Eca langsung menghamppirinya ke parkiran saat melihat temannya datang.

​“Iya gapapa, aku juga ga keburu liat notif kamu. Kamu pulang sama siapa tadi?” Eca sedikit ragu-ragu untuk menjawab.

​“Ayo kedalem dulu aja.” Ia memilih mengalihkan pembicaraan dan mengajak Eva untuk masuk.

​Saat di dalam Eca bercerita bahwa ia dijemput oleh mantan suaminya. Eca tidak tau kalau dia sudah kembali dan menemuinya saat itu, bahkan ibunya bilang mantan suami Eca sempat mampir ke rumah. Eca tidak tau harus bagaimana, bertemu kembali dengan mantan suaminya membuat perasaan cinta kembali hadir di hati Eca.

​Selama ini dia masih menjaga baik komunikasi dengannya, bahkan akhir-akhir ini ia terus bertukar pesan. Menurut informasi yang ia dapat dari ibunya, alasan mantan suaminya kembali adalah ingin mengajak rujuk kepada Eca. Bagaimanapun dulu mereka saling mencintai, tidak ada masalah besar yang menjadi alasan merka berpisan. Hanya Eca yang selalu berlebihan dan overthingking karena jarak mereka berjauhan. Eca tak bisa menjalin hubungan secara LDR, ia selalu menaruh curiga dan menuduh suaminya selingkuh, di balik itu merka sangat mencintai satu sama lain.

​Saat itu suaminya sudah jengkel dengan sikap Eca yang selalu menuduhnya yang bukan-bukan, padahal mereka selalu merindukan satu sama lain. Saat suaminya pulang, Eca selalu marah-marah dan merajuk, mungkin ia hanya tak bisa mengekspresikan rasa rindunya. Sekarang saat mantan suaminya sudah berpindah tempat pekejaan yang lebih dekat dan bisa dijangkau untuk pulang pergi, apakah Eca akan bersedia untuk menerimanya kembali.

​“Gimana kamu aja Ca itu mah, kalo kamu masih sayang dia yaudah balik lagi aja.” Eva menyerahkan kembali semua itu kepada perasaan Eca karena hubungan ini kedepannya akan dijalankan oleh Eca, jika dia memang masih menyayangi mantan suaminya taupun tidak.

​“Emang kalian tuh dulu masalahnya apa sih, aku juga kaget lo pas tau tiba-tiba kamu cerai. Padahal kaliankan lengket banget.” Posisi Mila yang tengah bekerja di jakarta saat itu membuatnya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya mendapat kabar dari Riki dan selebihnya ia tidak tahu. Ia juga tidak berani menanyakan langsung kepada Eca karena takut menyinggungnya.

​“Biasa LDR.” Jawab Riki singkat.

​“Aku sebenarnya malu, aku yang salah selalu nuduh dia yang engga-engga, kalo dia pulang ke rumah, aku selalu nyari masalah dan marah-marah. Setelah aku ngerasain capeknya kerja, sekarang aku tau gimana perasaan dia waktu itu, pasti kesel juga, pulang kerja bukannya disambut malah dimarahin, dituduh-tuduh sellingkuh. Aku malu sama diri aku sendiri, waktu itu ego aku masih tinggi, dia kebilang sabar banget lo ngadepin aku. Tapi aku dengan bodohnya malah nyia-nyiain dia.” Eca merasa menyesal dengan perbuatannya, ia tidak menyangka setelah apa yang ia lakukan mantan suaminya masih tetap ingin bersama.

​“Tapi kamu masih sayang kan sama dia?” Tanya Eva, yang dibalas anggukan oleh Eca.

​“Kalo kamu masih sayang, ini saatnya kamu nebus kesalahan kamu yang dulu, buktiin rasa sayang kamu itu ke dia.” Sebuah saran yang mungkin bisa Eca pertimbangkan. Eva tidak tahu menahu permasalahan rumah tangga, namun yang jrlas, jika masalah yang terjadi bisa diperbaiki, maka apa salahnya untuk mencoba kembali bersama.

 

​Pagi hari Eva berdandan dan menggunakan baju kebaya modern untuk menghadiri acar alamaran temannya, mungkin Indra dan Eca tidak akan datang karena mereka harus bekerja, namun pagi itu Eva sekeluarga dikejutkan dengan kondisi warung mereka yang acak-acakan. Rolling door yang sudah mengangkat dan banyak bengkok di sana sini. Sejumlah uang yang disimpan orang tuanya raib tak tersisa. Kini cobaan apalagi yang menimpanya.

​Ayah Eva hanya terdiam saat melihat keadaan warungnya, ia terduduk lemas saat melihat keadaan warungnya yang porak-poranda. Ibunya yang berteriak histeris membuat Eva berlari menghampiri, ia sama terkejutnya dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Sungguh tega sekali orang yang melakukan ini. beberapa sembako juga turut menghilang, jika dijumlahkan kerugian mungkin akan bernilai puluhan juta.

​Tidak adanya CCTV dan bukti membuat Eva sulit untuk melaporkannya ke polisi, ia hanya bisa melaporkannya kepada Rt dan Kelurahan setempat. Setidaknya mungkin orang-orang saat berkegiatan ronda melihat hal yang mencurigakan di sekitar rumahnya. 

​“Ini pasti ulahnya dia bu.”

​“Kenapa pak?”

​“Barusan dia nelpon, katanya kalo butuh uang dia bisa bantu asalkan aku ngizinin di buat nikahin Eva.”

​“Aduh jangan pak, jangan. Udah gapapa kita tutup aja warung buat sementara. Nanti kalo ibu udah cukup tabungan, kita beres-beres lagi.”

​Eva tak bisa menghadiri acara tunangan Riki dan Mila, saat itu ia benar-benar lupa, fokusnya teralihkan oleh kejadian yang menimpa keluarganya pagi ini. layar ponselnya penuh dengan notif dari grup mereka, Riki marah kepada mereka karena tidak ada satupun dari temannya yang datang. Ia tidak mau membicarakan hal ini kepada mereka, ia tidak mau merusak hari bahagia temannya. Biarlah nanti juga mereka akan tau lewat mulut warga.

​Beberapa hari ini Eva fokus untuk membereskan kekacauan di warung bersama ayahnya. Sunguh tega orang yang melakukan ini, mereka menaburkan minyak dan sabun kemana-mana sehingga Eva kesulitan untuk membersihkannya. Beberapa telur dan tepung berserakan, beras, rokok, dan mie instans habis tak bersisa. Beberapa renceng kopi masih tergantung disana, sepertinya pencuri tidak menyukai kopi jenis ini. 

​Jika dugaan ayahnya benar bahwa ini adalah ulah Dirga, maka ia sangatlah keterlaluan. Mentang-mentang ia seorang pejabat, ia bisa melakukan apapun terhadap keluarganya. Ibu selalu menenangkan anak dan suaminya untuk tidak terlalu tersulut emosi dan berprasangka buruk terhadap orang lain. Barang kali ini memang maling dan bukan orang suruhan Dirga.

​Namun jika dipikirkan lagi, mengapa mereka menargetkan warung milik ayah Eva, sedangkan Eca memiliki toko yang lebih besar seperti grosir, dan sebelum mereka sampai di sini pasti melewati toko Eca terlebih dahulu. Selain itu gerbang perumahan ini dijaga oleh satpam dua puluh empat jam. Bagaimana tidak jika ayah Eva langsung mengaitkan masalah ini dengan Dirga. Setelah selesai meberesan warung dan mengambil sisa makanan yang bisa diselamatkan, ayah Eva kembali menutup warungnya. Ia akan berhenti sementara sampai keadaannya mulai stabil.

​Lelah setelah beberapa hari ini membereskan warung dengan Ayahnya, Eva tertidur lebih awal, ia merasa bukan hanya fisiknya yang lelah, namun juga psikisnya yang terganggu. Bagaimana nasib keluarganya sekarang, dia yang menjadi seorang pengangguran dan ayahnya yang berhenti berdagang. Ia mulai merasa kasihan kepada ibunya yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Saat tengah mulai terlelap, samar-samar Eva mendengar banyak teriakan, ia mulai terganggu tidurnya menjadi setengah sadar dan akhirnya ia terbangun.

​Masih belum sepenuhnya sadar, ia keluar dari kamarnya dan melihat cahaya merah dari arah dapur, ia segera menghampiri dan melihat dari tangga menuju ke arah warung. Di hadapannya si jago merah sedang berkobar hebat, panas api mulai menyadarkan dia sepenuhnya. Eva mengambil selang yang selalu ia gunakan untuk mencuci motor, menyambungkannya pada keran wash tafel, dan mengarahkannya ke api. Percuma saja airnya tidak membantu sama sekali, ia melihat orang-orang di seberang juga membantu dengan menyiramkan air. Ia tak menyerah dan terus menyiramkan air ke dalam ruangan. Tak lama kemudian sebuah mobil pemadam datang dan memadamkan api yang berkobar, sebelum api menyebar ke rumahnya. 

​Eva terduduk lemas dengan setengah badannya basah karena air, ia segera berlari keluar dan mencari orang tuanya. Ayahnya tengah terduduk lemas di atas aspal dengan wajah yang pucat, ibunya tentu saja menangis, melihat satu-satunya usaha yang mereka berdua bangun kini harus raib dilahap api. Eva menghampiri ibunya dan memeluk erat, ia berusaha menenagkan ibunya yang meraung-raung. Eva sungguh berharap ia segera terbangun dan ini hanyalah mimpi, namun panas api yang menerpanya begitu nyata terasa, tangisan ibu dan tatapan sendu ayah begitu menyakitkan hatinya.

​Menjelang subuh orang-orang sudah berhamburan pergi, Eva masih terduduk dijalan melihat kearah bangunan yang sudah hangus terbakar, menyisakan puing-puing kayu dan serpihan abu. Apa yang salah dengannya mengapa Tuhan memberinya cobaan seberat ini, kehilangan reputasi dan pekerjaan sudah membuat Eva hilang akal, sekarang ia harus menghadapi kehilangan salah satu sumber mata pencaharian keluarganya. Apa yang sedang Tuhan rencanakan sebenarnya, Eva masih berharap ini hanyalah mimpi, saat terbangun nanti ia akan membantu orang tuanya untuk berdagang dan mencari pekerjaan baru. Saat terbangun nanti Eva berjanji untuk segera menemukan calon suaminya dan segera membuat finansial keluarganya seperti semula. Saat terbangun nanti Eva berjanji akan membahagiakan kedua orang tuanya. Perlahan ia mengusap air matanya yang jatuh, sehelai kain menutupi rambut dan kepalanya dari atas.

​“Indra, ini mimpi kan. Pliss bangunin aku, ini terlalu menyakitkan, aku baru pertama kali liat ibu nangis kaya gitu, aku baru pertama kali liat bapak bener-bener terpuruk gitu.” Eva masih menatap kosong ke arah bangunan di depannya

​“Eva ayo masuk ke rumah bentar lagi subuh.” Suara Eca terdengar dari belakang.

​Eva segera menoleh, ia mendapati ke empat temannya berada di sana, bahkan Riki dan Mila ada di sana, apakah mereka sudah tidak marah kepada Eva. Eca segera membantu Eva berdiri dan memapahnya masuk ke dalam rumah. Mereka berkumpul di dalam kamar Eva, Indra membuatkan segelas susu hangat untuk Eva setelah ia memberikan air hangat kepada kedua orang tua Eva di dapur. Mereka masih terlihat syok dan saling diam, ibu Eva masih saja menitikkan air matanya.

​“Eva ini minum dulu.” Indra menyodorkan segelas susu hangat.

​“Makasih.” Eva meraih segelas susu dari tangan Indra dan meminumnya. Rasa hangat dan manis menjalar di tenggorokannya sampai ke perut, ini terlalu nyata untuk di sebut mimpi. Satu tetes air mata kembali mengalir, Eva buru-buru mengusapnya dan mengalihkan pandangan ke tas untuk menahan air mata. Ia malu harus menangis di depan teman-temannya.

​Suara adzan berkumandang, Indra dan Riki pamit terlebih dahulu untuk pergi ke masjid. Sedangkan Eca dan Mila masih menemaninya.

​“Kita disini aja ya temenin Eva.” Ucap Eca sambil membereskan beberapa barang yang erantakan di kamar Eva.

​“Kamu haru kerja Ca.” Eva tidak mau merepotkan temannya dan mengganggu pekerjaan mereka.

​“Iya Ca gapapa, aku aja yang temenin Eva, kamu pulang aja siap-siap buat kerja.” Mila memilih untuk tetap tinggal dan menemani Eva, ia merasa iba kepada Eva setelah apa yang menimpanya. Cerita yang dia dengar dari Riki sungguh menykiti hatinya. Ia sudah lama berteman dengan Eva, tidak pernah sekalipun ia melihat Eva seterpuruk ini.

​“Gapapa sebentar lagi aja.” Jawab Eca sambil merangkul Eva dan mengusap punggungnya.

​Penyebab kebakarannya masih diselidiki oleh kepolisian, kini mereka mengunjungi TKP, setelah pelaporan sebelumnya mereka sama sekali tidak cepat tanggap. Dugan sementara polisi menyaakan kalau ini memang ada unsur kesengajaan karena sama sekali tidak ada korsleting listrik atau bahan mudah terbakar di dalam ruangan. Memang benar, beberapa hari sebelumnya Eva dan ayahnya sudah membereskan tempat tersebut dan tidak ada barang tersisa di sana, tidak ada bahan yang mudah terbakar atau meledak. Terkecuali jika api itu berasal dari dapur maka itu bisa dimengerti, namun ini api menjalar dari sebelah rumahnya, Eva masih beruntung api tidak sampai membakar rumahnya.

​“Sepertinya memang ada unsur kesengajaan pak, saya menemukan bau bensin yang tercium di beberapa kayu.” Begitulah ucap polisi sebelum mereka pergi dan memproses kasus ini untuk kelanjutannya. 

​Ayah hanya mengangguk dan mengiyakan, ia sudah lelah untuk berbicara dan berkomentar. Ia tidak mau menyalahkan siapapun ia menganggap ini adalah teguran untuknya dari yang maha kuasa karena ia tidak becus menjaga keluarganya. Setelah matahari menyingsing, mereka mulai membereskan puing-puing kayu yang masih tersisa. Dibantu dengan Mila dan Riki mereka mulai mengangkut kayu satu persatu ke pinggir jalan.

​“Ki makasih ya, udah aja kamu sana berangkat kerja.” Ayah Eva mengambil potongan kayu dari tangan Riki dan menyuruhnya untuk pergi bekerja. Ia merasa tak enak dengan bantuan mereka dan mengganggu aktivitasnya.

​“Engga ko pak, di kafe udah ada anak-anak lain yang jaga. Indra juga minta maaf katanya ga bisa bantuin dia tadi pulang dari masjid langsung pulang ke rumah buat siap-siap berangkat kerja.”

​“Iya gapapa, bapak mah ngahaturken sarebu nuhun ke kalian udah bantu bapak, sama Eva. Makasih semalem Indra mau nelpon damkar, bapak mah boro-boro inget nelpon nukitu.” Semalam dirinya hanya berdiri pasrah melihat bangunan yang susah payah ia bangun diselimuti si jago merah. Ia juga tak menghiraukan Indra yang terus mengguncang bahunya dan menyuruh untuk memanggil bantuan pemadam. Ia hanya melongo melihat kobaran api yang begitu besar di hadapannya. Untung saja Indra masih sempat menelpon sehingga pemadam datang tepat waktu dan api tidak menjalar ke rumahnya.

​Mereka yang di dalam berteriak dan rusuh karena sesuatu, ayah dan Riki langsung menghampiri mereka. Mila yang tengah mengguncang tubuh Eva yang tergeletak di lantai setelah sebelumnya terbatuk dan merasakan sesak nafas. Mungkin asap dan aroma bensin yang masih menyengat menghambat pernafasannya, ayah segera mengeluarkan mobilnya dari garasi dan membawa Eva ke rumah sakit terdekat. Eva langsung dibawa ke ruang IGD dan mendapatkan perawatan.

​ Eva merasakan pusing dikepalanya, saat membuka mata cahaya langsung menusuk matanya. Pernafasannya sedikit dingin namun menyejukkan. Ia meraba sesuatu yang menempel di hidung, ia juga melihat selang yang tertancap di tangannya. Dadanya masih terasa sakit, ia berusaha untuk bangkit dari tidurnya.

​“Tidur dulu aja Va, gapapa.” Eva menoleh kearah suara, ia melihat Indra tengah duduk disampingnya. Butuh beberapa menit untuknya menyadari kalau ia sedang ada di rumah sakit.

​“Rumah Sakit?” Ucap Eva lemas.

​“Iya kamu tadi pingsan, kayanya terlalu banyak menghirup asap. Tapi bentar lagi juga boleh pulang kok. Tunggu cairan infusnya habis dulu.” Eva melihat selang yang ada di tangannya dan menyambung pada sebuah tiang besi yang tergantung kantung cairan bening. Ia menutupi setengah wajahnya, ia juga baru sadar tidak menggunakan hijab, siapa yang membawanya ke sini tadi, bukannya Indar sedang bekerja, pukul berapa sekarang, sudah berapa lama Eva terbaring di sini.

​“Bapak mana?” Ucap Eva lirih.

​“Lagi pulang dulu ke rumah, sekalian jemput ibu.” Indra berusaha tersenyum dan tidak terlihat sedih.

Lihat selengkapnya