Sebuah Surat Di Kotak Pos Merah

Nur Intan Dwi Purnama Hakim
Chapter #9

Asmaraloka

Letakkan aku dalam hatimu maka akupun akan meletakkanmu dalam hatiku (Qs. 2:152)

​“Wahh gila sih, aku ga nyangka kamu beneran ngelamar aku.” Eva merentangkan tangan kirinya dan terus memperhatikan cin-cin yang menempel di jari manis.

​“Tapi kamu beneran kan?” Ia menanyakan hal itu sudah lebih dari sepuluh kali kepada Indra hari ini.

​“Benerlah Va, masa becanda. Nikah kan bukan buat becandaan.” Begitu pun Indra yang tak akan pernah bosan menjawab pertanyaan Rva mengenai keseriusannya. Eva hanya tidak menyangka mereka benar-benar sudah bertunangan dan akan menikah. 

​“Tapi kamu emang harus nikahin aku si, kamu inget kan malem itu udah ngelakuin....” Perkataan Eva terpotong dengan Kehadiran Mila.

​“Hayooo kalian abis ngapain tuh?” Kedatangan Mila membuat keduanya berhenti berbicara. Merasa kedatangannya tak diharapkan Mila kembali berjalan menuju dapur menghampiri Riki.

​“Kamu udah pernah beberapa kali liat aku ga pake kerudung, dan paling parahnya kamu meluk aku waktu itu, dan kita juga pernah berduaan di tempat sepi yang mana itu bisa mendatangkan fitnah, itu udah ga bisa disebut sebagai perilaku seorang teman sih.” Eva melanjutkan menghitung jari, menyebutkan perlakuan mereka yang selama ini sudah tidak bisa dikategorikan sebagai pertemanan. 

​“Iya makanya aku mau nikahin kamu.” Indra segera membungkam mulut Eva dengan roti yang ada di tangannya, ia malu jika harus mengingat hal-hal yang dilakukannya bersama Eva.

​“Aku masih ga terima kalo selama ini kamu yang balesin surat aku.” Eva menerima suapan roti dari Indra dan mengunyahnya. Ia juga masih terus membahas masalah ini. apakah semua perempuan selalu mengungkit hal-hal yang sudah lalu.

​“Jadi aku ngomongin orang yang nyebelin ke orangnya dong.” Beberapa hari yang lalu mereka sudah membahas hal ini, bahwa Indra adalah orang dibalin Peter Pan yang selalu membalas surat Eva.

​“Terus ekspektasi kamu siapa yang bales suratnya, aku juga ga nyangka kamu ga bakal tau siapa yang nulis surat itu padahal jelas banget kalo itu aku.” Awalnya Indra mengira kalau Eva mengetahui identitasnya, namun setelah namanya selalu muncul dalam surat Eva ia mulai yakin kalau Eva sama sekali tidak mengenalinya.

​“Mana kepikiran kamu bisa nulis kata-kata kaya gitu, biasanya juga nyebelin.” Indra hanya tersenyum puas, selama ini ia berhasil mengelabui Eva. 

​Namun dalam surat terakhir yang ia kirimkan, Indra benar-benar menyebutkan identitasnya, ia sudah berjanji untuk bertemu Eva saat menginjak usia dua puluh tahun, namun sepertinya Eva melupakan janji itu karena ia tak pernah lagi berkunjung ke rumah tersebut. Indra menjadi pengirim surat satu arah, kini giliran ia bercerita mengenai keluh kesah hidupnya, sayangnya Eva tak pernah menjawab suratnya. Tumpukan kertas semakin memenuhi kotak tersebut, dari saat itulah Indra berjanji untuk tidak menikah dan hanya akan menunggu Eva, jika nanti Eva pulang dan dia sudah mempunyai seorang suami, maka lebih baik Indra menunggu sampai ajal menjemputnya.

 

​Eva tengah duduk di gazebo taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain bola dan beberapa orang tua yang sedang mengobrol sambil menjaga anaknya. Ia sedang menunggu Indra pulang, ada sesuatu yang harus ia beritahukan kepadanya. Malam itu Eva merasakan dadanya sesak dan jantungnya berdebar kencang. Akhir-akhir ini juga ia mengalami nyeri leher dan punggung. Eva berniat untuk meminta Indra menemaninya berobat, namun setelah semakin di rasa-rasa sakit di dadanya semakin intens. Eva memutuskan untuk berobat ke esokan harinya ia memberi tahu keluhannya kepada dokter dan setelah di periksa betapa terkejutnya ia bahwa dokter memvonisnya sakit jantung. 

​Sakit leher dan punggung sering kali muncul saat Eva masih menjadi mahasiswa, namun ia selalu merasa kalau itu disebabkan hanya karena ia selalu berhadapan dengan laptop. Perasaan sesak dan sakit di dadanya baru muncul akhir-akhir ini, apa yang menyebabkan ia menderita penyakit ini.

​Deru suara motor memecah lamunannya, ia menoleh ke arah sumber suara dan Indra segera memarkirkan motornya lalu berjalan menghampiri Eva. Indra merasa sedikit kaget saat membaca pesan Eva yang menyuruhnya untuk segera pulang jika sudah selesai bekerja, karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Setelah mendapat pesan tersebut, Indra segera menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas menemui Eva, ia tidak mempedulikan ajakan temannya yang menyuruh lembur. Ia takut Eva berubah pikiran dan membatalkan pertunangan ini.

​“Nunggu lama ga Va?” Indra menghampiri Eva dan duduk di sampingnya. Ia juga memberikan Eva susu kotak jaga-jaga jika emosinya bisa meledak.

​“Engga ko, seru liat mereka main.” Eva tidak menoleh ke arah Indra dan melihat anak-anak yang sedang bermain di depannya.

​“Ada apa Va, kamu mau ngomong apa?” Indra bertanya secara hati-hati, takut bayangan jeleknya akan terjadi.

​“Engga aku Cuma kangen sama kamu.” Mendengar hal tersebut Indra menjadi tersipu.

“Dra, Apa tanggapan kamu kalo harus ngurus orang sakit.” Indra menelan ludah mendengar perkataan Eva. Jadi ini yang dipikirkan Eva, apakah ia merasa keberatan kalo harus mengurus dirinya dan penyakit yang sudah selama ini hidup di dalama tubuh Indra.

​“Kenapa Va, kamu nyesel ya nerima aku, karena aku punya penyakit dan itu pasti akan ngerepotin kamu di kemudian hari?” 

​“Bukan git ...” Perkataannya terpotong.

​“Aku tau selama ini aku memang udah nyusahin keluarga aku karena mereka harus bolak balik nemenin aku kontrol ke rumah sakit. Alasan terbesar aku buat ga pergi jauh dari mereka juga karena ga ada yang bakal siap ngurusin aku kalo aku lagi kambuh. Alasan aku juga ga mau nikah karena penyakit ini Va. Aku mutusin buat ngelamar kamu karena itu kamu, karena Cuma kamu yang aku mau, kamu udah tau penyakit aku dari dulu, aku kira kamu bakalan nerima aku.” Belum selesai Eva berbicara Indra sudah memotongnya dan berbicara tak karuan. Ia takut, takut Eva akan meninggalkannya.

​“Aku kena penyakit jantung Dra.” Eva menoleh ke arah Indra, membuat lawan bicaranya berhenti bicara. Indra menatap lekat mata Eva wajahnya tersenyum namun terlihat jelas sedih di matanya.

​Indra meraih tangan Eva, memegangnya erat. Menguatkan Eva supaya tidak menangis, Indra sudah tidak mau lagi melihat air mata jatuh dari Eva. Meskipun Eva terlihat cantik saat menangis namun tetap saja hatinya akan ikut sakit jika mendengar isak tangis Eva.

​“Kamu ga keberatan nikah sama orang penyakitan?”

​“Aku juga sakit Va.” Indra mengarahkan telapak tangan Eva ke dadanya. Merasakan detak jantung Indra yang selalu berdebar kencang saat berada di samping Eva.

​“Kamu inget di matematika kalau minus dikali minus itu hasilnya positif. Nah kita juga gitu, aku negatif, kamu negatif, maka hasilnya pasti positif. Aku janji bakal bikin kamu bahagia. Pliss jangan tinggalin aku.” Eva tersenyum lega mendengar perkataan Indra, ia mengalihkan tangan dari dada Indra mengusap pipinya.

​“Makasih ya, aku ga bakan ninggalin kamu lagi.” Eva menghela nafas lega. Perasaannya sudah lega namun nafasnya masih berat dan degup jantungnya semakin meningkat.

​Saat hendak pulang dan naik ke motor Indra, tiba-tiba Eva terjatuh dan hilang kesadaran. Indra segera menghubungi orang tuanya dan membawa Eva ke rumah sakit. Ibunya sangat terkejut ketika mendengar dokter membacakan diagnosisnya. Kedua orang tuanya sangat terpukul mendengar diagnosis dari dokter, bagaimana bisa Eva terkena penyakit berat seperti ini, ia selalu makan sehat dan berolahraga. Eva harus mendapatkan perawatan di sana, penyumbatan pembuluh darah di jantungnya sangat serius, jika kali ini Eva tidak bisa sembuh maka ia terpaksa harus menjalani operasi.

​Indra sangat tahu betul bagaimana perasaannya ketika harus terbaring di rumah sakit dengan perasaan was-was akan keselamatannya. Ia tidak mau ini terjadi kepada orang yang dicintainya, ia selalu berdoa untuk kesehatan Eva. Disisi lain Indra juga harus terus menjalankan pengobatannya. Ia tidak bisa selalu ada di sisi Eva, beberapa temannya bergantian untuk menjaga Eva di rumah sakit. Keadaannya yang semakin lemas membuat Eca khawatir, ia ingin bercerita seperti dulu dengan Eva dimana dia selalu mendapatkan solusi dari masalah yang sedang di hadapinya. namun sekarang ia hanya bisa bercerita tanpa renspon dari Eva. 

​Melihat temannya yang terbaring lemah dengan infus yang menusuk tangannya dan selang yang berada di hidungnya, Eva kesulitan untuk berinteraksi. Eca hanya bisa berceloteh sendiri menghibur temannya yang terpejam. Ia berharap dalam tidurnya Eva bisa mendengar ceritanya. Setelah Indra datang, kini giliran Eca untuk pulang, mereka berjaga bergantian karena ship pekerjaan. Ibu Eva tidak selalu bisa berada di sana karena harus berangkat ke sekolah, dan datang saat menjelang malam. mungkin hanya ayahnya yangbisa dua puluh empat jam menjaga Eva.

​Setelah Indra selesai sembahyang Isya, dokter dan perawat masuk ke ruangan Eva, mereka memeriksa kondisi Eva dan memberinya suntikan. Sudah satu minggu Eva belum sepenuhnya sadar, ia hanya akan mengerang kesakitan atau terbatuk sesekali. Ia tidak pernah benar-benar membuka matanya. Indra tengah duduk di samping Eva, tertidur sambil memegang tangannya. Merasakan ada yang bergerak mengelus rambutnya, Indra pun terbangun.

​“Hey udah bangun?” ucap Eva pelan. Indra merasa senang, kini Eva sudah bisa membuka matanya dan berbicara. Rasanya ia ingin menangis namun ia tahan sekuat mungkin.

​“Kamu cape yah, ko matanya merah gitu.” Eva mengulurkan tangannya dan hampir saja mencolok mata Indra. Meskipun kesadarannya sudah pulih namun gerakan tangannya masih lemas. Indra meraih tangan Eva dan menaruh di pipinya, merasakan dinginnya tangan Eva yang dialiri oleh cairan infus.

​“Kamu istirahat jangan kerja terus.” Eva mengelus pipi Indra

Lihat selengkapnya