Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #3

Ibu dan Kisah Cintaku

Terletak di ujung lorong paling belakang di lantai empat, tepatnya dekat dengan gudang dan jauh dari akses bersama membuat kamar ini kosong selama bertahun-tahun. Tidak banyak pekerja yang mau menghuninya, malah seingatku terakhir kali dihuni sekitar setahun lalu, itu pun karena kebetulan ada petugas perbaikan bangunan yang harus menginap.

Di dalamnya hampir tidak ada apa-apa, kecuali lemari besi tua dan ranjang tanpa kasur. Itulah kenapa aku membawakan selimut tebal sebagai gantinya, paling tidak supaya badan Ilham tak kesakitan nantinya. Aku juga membawakan bantal dan selimut, pemanas air dan beberapa bungkus mi siap saji. Berjaga-jaga kalau Ilham kelaparan di malam hari, sehingga dia tidak perlu turun ke dapur bersama di lantai dasar.

Bagian terbaiknya, kamar mandinya berfungsi dengan baik meskipun butuh dua jam buatku membersihkannya. Lama tidak digunakan menyebabkan beberapa bagian berlumut, kotor dan membuat air yang aku gunakan untuk bebersih menjadi mirip kopi. Aku yakin Ilham tak akan protes soal ini, hanya saja siapa orang waras yang tega membuat pacarnya gatal-gatal? Aku tentu tidak dan tidak mau setega ibuku. Menyia-nyiakan kebagian pria malang seperti Bapak –yang entah bagaimana, semakin hari kulihat Ilham justru kian mirip dengan bapakku. Terlalu baik, penurut dan jujur saja menyebalkan.

Terkadang aku berharap Bapak bisa membuat perlawanan sesekali saat Ibu mulai mempermalukannya. Begitu juga keinginanku untuk membuat Ilham sedikit nakal dan tak selalu menuruti perintahku. Karena sikapnya yang terlampau lembut itu seolah-olah membuatku harus selalu berhati-hati. Aku takut jika tanpa sengaja justru menjadi mirip dengan ibuku. Lalu, menjadikan rumah tanggaku dan Ilham kelak menjadi bapak dan ibuku jilid dua.

“Kabarnya bakal ada penghuni baru di panti,” kata Devara.

Kendatipun sambil mengomel, tapi dia tetap membantuku beres-beres. Dia membantuku mengepel lantai kamar dengan air hangat.

Aku yang duduk di kursi pendek di dalam kamar mandi menoleh. “Yang benar?”

“Iya. Gue dapat bocoran dari Mbak Sari. Formulirnya sudah dikirim via email. Tahun baru, kalau nggak salah. Tahun baru orangnya bakal diantar.”

Untuk orang yang tidak paham, panti werda mungkin terdengar menyeramkan. Seolah itu mimpi buruk dan selalu menjadi bentuk kedurhakaan seorang anak, tapi percayalah bahwa sebenarnya tidak seburuk itu. Memang ada yang sengaja dimasukkan ke panti oleh anak-anak mereka dengan sepihak, tapi tidak sedikit yang justru memilih sendiri. Pun zaman sekarang sudah banyak panti werda yang memiliki fasilitas mumpuni sehingga bikin nyaman para penghuninya.

Banyak di antara Oma dan Opa yang justru senang berada di panti, sebab di rumah mereka kesepian. Anak-anak bekerja, para cucu bersekolah dan sendirian bisa menyebabkan kebosanan, lalu berakhir menurunnya kemampuan. Padahal orang tua butuh banyak kegiatan untuk menjaga kesehatan mereka. Dan berada di panti bersama teman sebaya akan membuat mereka bisa beraktivitas dengan lebih banyak dan bersenang-senang serta dapat memperlambat kepikunan.

Aku senang berada di sini, itu mengingatkanku pada mendiang nenek dan kakek buyutku yang meninggal saat aku masih kecil. Meskipun hampir setiap kepulanganku, Ibu dan Eyang akan mengomel tentang hal yang sama. “Orang-orang kota kehilangan empati. Mereka membuang orang tuanya sendiri? Oh, astaga. Kejam sekali. Mungkin karena mereka salah pilih menantu. Aku tidak mau punya menantu yang buruk dan membenciku. Atau, aku akan dibuang ke panti jompo.”

Jelas kalau itu adalah usaha yang mereka gunakan untuk menyerang Ilham.

Mereka bahkan jauh lebih banyak menyakiti pacarku yang malang, alih-alih sebaliknya. Mereka mencemooh keluarga Ilham yang dianggap mendadak kaya. Setiap kali mereka berbelanja di tukang sayur dan berhenti di depan rumah, bersama para tetangga dia akan menyindir Bu Husna, calon mertuaku. Ibu akan membicarakan betapa suksesnya aku, betapa bangganya dia padaku dan pada darah bangsawan yang dia sandang.

Harus kuakui bahwa masih ada sedikit darah bangsawan dalam darah Ibu. Kakek buyutku masih keturunan bangsawan, tapi aku? Ibu menikahi Bapak yang notabene orang biasa yang jelas membuat kami kehilangan darah biru sialan itu. Aku orang biasa, sama seperti Ilham. Jadi, tidak ada lagi alasan untuknya membanggakan gelar itu. Memalukan.

Ponselku berdering, buru-buru aku mencuci tangan dan berlari mengambil ponsel yang terdapat di atas meja.

“Halo, May!” Suara renyah Ilham terdengar di seberang, membuat hatiku berbunga-bunga. “Aku sudah sampai,” katanya. “Bisa keluar sebentar? Aku nggak dibolehkan masuk sama satpam.”

Hah?

Lihat selengkapnya