Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #4

Permintaan Ibu

“Gimana?”

“Enak. Seperti biasanya.”

Ketika masakan kita dihargai, itu melegakan.

Ilham menyantap habis makan siang sederhana yang aku masak, lalu aku menyuruh dia beristirahat. Perjalanan panjangnya pasti melelahkan. Alhasil, kami memutuskan nongkrong di teras atas sambil menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula.

“Ibuku tahu kamu ke sini?”

Ilham tersenyum. “Kayaknya tahu.”

“Kok kayaknya?”

“Aku hanya pamit ke Zahra, tapi sepertinya dia bakal ngasih tahu ibumu.”

“Anak itu, ember mulutnya.”

“Jangan salah paham. Dia hanya nggak bisa bohong. Kalau ada yang tanya, pasti dia jawab, kan?”

“Aish. Kamu selalu membela dia. Kamu nggak tahu seberapa menakutkannya dia.”

“Tentu saja dia mengerikan, dia adikmu. Ingat?”

“Dia menakutkan karena dia adikku? Jadi, kamu bilang aku juga menakutkan?”

Aku berpura-pura mencubit lengannya, Ilham tertawa. Membuat kami menjadi pasangan –apakah masih pantas disebut muda –yang dimabuk cinta. Maksudku, ayolah! Siapa juga yang tak suka punya pacar sebaik Ilham? Dia bukan hanya dekat denganku, tapi juga kedua adikku tanpa peduli seberapa buruk keluargaku memperlakukannya.

*_*

Apakah Ilham pencemburu? Ya, tapi bukankah itu wajar? Cemburu tanda cinta, kan? Malah kalau dia tak cemburu saat aku dekat dengan orang lain, itu akan sangat aneh. Bahkan ibuku yang dikenal percaya diri serta sering menindas Bapak pun sangat mencemburuinya.

Orang yang Ilham cemburui biasanya adalah orang asing yang belum dikenalnya secara pribadi. Pernah dulu dia sempat cemburu pada Hasyim, tapi untungnya kini tidak lagi. Dia paham bagaimana aku menganggap Hasyim dan Devara seperti adik kandungku sendiri. Bahkan di malam yang dingin ini kami mengundang Hasyim bergabung.

Pesta diadakan sehabis isya, lebih tepatnya di halaman depan asrama.

Aku dan Devara membuat minuman serta menata camilan, sementara Ilham dan Pak Martin memanggang daging. Hasyim sendiri kebetulan kebagian tugas untuk menata bangku. Dia memang sudah biasa keluar masuk di sini, dia bahkan berteman baik dengan Pak Martin. Maklum saja, Devara hampir setiap hari diantar-jemput untuk kencan. Belum lagi karena ayah Hasyim, Ustaz Ali adalah ustaz kami dan sering mengisi kajian di panti maupun asrama.

“Jadi, kapan pesta pernikahan kalian digelar?” Pak Martin bertanya sambil mengoles bumbu di atas daging sapi.

Devara menjawab, “Habis pemilu, Pak.”

“Orang tuamu jadi datang?”

“Nggak tahu.” Air muka Devara berubah kesal sekarang tapi aku tahu perisis kalau itu bukan ditujukan untuk Pak Martin, melainkan dirinya sendiri. “Kalau mereka bisa datang, syukur. Kalau nggak datang, ya nggak apa-apa. Toh, mereka sudah tua. Bisa milih mana yang baik dan buruk.”

“Isyaallah datang,” sahut Hasyim. “Umi sudah menelepon mamanya Deva, mereka akan datang. Itu pasti.”

Namun, Devara malah cemburut. “Lo kayak nggak paham mereka saja, Syim. Orang tua gue tuh kalau ngomong nggak konsisten. Sekarang bilang A, besok bisa bilang B. Intinya, jangan berharap sama manusia.”

Pak Martin menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahku. “Kalau kalian? Kapan nikah?”

Menikah?

Aku melirik Ilham.

“Gimana, Ham?”

“Kalau aku manut saja. Kamu bisanya kapan?” Dia malah balik bertanya sambil menaik turunkan alisnya.

Bersamaan dengan aroma daging yang matang, sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Memaksa Pak Martin mau tak mau harus membukakan pintu.

“Siapa?” tanya Ilham.

Aku berdiri dan memanjangkan leher untuk menjangkau dinding penghalang pandangan. “Dokter Wahyu, kayaknya.”

“Bos kamu?”

Lihat selengkapnya