Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #5

Keresahan Anak Perempuan

Sudah berkali-kali aku meminta Ibu keluar dari perkumpulan tukang pamer itu, tapi dia tidak pernah mengindahkan. Hidup sebagai putri tunggal dari salah satu keluarga paling kaya di tempat kami, dia memang hampir tidak pernah mendapatkan penolakan seumur hidupnya. Eyang sangat memanjakannya, begitu juga dengan kakak lelakinya.

Bahkan menurut cerita yang dirumorkan banyak orang, nasib baik Bapak tidak dibunuh oleh Eyang Kakung karena melamar Ibu. Dia membuat ibuku yang tak tersentuh menjadi tergila-gila padanya. Bahkan bisa dibilang …, Bapak lah yang menumbalkan dirinya sendiri ke neraka.

Hampir seumur hidup, aku belum pernah melihat Bapak tersenyum di dekat Ibu. Dia memang selalu ceria di depan aku dan adik-adikku, tapi senyumnya akan langsung memudar saat berhadapan dengan istrinya sendiri. Bukankah itu aneh? Bukankah dalam pernikahan semua orang bisa menjadi dirinya sendiri di depan pasangan? Atau, itulah sikap bapakku yang sebenarnya?

Namun, itu kan kehidupan Ibu. Bukan kehidupanku.

Tidak sepertinya, aku harus berusaha keras mencari uang. Pun kehidupan keluarga kami sudah tidak sejaya dulu. Memang kami tidak bangkrut sampai harus tidur di kolong jembatan apalagi kehilangan kehormatan, bahkan hingga hari ini Ayah masih menjadi salah satu orang paling dihormati di kampung, tapi situasinya sudah jauh berbeda.

Beberapa ladang Eyang sudah berpindah tangan, dijual demi melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan oleh Eyang Kakung. Bahkan kini Bapak dan aku harus bekerja keras mencari uang demi memenuhi impian Fahira masuk militer saat lulus sekolah nanti.

Aku tahu betapa berambisinya Ira masuk ke kepolisian. Dan meskipun Ayah terus bersikeras untuk menanggung biayanya, tapi karena aku dan Zahra sudah ditanggung oleh Ayah, maka Bapak tak mau kehilangan satu-satunya kesempatan yang dia punya. Bapak tetap ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah, setidaknya sekali seumur hidup.

“Bapak sudah kehilangan kesempatan menjadi orang tua kamu dan Zahra, May. Bapak bahkan sudah tidak berhak menganggap kalian sebagai anak.” Aku masih ingat perkataan Bapak saat aku pulang kampung di lebaran dua tahun lalu. Beliau duduk di teras belakang, menatap hamparan tanah luas yang ditumbuhi bunga-bunga indah.

Saat itu, semua orang sedang bersenang-senang di ruang tamu, menikmati suasana ceria lebaran. Banyak kerabat yang berkunjung, tetapi aku tahu persis bahwa tidak ada satu pun dari mereka menganggap penting keberadaan Bapak.

Tiga puluh tahun lebih Bapak tinggal di rumah ini, tapi dia bahkan bukan kepala keluarga yang sebenarnya. Ayah lah kepala keluarganya. Biarpun Bapak mengurus aku dan kedua adikku, tetapi dia bahkan tak bisa menolak saat Ayah memasukkan namaku dan Zahra ke kartu keluarganya. Ya, kami diadopsi. Langkah itu diambil sepihak oleh Ibu tanpa mengajaknya berunding sama sekali. Akan tetapi, aku dan Zahra tahu bahwa Bapak adalah orang tua kandung kami. Setidaknya, sejak usia kami sepuluh tahun.

Dulu saat Eyang Kakung dan Eyang Putri masih hidup. Mereka lah pilot di dalam rumah tangga. Menjadi anggota militer menuntut Ayah berpindah-pindah tugas, begitu pula dengan Bunda yang harus selalu mendampinginya. Akibatnya, aku dan Zahra ditinggal. Diurus oleh Eyang Putri dan Ibu –yang sebenarnya tak pernah benar-benar turun tangan. Bapak lah yang mengambil alih semuanya, bahkan disela kesibukannya sebagai guru di sekolah dasar.

“Kamu yakin sama Ilham?” Pertanyaan Bapak membuatku terkejut, kemudian beliau melanjutkan, “Maya, sebaiknya kamu pertimbangkan semuanya benar-benar. Kasihan Ilham, Nak. Bapak tidak mau anak baik itu harus mengalami apa yang Bapak alami.”

“Jadi, Bapak menyesal menikah dengan Ibu?”

Bapak tersenyum, lalu mengelus kepalaku. “Sama sekali tidak. Hanya saja, Bapak tahu pasti kalau tidak akan ada laki-laki yang setahan Bapak. Satu-satunya yang Bapak takutkan adalah kamu, Maya.”

“Ilham kuat kok, Pak. Kalau dia tidak sabar, mana mungkin bisa bertahan selama ini? Lagipula, Maya kan bukan Ibu.”

“Dulu Bapak pikir juga begitu.”

Sejak saat itulah aku paham bahwa waktu bisa mengubah seseorang. Menjadikanku tak terlalu berambisi pada pernikahan. Maksudku, aku tahu bahwa jauh di dalam lubuk hatiku ingin menikahi Ilham. Kendati di sisi yang lain aku sangat takut kalau di masa depan akan menciptakan pola serupa. Aku tidak mau menjadi seperti Ibu.

Tak mau merusak suasana, aku kembali dan melanjutkan kesenangan bersama yang lain meskipun perasaanku tak sebaik sebelumnya. Tidak lama, Hasyim kembali membawa keresek penuh makanan laut.

*_*

Pagi-pagi sekali aku bangun dan bergegas membuat sarapan. Karena semalam kami sudah memakan begitu banyak daging-dagingan, kali ini aku berniat membuat sesuatu yang lebih segar. Sup mentimun kesukaan Devara, dipadukan dengan tahu dan tempe goreng tentu akan sangat nikmat.

“Ilham belum bangun?” Devara yang hari ini giliran berjaga muncul dengan seragam perawat, membiarkan rambut panjangnya dikuncir kuda. Dia menghampiri meja dapur, menengok ke dalam panci lalu berkata, “Baunya enak banget.”

“Sarapan dulu,” kataku.

Namun, Devara menggeleng. “Sarapan di panti saja. Sudah kesiangan. Kasihan Mbak Anggi sama Suster Tia. Omong-omong, lo nanti ke sana agak siang nggak apa-apa. Sekalian temani Ilham sarapan dulu.”

Aku mengacungkan jempol, lalu meraih sendok dari rak piring. Kusendok kuah sayur bening, membiarkannya selama beberapa detik sebelum akhirnya menyodorkannya ke mulut Devara. Yang untungnya, langsung disambut.

Lihat selengkapnya