“Kamu kalau mau keluar, jangan lupa pamit sama Pak Martin. Aku pulangnya nanti agak sore. Jadi, misalnya, kamu lapar langsung saja ambil bahan masakan di kulkas yang ada di kamarku. Kuncinya aku tinggal di kotak kunci di depan. Kodenya tanggal lahirku.”
Ilham mengangguk.
Sejujurnya, aku tidak tenang meninggalkan dia di asrama sendirian, tetapi mau bagaimana lagi? Ada tanggung jawab yang harus aku jalani. Para oma dan opa di panti membutuhkanku.
Karena letak asrama dan panti werda yang bersebelahan, aku bisa melihat Ilham berdiri di balkon kamarnya sedang memperhatikanku berjalan menuju panti. Dia melambaikan tangan, yang langsung kubalas dengan senang hati. Rasanya sangat menyenangkan bisa berangkat bekerja ditemani senyuman lebar dari orang yang mencintai dan aku cintai.
Saat aku tiba, Oma Lita dan Oma Nur sedang duduk di ruang bersama sambil menonton televisi. Keduanya merupakan sahabat dekat, dan dengan kompak memutuskan tidak pulang untuk memberi anak-anaknya waktu liburan.
“Mereka selalu sibuk sepanjang tahun. Aku ingin mereka mengajak putrinya jalan-jalan dan berlibur. Aku hanya akan membebani mereka,” kata Oma Nur saat hari penjemputan.
Sementara Oma Lita merangkulnya dan bilang, “Aku akan tetap di sini menemanimu, Nenek Tua.”
Menghabiskan waktu bersama sahabat, memang menyenangkan.
Aku menghampiri mereka dan bertanya apakah mereka baik-baik saja. Lalu, Oma Nur menjawab, “Kami lebih dari baik, Dokter Maya. Kami sangat sehat.”
“Syukurlah,” jawabku. “Jangan lupa makan dan minum vitamin dengan teratur. Sudah pada makan siang, kan?”
“Sudah,” sahut Oma Lita.
“Kami makan sup ayam dan tumis kangkung buatan Mbak Sari. Rasanya enak sekali.” Oma Nur menjelaskan.
Tidak banyak Oma dan Opa yang bertahan di panti sepanjang liburan. Hanya ada lima orang saja dan ini memudahkanku untuk melakukan pemeriksaan rutin di klinik panti. Beruntungnya semua lansia sehat.
Opa Hadi yang sebelumnya demam bahkan sudah membaik dan bisa mengurus taman mini miniknya. Kakek tua itu sangat aktif dan suka berkebun, dia bahkan minta disediakan tempat berkebun di belakang panti. Yang hasilnya akan dipetik dan dibagikan pada para penghuni. Minggu lalu, aku dapat buah alpukat darinya.
“Opa harus sehat, biar bisa berkebun dengan lebih baik,” ujarku sambil menyudahi pemeriksaan.
Opa Hadi tertawa. “Dokter Maya suka buah pepaya?”
“Suka. Sangat suka.”
“Kalau begitu, ambil di kamar Opa.”
Seperti yang sudah pernah kukatakan sebelumnya, aku dibesarkan oleh Eyang. Itulah kenapa berada di dekat orang tua membuatku senang.
Semua lansia tak suka kesepian, tapi bahkan punya anak saja tak cukup. Anak bukan investasi dalam hal apapun. Satu-satunya investasi yang harus dipupuk adalah kesehatan dan semangat hidup, merupakan pelajaran berharga yang kupelajari dari pada orang tua ini.
*_*
Untungnya, Ilham bukan tipe orang yang ribet.
Sebelumnya aku sudah memberitahunya mengenai undangan dari Umi Sara. Dia setuju untuk ikut. Bahkan dia juga yang membantu Devara membungkus kado untuk Umi. Karena ternyata pengajian ini digelar sebagai perayaan hari ulang tahun beliau. Sialnya, Devara yang kurang ajar ini baru memberitahuku di menit-menit akhir.
Kami pergi menggunakan taksi daring. Tidak lupa aku mampir ke toko busana muslim untuk membelikan Umi Sara kado. Mukena cantik berwarna putih dan sajadah cokelat tanpa motif, tampaknya Umi akan suka. Lagian aku bingung mau beli hadiah seperti apa, sebab waktunya memang sudah sangat menipis.
Kami bisa sampai adzan magrib sehingga masih sempat salat bersama di masjid yang berada tepat di depan rumah orang tua Hasyim. Masjid yang cukup besar lagi ramai. Aku sudah pernah beberapa kali ikut salat di sini, itulah kenapa aku bisa bilang kalau kali ini lebih ramai dari biasanya. Maksudku, banyak dari mereka pasti tamu undangan.