Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #8

Gadis Bernama Kristina

 Aku tidak masalah kalaupun harus dikira sebagai Kristina, jika itu mampu membuat Opa Josh membaik. Lagipula aku tidak setiap hari bersamanya. Aku hanya akan datang dua hari sekali untuk pemeriksaan rutin. Bahkan selama seminggu pertama ini meskipun para perawat selalu menyebutnya sebagai biang masalah, tapi aku belum pernah sama sekali punya pengalaman buruk dengannya. Mengingat setiap kali kami bertemu, kondisi Opa Joshua selalu dalam keadaan stabil. Malah dia memberiku rangkaian bunga kering yang dibuatnya sendiri. Walaupun pemberian itu sebenarnya bukan untuk Maya, melainkan Kristina.

“Bagaimana, Nak? Kamu suka kan?” Matanya berbinar-binar saat memberikan benda itu padaku.

Itu adalah bunga mawar kering yang dirangkai sedemikian rupa hingga membentuk sebuah jepit rambut cantik. Belum pernah aku mendapatkan yang seperti ini sebelumnya. Di usia dan kondisinya sekarang, Opa Josh ternyata masih punya kemampuan berkarya dengan sangat baik. Dan sepertinya, menggali kembali kreativitas akan bisa memulihkan mentalnya.

“Terima kasih, Opa. Ini bagus sekali,” jawabku.

Mbak Anggi yang menemaniku siang itu hanya bisa menatap dengan senyuman lebar. Aku tahu persis betapa susahnya beliau saat ini, sebab di antara para perawat lainnya tidak ada yang mau mengurus Opa Josh. Mereka benar-benar melemparkan semua tanggung jawab pria tua ini kepada Mbak Anggi. Tega sekali mereka.

“Kalian keterlaluan,” celetukku saat jam makan siang di kantin pegawai. “Kasihan lho Bu Anggi, beliau sampai nggak bisa ikut makan siang bareng kita.”

Devara yang duduk di sebelahku menusukkan garpu ke pepaya kupas di piring makan siangnya. Dia sungguh masih belum selesai dengan diet ketatnya. “Ya mau gimana lagi, Mbak May? Kami nggak tahan. Kemarin saja aku diludahi.”

“Yang benar?”

Semua mengangguk kompak.

Mbak Sari yang duduk di sebelah Dokter Arumi menambahkan, “Itu belum seberapa di banding yang dia lakukan ke Bu Juwar.”

“Memang Ibu diapakan?” tanyaku pada perempuan paruh baya yang sedang makan rawon pedas dengan muka letih itu.

“Dia dijambak sampai rambutnya rontok waktu lagi mandiin,” ungkap Tantri.

“Hah? Serius?”

“Ya serius lah, Maya!” Bu Juwar melepaskan kerudungnya, memperlihatkan pitak yang tersisa di kepalanya. “Aku benar-benar nggak sanggup megang dia. Seumur-umur kerja di panti ini, dari sejak baru buka sampai sekarang, baru kali ini dapat pasien separah itu. Ya, aku tahu kalau ngurus orang tua memang sulit, tapi dia beda. Ibaratnya, semua tantangan bertahun-tahunku dikumpulkan jadi satu pun tetap nggak bakal bisa menyaingi kesulitan ngurus Opa Joshua.”

“Terus, gimana?” Dokter Arumi bertanya dengan serius.

Para perawat saling pandang, lalu menghela napas panjang bersamaan.

“Kami akan bikin aduan ke Dokter Wahyu,” jelas Tantri. “Kalau begini terus, kami bisa gila.”

“Lagian kasihan ke yang lainnya. Kemarin saja, waktu aku bawa ke ruang santai, Opa Josh nyaris mau berantem sama Opa Ferry.” Mas Dono, perawat lainnya datang sambil membawa piring berisi agar-agar. “Untungnya, ada Mas Angga yang bantuin aku memisahkan mereka.”

Opa Ferry adalah pasien lama kami. Beliau merupakan mantan anggota mariner dan tinggal di sini berdua dengan istrinya. Beliau sangat ramah serta bersahabat dengan Opa Hadi. Tak bisa kubayangkan kalau beliau berkelahi dengan Opa Josh, sudah pasti Opa Ferry akan membuatnya babak belur dalam sekali tonjok. Karena meskipun sudah delapan puluh lima tahun, tetapi tubuh Opa Ferry masih sangat bugar. Beliau bahkan aktif berolahraga tiga kali seminggu.

*_*

Selain sibuk kembali dengan pekerjaan, kini aku harus membantu Devara membungkus souvenir pernikahannya. Dia bahkan membawa beberapa barang ke kamarku, mengingat kamarnya tak lagi punya ruang. Alhasil demi kelancaran acara dan kenyamanan diriku sendiri, mau tak mau aku harus membantunya. Semakin cepat selesai, semakin cepat juga kebebasanku kudapatkan.

“Kenapa sih kamu nggak bawa saja ini barang-barang ke rumah Hasyim? Di sana kan lebih luas. Belum lagi ada banyak orang yang akan mempercepat pengerjaan,” saranku saat sedang membantunya memasang foto pre-wedding  pada bungkus parfum di kamarku. Benar, kalian tak salah dengar. Kamarku. Dia bahkan tidak bisa menempati ranjang tidurnya sendiri sebab penuh dengan barang. Yakni alasan kenapa sejak dua hari terakhir dia tidur di tempatku. Namun, itu bukan masalah.

Devara bahkan membawa panci berisi mi pedas ke kamarku serta menggunakan laptopku untuk menonton drama korea. Secara teknis, aku lah yang bekerja sendirian.

“Gue nggak enak sama keluarganya Hasyim, Mbak!” jawabnya.

“Terus, kamu enak nyusuh aku?”

“Ya gimana, Mbak? Lo kan satu-satunya sahabat gue. Satu-satunya orang yang bisa gue maintain tolong. Harusnya lo bersyukur gue anggap keluarga.”

Lihat selengkapnya