Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #9

Kedua Ibuku

Dua ibu dengan dua karakter yang sangat berbeda, tapi punya cinta yang sama besarnya.

Sejak dulu, aku tahu ada ketegangan di antara kedua ibuku. Keduanya sama-sama merasa memiliki hak atas kami bertiga –meskipun Fahira tidak turut diadopsi, itu karena Bapak yang secara paksa menahannya. Hanya saja, itu tak mengubah apa-apa. Aku dan kedua adikku adalah putri mereka. Dibesarkan dengan cara mereka yang kadang sangat berseberangan. Bukan! Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi di beberapa bagian kadang aku merasa bingung harus menuruti yang mana.

Dalam dokumen negara, aku putri Ayah dan Bunda. Akan tetapi, secara biologis aku anak kandung Ibu dan Bapak. Rasa sayangku pada mereka sama, justru itu yang membuatku pusing.

“Ibu kemarin dimarahi habis-habisan sama Ayah,” kata Zahra saat bicara denganku di telepon.

Jam sudah menunjukkan setengah satu dini hari, Devara bahkan telah terlelap sejak tadi.

“Awalnya, Ibu pikir yang dapat tas hanya keluarga kita.” Ira yang ada di sebelah Zahra menyahut. Adik kecilku itu mengenakan piayama merah muda, memeluk guling milik Zahra dengan erat. “Dia pamerin itu tas ke semua orang, sebelum akhirnya saat pengajian rutin di rumah Bu Juni …, Ibu lihat Bu Saropah dan Mbak Ida pakai tas yang sama.”

“Terus?”

Zahra menimpali, “Ibu maki-maki mereka. Alhasil, saat pulang …, begitu sampai rumah …, Bunda langsung ngamuk. Ayah yang baru balik …, masih di atas sepeda motor …, melihat keributan auto terpancing.”

“Aku sama Mbak Zahra langsung kabur. Kami beli bakso di Lek Dar, dan baru pulang pas magrib. Malu banget, Mbak! Untung saja Mbak Maya nggak di rumah.”

“Reaksi Bapak, gimana?”

“Aduh, jangan ditanya deh!” jawab Zahra dengan ogah-ogahan. “Kayak biasanya, Bapak hanya diam. Nggak belain atau ikut marahin Ibu. Padahalkan Ibu istrinya, harusnya kan Bapak bisa ya ngasih tahu. Biar Ibu nggak kayak begitu. Kami malu, Mbak. Tiap hari ada saja omongan nggak enak dari tetangga soal Ibu.”

“Mbak Zahra ingat nggak, waktu Ibu marahin Pak Udin gara-gara pikap mogok pas antar barang?”

“Ingat dong, Ra. Kan Mbak Zahra yang nganterin Ibu ke pasar pas kejadian. Malah Mbak Zahra ikut kena marah sama Ayah.”

Ibuku bukan hanya tidak bisa menghargai orang lain, tetapi dia bahkan tak bisa menghargai dirinya sendiri. Di mata anak-anaknya, dia tidak punya nama. Semua hilang oleh ulahnya sendiri. Namun, bapak kami lah yang paling sial karena dia bahkan tak pernah punya kesempatan menunjukkan keberadaannya.

*_*

Selesai mandi dan berganti pakaian, aku membangunkan Devara. Sengaja tidak kubangunkan pagi-pagi sekali karena tak tega, sepertinya dia sangat kelelahan.

Aku meputuskan untuk menggoreng telur, memotong beberapa buah alpukat dan menuang susu ke dua buah gelas.

Suasana di asrama sangat ramai setiap pagi, terlebih karena ada beberapa orang yang membawa anak untuk turut tinggal alhasil teriakan-teriakan ala ibu kepada anaknya terdengar nyaris sepanjang pagi. Mengingatkanku pada suasana rumah. Terutama saat berada di dapur bersama.

“Nanti siang siapa yang bakal ngomong ke Dokter Wahyu?” kata Bu Juwar sambil menuang sereal ke mangkuknya, membawa makanan itu ke meja. Dia duduk di sampingku.

Lihat selengkapnya