Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #10

Pak Johan

Kristina meninggal di usia delapan belas tahun dalam kecelakaan mobil, begitulah yang dikatakan oleh orang-orang di panti selama beberapa hari terakhir. Rumor menyebar dengan sangat cepat, tanpa tahu siapa yang pertama kali menyebarkannya, dan apakah ini berita valid atau tidak. Tidak ada yang bisa memastikannya. Hanya saja itu bukan masalah karena memang bahasan utamanya alih-alih proses kematian Kristina, melainkan bagaimana kematian orang terkasih mampu memporak-porandakan kehidupan seseorang.

Opa Josh kehilangan ingatannya, terjebak dalam realitas palsu yang dia ciptakan sendiri. Dia bahkan mengira kalau ruang perawatannya sekarang adalah kamar di rumah, begitu pula dengan Mbak Anggi yang dia kira sebagai Bi Indah –asisten rumah tangganya.

Itulah mengapa dia meminta bunga segar di vas diganti setiap pagi, dan melalui balkon kamarnya, Opa Josh sering melempari para oma dan opa yang sedang beraktivitas di halaman karena mengira bahwa mereka adalah pengganggu. Dia menganggap bahwa mereka terlalu lancang, masuk ke halaman tanpa izin. Sayangnya, kami tak bisa berbuat banyak. Hanya kemurahan hati yang lain lah yang dapat menolong. Mulai hari itu para pasien sebisa mungki diminta menghindari area dekat kamar Opa Josh untuk berkegiatan. Mengosongkannya. Dan, saat Opa Josh berteriak memakinya lewat jendela, orang-orang memilih tidak menjawab, mengabaikannya sambil berhati-hati kalau ada gelas atau benda lainnya melayang ke arahnya.

“Kamu aman kan, May?” tanya Bu Juwar saat aku mengambil kopi di dapur.

Aku awalnya tidak paham tapi kemudian mengangguk. “Sejauh ini sih aman. Opa Josh masih menganggapku sebagai Kristina.”

“Syukurlah!” Bu Juwar mengelus dada. “Kami semua sangat mencemaskanmu beberapa hari belakangan ini. Meskipun nggak bisa dimungkiri kalau pertolonganmu sangat meringankan beban kerja kami, tapi membiarkanmu seharian bersama pria gila itu membuat kami deg-degan sepanjang waktu.”

“Opa Josh baik kok, Bu.”

Ya, nyatanya selama aku bersamanya, Opa Josh nyaris tak pernah bertindak macam-macam, malah tingkahnya sangat menggemaskan. Pernah sewaktu-waktu aku datang agak siang karena harus merawat Oma Nur yang cidera setelah jatuh dari tangga, Opa Josh sudah berdiri di depan pintu, mondar-mandir menungguku.

“Kristina, kenapa kamu baru datang? Apakah kamu baik-baik saja, Nak? Apakah kamu marah? Apakah Papi berbuat kesalahan padamu? Katakan pada Papi, Kristina! Maafkan Papi!” tanyanya sambil berderai air mata.

Lihatlah, Kristina!

Kau begitu beruntung.

Bukannya aku tidak bersyukur dengan kehidupanku, hanya saja meskipun memiliki dua ayah dalam hidup, tetapi aku bahkan nyaris tak merasa dekat dengan keduanya. Benar, aku dan Bapak memang sering bercerita banyak hal, tetapi ada jarak yang sulit digambarkan di antara kami –yang sengaja dibuat oleh Bapak sendiri. Sementara ayahku yang seorang prajurit terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Nyaris tak ada waktu untuk keluarga. Pun waktunya sudah habis untuk mendidik adiknya yang tak lain dan tak bukan ibu kandungku sendiri.

Opa Josh memelukku dengan tangis tersedu-sedu.

Aku menepuk bahunya, menenangkan lalu mengajaknya kembali ke kamar. “Papi sudah makan?”

Dia menggeleng. “Papi menunggumu.”

“Lho, Papi kan tahu kalau harus minum obat,” kataku. “Jadi, sekarang Papi makan ya.”

“Iya, Kristina.”

Kusuapi dia dengan nasi dan sup yang sudah dingin. Maklum saja, harusnya makanan ini di makan dua jam lalu. Entah mengapa ini membuatku semakin merasa bersalah, seolah-olah pria tua ini menjadi sepenuhnya tanggung jawabku. Perasaan yang sama dengan yang kurasakan belasan tahun lalu, saat aku secara bergantian dengan Zahra berkewajiban mengurus mendiang Eyang Kakung yang terkena strok. Eyang tidak bisa berjalan waktu itu, malah sama sekali tak bisa bergerak. Sepenuhnya beliau beraktivitas di atas kasur.

Sebenarnya, Bapak lah yang diberi tanggung jawab untuk mengurus Eyang Kakung, akan tetapi karena kewajibannya sebagai guru, Bapak tidak mungkin bisa seharian berjaga. Demi meringankan tugas Bapak, setiap pulang sekolah aku dan Zahra sebisa mungkin membantunya. Meskipun harus dengan uang imbalan. Bapak menjanjikan kami lima puluh ribu seminggu. Lumayan banyak saat itu.

Zahra masih cukup kecil saat itu, akibatnya dia sering ogah-ogahan. Dia bahkan menolak mengganti popok Eyang dan memilih menyuapinya saja. Untungnya, Opa Josh tidak begitu. Dia bisa ke toilet dan mandi sendiri, bahkan membuat hiasan bunga kering dan bernyanyi.

Ya, bernyanyi.

Dia pernah menyanyikan lagu rohani –yang tentu tidak aku pahami sama sekali –dengan penuh penghayatan, menandakan bahwa beliau sosok yang sangat mencintai Tuhan. Ada alkitab di lacinya, serta sebuah album foto seorang anak perempuan yang kusangka merupakan Kristina.

Kristina sangat cantik, berambut panjang dan memiliki senyuman indah. Foto itu sepertinya diambil saat usianya masih sebelas atau dua belas tahun, di sebelahnya ada gambar Opa Josh muda yang juga tersenyum lebar, seorang anak lelaki yang usianya lebih kecil mengangkat boneka, serta sosok perempuan yang mukanya dicorat-coret. Yang entah bagaimana langsung membuatku paham bahwa kerusakan keluarga mereka jauh lebih buruk dari ini. Maksudku, dia bukan hanya kehilangan anak perempuannya, tetapi juga seluruh keluarganya.

*_*

“Kamu sudah buat janji dengan psikolog?”

Lihat selengkapnya