Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #14

Tugas Seorang Ayah

Seharian penuh aku dan Ayah berkeliling mencari keberadaan Bapak. Kami menelusuri orang-orang serta tempat yang paling mungkin hingga mustahil Bapak kunjungi. Namun, sampai matahari meninggi belum juga ada hasil yang terlihat.

“Ponselnya masih belum aktif?”

“Belum, Yah.”

“Huft!” Sambil mencengkeram stir, Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Terus, kita harus ke mana lagi? Semua tempat sudah kita datangi sedangkan hasilnya selalu masih nihil. Apa jangan-jangan bapakmu keluar kota ya, May?”

“Maya juga nggak begitu yakin, Yah. Tapi yang jelas, makin cepat Bapak pulang, makin cepat juga semuanya kelar.”

“Atau begini saja, kita pulang dan bilang ke Zahra untuk …, nggak ada bapak kalian tidak masalah lah. Kan ada Ayah. Cukup kalau buat meminta pertanggungjawaban dari Pandu.”

“Masalahnya, kan kemarin Ayah dengar sendiri kalau Zahra butuh kehadiran Bapak. Kalau Maya sih manut saja. Apalagi mumpung Pandu belum tahu. Maya khawatir dia kabur ninggalin Zahra.”

“Kandungan Zahra sudah hampir dua bulan, sebentar lagi membesar. Kita nggak punya banyak waktu lagi, Maya. Bagaimana kalau sekarang kita ke rumah Pandu?”

“Tapi, Ayah, kemarin kan kata Bunda ….”

“Maya, ini sekadar peringatan ke Pandu supaya dia nggak macam-macam!” tegasnya. “Lagian, kalau seandianya itu bapakmu nggak pulang, mau sampai kapan kita menunggu? Zahra juga harus belajar menerima keadaan, sebentar lagi perutnya membesar kalau nggak cepat bertindak, bisa-bisa semuanya tambah berantakan. Kamu pikir, Ayah senang kayak gini? Nggak, May! Kalau bukan karena kamu dan bundamu, dari kemarin sudah Ayah pukuli itu Pandu.”

Ayah benar, Zahra harus belajar dewasa.

Sejak kecil Zahra memang hampir tak pernah dihadapkan dengan situasi sulit. Dia nyaris tak pernah membereskan masalahnya sendiri, tetapi jelas itu bukan salahnya. Kami ingin yang terbaik untuknya hingga tanpa sadar cenderung memanjakan. Jika ada yang pantas disalahkan di sini adalah kami, selaku orang yang membentuknya.

Aku tidak bisa menolak saat Ayah membawa mobil menuju sekolah dasar tempat Pandu mengajar –yang sebenarnya juga tempat kerja Bapak dan Zahra. Suasananya sudah sepi, tetapi motor Pandu masih ada di sana.

Kami menunggu cukup lama sampai akhirnya Pandu keluar juga. Dengan seragam cokelatnya, Pandu mengendarai sepeda motor vespa antiknya. Tepat saat motor tersebut keluar dari gerbang, Ayah melambaikan tangan dari seberang jalan, seketika Pandu mendatangi kami.

“Pak Salman? Mbak Maya?” Itulah kata pertama yang keluar dari mulutnya, dia bahkan menyalami kami yang disambut ogah-ogahan oleh Ayah. “Sehat, Mbak?”

“Alhamdulillah, Ndu!” jawabku.

“Ada apa ya? Tumben Bapak dan Mbak Maya ada di sini? Bukannya Pak Hamdan dan Za tidak masuk?”

“Nggak usah banyak basa-basi!” ungkap Ayah. “Kami ke sini sengaja mau ketemu kamu.”

“Ketemu saya?”

Ayah mengangguk tegas. “Dengar ya, Pandu! Kamu jangan main-main sama saya. Kalau sampai kamu lari, saya akan cari kamu bahkan ke lubang semut sekalipun.”

“Maksud, Pak Salman?”

“Jangan berlagak bodoh!”

Ayah mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, mengambil setabang dan menyalakannya. Beliau mengisapnya sebentar, lalu masuk ke mobil, meninggalkan Pandu dengan muka kebingungan. Kupikir itu wajar, sebab Zahra memang belum memberitahunya.

“Mbak, ini kenapa?” tanya Pandu.

Aku menjawab, “Ndu, bagaimanapun juga kamu harus bertanggungjawab. Anak itu nggak salah. Kalian yang salah.”

“Anak?” Dia mengerutkan kening. “Tunggu! Ini anak apa ya, Mbak.”

“Anak kamu, Ndu.”

Lihat selengkapnya