Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #15

Bapak dan Hatinya

Malu pada diri sendiri?

Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kata-kata itu akan keluar dari mulut Bapak. Mengingat selama tiga puluh lima tahun terakhir beliau selalu diam, tidak pernah membantah ataupun protes apa yang ditimpakan kepadanya baik oleh Ibu maupun keluarga besarnya. Termasuk saat beliau tidak diizinkan mengunjungi orang tuanya selepas menikah. Sehingga aku dan adik-adikku nyaris tidak punya kesempatan mengenal keluarga bapak kami, meskipun sebenarnya Bapak tetap membawa kami berkunjung ke rumah Simbah pada hari raya, tanpa Ibu tentu saja, dan itu pun setelah kami puas diajak berkeliling ke kerabat dari pihak Ibu, Ayah mau pun Bunda.

Saat masih kecil aku tidak pernah mengerti mengapa Bapak tidak pernah membawa Simbah datang, sebagaimana Ayah membawa Nenek dan Kakek menginap di rumah kami. Namun kini, di hari di mana aku bisa menyaksikan tangisan beliau, aku baru mengerti.

Tiga puluh lima tahun terakhir hidup Bapak dihabiskan untuk memperjuangkan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. Bapak sejak awal telah kehilangan kehomatannya sebagai seorang kepala keluarga, suami bahkan ayah untuk anak-anaknya.

“Kamu tidak ikut pulang ayahmu, May?” Ditanyakan oleh Bapak saat aku kembali ke lantai atas, kali ini dengan semangkuk soto ayam yang kubeli di kedai seberang jalan.

Aku hendak suduk di sampingnya saat menggeleng. “Mangga didhahar, Pak.”  

“Kowe ora mangan?”

“Maya sampun, Pak.”

Bapak menerima mangkuk tersebut dari tanganku, kemudian menyeruput kuah soto dengan sendok. Tampak jelas bahwa sebenarnya beliau tidak lapar, aku sudah sering melihatnya memandang makanan sedemikian pedih, tetapi tidak sesedih kali ini.

Ayah sendiri sudah kuminta pulang, Bapak akan menjadi tanggung jawabku.

Mempertemukan Bapak dengan Ayah di saat seperti ini adalah sesuatu yang kurang bagus, terlebih kalau Ayah sampai tahu alasan Bapak melakukan ini. Ayyah pasti akan menyikapinya dengan kurang baik, dengan sikap Ayah, beliau pasti akan menyeret Bapak pulang detik itu juga. Aku bahkan tidak mengizinkan Ayah naik, sama sekali.

“Sudahlah, Yah.” Itulah yang kukatakan padanya saat kami bertemu di kedai soto, lengkap dengan membawa Pandu, tentu saja. Bagaimanapun juga dia tetaplah manusia. Kami tak ingin terlihat seperti penjahat baru di sini. Pun kalau benar, Pandu adalah ayah dari keponakanku. “Biar Maya yang bicara sama Bapak.”

“Hamdan kenapa sebenarnya?” Alih-alih menjawab, Ayah malah balik bertanya. “Kenapa mendadak kayak anak kecil begini?”

Aku menggeleng. “Yah, tolong pahami kalau semua ini juga terlalu berat buat Bapak.”

“Dia pikir hanya dia yang terpukul? Ayah juga ayahnya Zahra lho, May. Bukan cuma dia.”

Pada dasarnya semua orang sama saja. Mereka bisa menjadi sangat bijak sekaligus keras kepala.

“Ayah!” Kusentuh lengan beliau dengan lembut, lantas dengan penuh pengharapan aku menatapnya. “Tolong beri Maya kesempatan malam ini saja. Kalau besok Maya tidak berhasil bawa Bapak pulang, silakan Ayah datang ke sini lagi.”

“Janji?”

“Ya. Maya janji.”

“Ya sudah, tidak apa.”

Aku tersenyum, kemudian mencium lengan ayahku.

Kata orang, anak perempuan adalah kelemahan besar untuk ayah mereka. Baik Ayah maupun Bapak, bagaimanapun juga tetaplah orang tuaku. Sekeras-kerasnya sifat Ayah, beliau tak akan bisa lepas dari bujuk rayuku. Sebaliknya, sehancur apa pun Bapak, aku yakin beliau akan bangkit kembali demi putrinya.

Terbukti dari kosongnya mangkuk soto di tangan Bapak. “Wis, Nduk!”

Aku menerima kembali mangkuk tersebut dan meletakkannya di meja. Tidak lupa aku mengambilkan segelas air mineral di atas meja lengkap dengan sedotannya untuk Bapak.

“Matur nuwun, May.”

“Sami-sami,” jawabku sambil tersenyum lebar. “Bapak tahu nggak kalau dari kecil Maya selalu menganggap Bapak itu kebanggaan Maya?”

Lihat selengkapnya