Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #18

Keputusan Bunuh Diri

 

Hancur.

Lebur.

Tidak tersisa.

Adalah kata-kata paling tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu.

Bukan hanya jatuh tertimpa tangga, aku juga terperosok ke dalam jurang, terguling-guling sebelum akhirnya jatuh menghantam batu besar. Sekujur tubuhku berdarah, terluka parah sampai-sampai kedua tangan dan kakiku harus diamputasi.

Menerima fakta bahwa Ilham menghamili Zahra sudah cukup menyakitkan, tapi ditinggal menikah diam-diam saat keduanya berhutang penjelasan adalah perkara lain. Seolah kehadiranku di sini tidak berarti apa-apa, seolah ikatan persaudaraan kami selama dua puluh tujuh tahun terakhir adalah kepalsuan, sementara jalinan kasih yang selama ini aku dan Ilham perjuangan tidaklah lebih dari sekadar kesia-siaan.

Kenapa? Kenapa mereka tega memperlakukanku sekejam ini? Pun keempat orang tuaku sendiri …, mereka hanya memikirkan …, ya aku paham bahwa keluarga dan nama baiknya penting, tapi bukan begini caranya!

Aku sendiri tidak ingat sudah berapa lama berdiam diri di kamar, yang jelas satu-satunya hal di hidupku saat itu hanyalah menangis, menangis dan menangis. Sama seperti drama dalam serial remaja, aku meringkuk di atas kasur tanpa mau diajak komunikasi oleh siapapun. Padahal sebagai dokter –meskipun bukan ahli jiwa –aku paham betul jika itu bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan karena hanya akan membuatku tenggelam semakin dalam. Baru kali itu aku benar-benar bisa merasakan sekujur tubuhku perlahan mati di makan kesedihan.

Pertanyaan seperti ‘Untuk apa aku hidup’, ‘Bisakah aku hidup setelah ini?’ atau ‘Siapa lagi yang bisa kupercaya setelah ini?’ terus datang dan berdesak-desakan di dalam kepala, membentuk asumsi dan bayangan liar yang terkadang juga berlebihan. Hanya saja, memang itulah yang kurasakan.

“May, buka mulutmu. Makan, Nak. Sesuap saja.”

Bunda tidak pernah absen membawakanku aneka makanan, mulai dari bubur hingga sate ayam kesukaanku, akan tetapi tak ada satupun yang mampu menggugah selera makanku. Melihat makanan membuatku mual. Kalau pun ada sesuap yang berhasil lolos akan langsung keluar detik berikutnya, seolah ada dorongan dari dalam diriku sendiri untuk menolak makanan, padahal di sisi lain perutku amat keroncongan minta diisi.

*_*

Sebagai seorang dokter tentu aku tahu betapa menyakitkannya orang menghadapi kematian di ujung tali gantungan, setidaknya secara teori. Bagaimana secara perlahan arteri karotis menutup, pecahnya pembuluh kapiler serta menurunnya detak jantung dan tekanan darah sebelum akhirnya benar-benar kehilangan napas setelah trakea hancur. Termasuk adanya kemungkinan bahwa batang leher gagal terputus dan menyebabkan penderitaan lebih panjang serta menyakitkan.

Aku ingat betul ketika masih pendidikan dulu pernah secara langsung menangani pasien dengan kondisi gagal bunuh diri.

Namun, entah dorongan setan apa aku justru hendak melakukan hal yang sama. Ini adalah cara termudah untuk dilakukan sekarang. Pun aku dulu sempat ikut pramuka sehingga paham betul simpul tali-temali yang mampu mencabut nyawaku dengan efektif –sekalipun hanya mengandalkan selembar kain jarik di dalam lemari.

Lihat selengkapnya