Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #19

Rindu Ialah Obat Paling Mujarab

Aku hampir saja lupa dan membuat seorang pria lansia kehilangan anak perempuannya untuk kedua kali.

Opa Josh sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang oksigen terpasang di hidung saat kami kemudian melanjutkan obrolan melalui panggilan video. Sungguh tak kusangka bahwa kerinduan membuatnya jatuh sakit. Dia benar-benar sudah menganggapku sebagai Kristina. Bahkan kami sama-sama tak bisa membendung air mata saat akhirnya berjumpa meskipun hanya melalui ruang virtual.

“Kristina sakit?” Opa Josh bertanya dengan cemas yang buru-buru kujawab dengan gelengan tegas. Tentu aku tak ingin membuatnya semakin khawatir. Terlebih kondisinya jelas sedang tidak baik. Kulitnya amat pucat, tetapi matanya benar-benar berbinar menggambarkan harapan, sinar yang barangkali hilang dan tak kutemukan selama beberapa hari berada di rumah keluargaku sendiri. Padahal selama ini kami cukup harmonis ketimbang keluarga Opa Josh.

Opa Josh hanya ditemani oleh Pak Johan. Bahkan sebelum panggilan ini di mulai, Pak Johan berkata padaku, “Maaf sekali ya, Dok. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Papi tidak mau makan berhari-hari sampai jatuh pingsan. Akhirnya, saya terpaksa meminta nomor Dokter kepada Devara. Kalau Anda tidak terima, tolong bilang ke saya saja. Devara tidak salah apa-apa.”

“Tidak apa, Pak Johan.” Jawabku sambil menyandarkan punggung ke pinggiran dipan, lengkap dengan tubuh yang masih bersimpuh di atas lantai. Tidak lupa –entah bagaimana –aku memasang senyuman palsu, menarik kedua ujung bibirku untuk melengkung ke atas. “Omong-omong kapan Opa Josh di bawa ke rumah sakit?”

“Semalam,” jelas Pak Johan. “Bu Anggi menelepon saya tengah malam untuk mengabari kalau Papi tidak sadarkan diri. Saya buru-buru ke sana karena khawatir kalau penyakit jantungnya kambuh, tapi untung saja tidak. Papi hanya terlalu lemas karena tidak mau makan.”

Itulah kenapa kemudian aku meminta Opa Josh mengisi perutnya –yang langsung dia turuti dengan segera. Opa Josh bahkan menghabiskan makan siangnya hingga tak tersisa, lalu memamerkan piring kotornya padaku. “Lihat, Kristina. Papi hebat, kan?”

“Jangan lupa minum obat ya, Pi."

Opa Josh mengangguk sembari mengacungkan jempol ke depan kamera. “Kamu sendiri sudah makan siang?”

Makan?

Jangankan makan siang, nampan pemberian Bunda pagi ini saja masih tetap di atas meja tanpa tersentuh sama sekali. Nasi dan tumis bunga pepaya –yang harusnya kesukaanku –telah dingin, barangkali juga akan segera basi. Hanya saja untuk menenangkan hati pria tua yang malang ini aku pun mengangguk.

“Syukurlah. Puji Tuhan kalau begitu,” ucap Opa Josh. Oh iya, kamu kok lama sekali sih? Kapan pulang ke Jakarta? Memangnya nggak kangen sama Papi? Rasanya Papi sudah mau mati kalau nggak melihat kamu sehari saja. Papi takut, Kristina.”

“Takut apa?”

“Papi nggak mau ditinggal lagi.”

“Sabar ya, Pi. Aku janji akan segera kembali.”

“Tapi, kapan?”

“Papi, Kristina harus kerja. Papi nggak boleh kayak gini. Itu egois namanya.” Pak Johan yang sejak tadi duduk di sebelah ayahnya ikut bicara. Aku bisa melihat raut tak enak hati saat pria muda itu menoleh ke arah kamera. “Dok, tidak usah buru-buru. Anda selesaikan saja urusan di sana.”

Dok? Siapa yang kamu panggil, Dok?” Opa Josh menyela sambil memukul bahu Pak Johan. “Dia ini Kristina. Kakak kamu. Panggil Kakak! Biarpun kalian sudah benar, tidak boleh mengganti panggilan.”

Lihat selengkapnya