Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #20

Keluarga Cemara

Setelah hampir seminggu tidak keluar kamar, aku akhirnya bisa menghirup kembali udara segar. Susana rumah jauh lebih lenggang dari sebelumnya. Padahal kalau dipikir-pikir, hanya ada satu penghuni saja yang hilang. Tak ada bedanya dengan hari biasa, seharusnya. Mengingat sehari-hari pun aku juga tidak berada di sana, jauh di perantuan, akan tetapi kepergian Zahra bukan hanya soal ketiadaan sosok melainkan lebih besar dari itu.

Ibuku masih tidak mau keluar kamar, sepanjang siang itu yang bisa kudengar dari kamarnya hanyalah tangisan. Di sisi lain, Ira juga lebih disibukkan dengan kegiatan sekolah –tampak jelas bahwa dia sengaja menghindari keributan ini. Ya, ketenangannya telah direnggut oleh entah apa. Mungkin, keadaan. Keadaan lah yang memuat situasinya semrawut lagi muram.

“Kamu yakin?” tanya Bapak saat kami bertemu di dapur. Beliau sedang mengupas mangga untuk Ibu.

Aku mengangguk. “Inggih, Pak.

“Coba dipikir maneh, May. Ning kana adoh omah lho, Nduk. Yen enek apa-apa karo kowe, terus piye? Apa maneh kowe sik durung sehat kayak ngene.”

“Mboten, Pak!” Aku mengambil gelas dari rak dan mengisinya menggunakan air dari ceret. “Maya sampun yakin. Nama maleh teng Jakarta nggih wonten rencang-rencang.”

Bapak berhenti mengupas mangga, menoleh padaku. Tatapan matanya sangat putus asa. Aku paham, ini berat untuknya. Jelas sebagai orang tua beliau mencemaskanku. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, beliau tidak mengerti bahwa rumah ini telah berubah menjadi mimpi buruk bagiku. Bukan! Bukannya aku hendak bilang kalau benar-benar membenci atau enggan pulang ke sini lagi suatu hari, melainkan aku butuh waktu menenangkan diri. Hanya itu. Tidak lebih.

“Kowe wis ngomong karo ayahmu?”

“Dereng. Maya baru bilang ini ke Bunda dan njenengan.

“Terus, kapan mau bilang ke ayahmu?”

“Rencananya, nanti atau besok.”

"Yen tekatmu wis kuat, Bapak ora isa ngomong apa-apa. Bapak gor isa ndunga marang Gusti supaya apa saja yang kamu impikan bisa terkabul. Supaya kamu semakin sukses di sana. Lagipula, mahal biaya ayahmu menyekolahkan kamu, Nduk. Bapak minta maaf karena selama ini tidak bisa memberi apa-apa untuk kamu. Bahkan tempat aman dan nyaman buatmu saja Bapak tidak mampu menyediakan.”

“Bapak kok bicara begitu? Ini nggak ada hubungannya dengan itu, Pak!” Aku meletakkan gelas kosong ke tempat cucian piring, lantas menghampirinya. “Pak, ini bukan salah njenengan. Lagian, Maya juga memang sudah waktunya balik ke panti. Kalau terlalu lama cuti, Maya tidak enak pada atasan.”

Kalau bukan karena kebaikan Dokter Wahyu serta aku hampir tak pernah mengambil satu pun jatah cuti selama tiga tahun, sudah pasti aku akan dapat surat peringatan karena hampir dua minggu baru memberi kabar.

“MAYA! MAYA ANAKKU! MANA MAYA!”

Di tengah obrolan kami yang tenang itu, tiba-tiba saja dari arah depan terdengar suara teriakan Ayah. Dan benar saja, beliau muncul dari ruang makan sambil berlari dan langsung menghambur ke arahku.

“Maya? Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Nak? Ada yang luka? Mana? Biar Ayah lihat!” Saking cepatnya beliau bicara, seolah-olah tidak bernapas.

Aku yang kebingungan menoleh kepada Bapak –sayangnya, beliau sama tak pahamnya dengan aku.

“Ayah kenapa?”

Namun, bukannya menjawab Ayah malah semakin mengeratkan pelukannya. Seakan jika dilepaskan maka aku akan pergi. Meninggalkannya.

“Ngapunten, Kang Mas. Niki wonten napa, nggih?”

Belum sempat ayahku menjawab, Bunda mendadak muncul lengkap dengan seorang pemuda berkaos hitam di belakangnya. “Ayah, canela njenengan lho.”

Mendengar hal itu, aku pun ikut menoleh ke bawah. Ternyata benar, Ayah masuk ke rumah dengan tanpa melepaskan sepatunya. Bagaimana bisa? Padahal biasanya beliau termasuk orang paling bersih di rumah.

Dengan kikuk, Ayah tersenyum lebar tetapi matanya basah. “Maaf. Aku panik.”

“Mbak yu, enten napa?” Bapak kembali bertanya.

Lihat selengkapnya