Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #28

Bu Johan

Apakah ini artinya aku masih belum benar-benar bisa melupakan Ilham?

Mungkinkah alam bawah sadarku masih sangat merindukannya?

Atau malah, aku terlalu takut dan menganggapnya sebagai hantu mimpi buruk?

“Sudah! Jangan terlalu dipikirkan!” Devara yang datang untuk membantuku mempersiapkan pemeriksaan pagi memperingatkan, lengkap dengan senyuman tipis penuh penyesalan. Barangkali dia menyesal karena telah memberitahuku, atau karena hal lain. Yang jelas, orang seperti Devara sangat mudah ditebak. Dia tak bisa menyembunyikan perasaannya.

Kujawab pernyataannya dengan anggukan kecil.

Tidak lama, para oma dan opa datang, mengisi ruang tunggu yang nyaman dengan bunga-bunga wangi dan indah buah tangan Opa Hadi. Seperti yang kukatakan dulu, agenda pagi ini selain untuk memastikan kondisi kesehatan pada lansia juga merupakan sarana bercengkerama antar penghuni, terlebih yang kamarnya berjauhan.

“Oma Nur, habis makan apa kemarin?” Kutanyai wanita tua di hadapanku dengan penuh selidik.

 Bukannya langsung menjawab, Oma Nur justru tersenyum malu. “Maaf, Dok. Saya nggak kuat. Ingin makan gulai.”

“Iya. Tapi, kan kolesterol Oma sangat tinggi.”

“Sedikit saja kok, Dok.”

“Padahal kemarin sempat turun, sekarang naik lagi.”

Bicara soal lansia, mereka terkadang memang –aku tidak tahu apakah kalimat menikmati hidup cukup tepat untuk mendeskripsikannya? Akan tetapi, yang jelas –seperti anak kecil –larangan bisa berarti perintah.

“Ya sudah, mulai sekarang Oma harus jaga pola makan lagi.” Aku mengultimatum. “Janji?”

Oma Nur menganguk. “Siap.”

Dengan kesal Oma Nur bangkit dari kursi, meninggalkan ruangan. Sementara Devara yang juga berada di sana malah tertawa.

“Kenapa, Dev? Ada yang lucu?”

“Lo nggak lihat ekspresi Oma Nur tadi? Lucu banget.”

“Nggak ada yang lucu sama sekali,” kataku. “Memang harusnya begitu kan. Kita yang bertanggung jawab penuh menjaga mereka selama di sini. Itulah kenapa kita harus tegas. Demi kebaikan mereka sendiri.”

“Iya, iya.” Devara berjalan ke arah pintu guna memanggil pasien berikutnya. Namun, tidak seperti sebelumnya …, Devara terdiam cukup lama di ambang pintu sebelum akhirnya menutupnya kembali.

“Lho? Kenapa, Dev?”

Tidak langsung menjawab, Devara yang berbalik menatapku dengan mata bulatnya. Bingung, hanya itulah kata paling tepat untuk mendeskripsikan kondisinya.

Buru-buru aku berdiri dan menghampirinya. Akan tetapi, Devara mendadak mengangkat sebelah tangannya, seolah mengisyaratkan supaya aku berhenti berjalan. Lalu, dengan sigap dia kembali membuka pintu.

“Silakan, Opa!” katanya. “Kristina ada di dalam kok.”

Tunggu?

Apa yang dia katakan?

Opa? Opa Josh?

Dia berdiri di ambang pintu, dengan langkah tertatih dia berjalan dalam tuntunan Devara. Ini sungguh seperti mimpi, sebab baru kali ini Opa Josh …, dia keluar dari kamarnya? Benar-benar keluar sendiri? Berbaur dan mengantre sendiri?

Entah bagaimana hatiku mengharu biru, seolah ada kuncup bunga yang merekah di dalamnya. Membuat mataku memanas menahan genangan air mata.

“Kristina? Anakku?”

Aku segera tersentak saat Opa Josh memanggil. Buru-buru kuhampiri pria tua itu dan mengambil alihnya dari tangan Devara. Lalu, kubantu dia duduk di kursi yang seharusnya.

“Papi tadi dibantu siapa?”

Lihat selengkapnya