Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #30

Toko Kue

Sejujurnya aku masih merasa tidak enak pada Pak Johan soal kejadian terakhir kami bertemu, lebih tepatnya atas kelancangan dan ke-sok-tahu-an-ku. Tentu sebagai orang yang sudah beberapa tahun menghabiskan waktu di kota metropolitan, aku harusnya paham bahwa usia bukanlah variabel yang pantas untuk digunakan sebagai indikator status pernikahan seseorang, terlebih tidak semua orang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup mereka, ada banyak pria dan wanita matang yang tidak menginginkan pernikahan; banyak pasangan suami-istri yang tidak mengharapkan anak dalam rumah tangganya; dan masih banyak hal-hal lain yang harusnya bisa aku pelajari sepanjang tiga puluh tiga tahun hidup di dunia.

Sepanjang perjalanan aku menengok ke layar ponsel, lebih tepatnya mengabari Devara bahwa malam ini aku akan pulang sedikit terlambat hingga dia tidak perlu menungguku untuk pergi ke pengajian.

Devara:

Tega banget sih lo, Mbak May?

Terus nasib gue gimana ini?

Umi lagi umrah. Ima di pondok.

Aku tersenyum saat membaca pesan itu, lantas mengetikkan balasan.

Maya:

Kan ada jemaah lain.

Ada tante dan sepupunya Hasyim juga kan.

Hanya butuh beberapa detik balasan masuk.

Devara:

Mampus.

Lo kan tahu gue nggak terlalu akrab sama mereka.

Gue nggak tahu mau ngomong apa nanti.

Mereka religius, sementara gue?

Bisa mati kutu gue.

Kayak di acara keluarga tempo hari.

Aku mengetuk layar ponsel pintar dua kali guna membuatnya padam sebelum memasukkannya ke dalam tas. Ku tatap kesibukan kota Jakarta dari balik jendela mobil yang melaju pelan di tengah jalanan malam.

Lain dengan percintaanku di mana penghalang hubungan ada di restu Ibu, Devara justru sebaliknya. Keluarga Hasyim entah bagaimana selalu membuatnya merasa rendah diri. Bisa dibayangkan, gadis sepercaya diri Devara sampai menjadi seperti itu. Bukankah ini buruk?

Hanya saja, menurutku semua pemikiran tersebut hanya ada di dalam kepala Devara. Tumbuh di keluarga tak harmonis membuatnya sulit memposisikan diri, seolah orang lain memandangnya rendah. Padahal sepengetahuanku, baik para bibi maupun sepupu Hasyim sangatlah baik dan menerima kedatangan Devara dengan tangan terbuka.

Bukankah ini semacam pola takdir?

Devara yang selalu menghindar dan merasa tak pantas malah diberikan jalan oleh Tuhan untuk masuk ke keluarga Hasyim dengan berbagai cara, seolah ini memang takdir terbaik untuk mereka. Sebagaimana aku dan Ilham yang selama belasan tahun bersikeras bersama tetapi selalu diberikan penghalang nyata sebab Tuhan tahu akan begini ujungnya.

Tunggu! Kenapa? Kenapa aku tiba-tiba kembali memikirkan Ilham? Sialan! Kuusap wajah menggunakan tangan kanan, bersamaan dengan berhentinya mobil yang kutumpangi di seberang sebuah lapangan.

“Bayar lewat aplikasi ya, Pak!” ujarku saat hendak turun dari takdi daring.

Pria paruh baya berambut putih yang duduk di bangku kemudi mengangguk, mengucapkan selamat tinggal dengan ramah lalu pergi. Sedangkan aku masih berdiri di sana, menatap lapangan yang tempo hari sempat kudatangi dengan takjub. Tak sama seperti di siang hari, kala malam segalanya tampak lebih memukau. Ada semacam pasar malam di sana. Sepertinya baru dimulai. Padahal beberapa hari lalu tempat ini hanyalah tempat parkir mobil biasa. Namun, tujuanku bukanlah tempat tersebut melainkan bangunan pertokoan yang tak jauh dari sana. Tempat Pak Johan mengirimiku alamat pertemuan.

Masih sama seperti terakhir kali kudatangi, kedai keluarga Agnes tidak begitu ramai tetapi juga tidak bisa dikatakan sepi. Ada beberapa pelanggan mengisi meja. Aroma kuah kaldu memenuhi ruangan, menyambut hidungku.

“Selamat malam." Di depan kasir kusapa Agnes yang sedang duduk sambil memainkan ponsel.

Lihat selengkapnya