Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #31

Luka dan Kepedihan

Tanpa aku sekalipun sebenarnya Pak Johan terlihat sangat terampil, teliti dan mampu memilah apa-apa saja yang harus dipersiapkan. Bukannya aku seolah tidak dianggap, malah sebaliknya dia selalu meminta pertimbanganku mengenai apa-apa saja yang harus dibeli dan dipilih, hanya saja seleraku tidak sebagus dia. Seakan tanpa aku pun dia harusnya bisa.

“Kata lain dari ngajak kencan.” Itulah yang dikatakan oleh Devara saat aku menceritakan pengalaman malam itu padanya, tepat saat dia datang membawakan bingkisan dari pengajian. Kurma, kue kering dan tasbih. “Fix. Dia suka tuh sama lo. Cuma malu saja ngajak keluar. Makanya, cari-cari alasan.”

Aku berpura-pura hendak melemparkan kue padanya, yang buru-buru dia hindari dengan berguling ke sisi lain ranjang. “Jangan ngawur. Menurutku, Pak Johan hanya mencoba menghargai posisiku sebagai Kristina.”

“Mana ada!” Devara tertawa sambil mengunyah kue kacang dalam toples tetapi kemudian dia menatapku, tanpa berkedip. “Nggak usah sok nggak paham lah, Mbak May!” ujarnya. “Kalau dibanding sama Ilham, Hans lumayan. Cuma agak ketuaan, kalau buat gue. Tapi, kalau dibanding sama lo, masih cocok lah. Lo cantik, dia ganteng. Sama-sama mapan, sehat secara fisik, mental dan finansial. Kurang apa lagi, coba? Mending lo ajak jadian deh tuh orang.”

“Jangan ngawur lagi dong, Dev!” Aku menarik selimut, membuat Devara yang duduk di atasnya terguling ke belakang, jatuh ke atas kasur yang empuk.

Lalu, kubaringkan diri di atas ranjang.

Sejujurnya, aku suka malam ini. Belanja di keramaian pasar tradisional yang sudah sangat lama tidak kudatangi. Setidaknya, tidak sesering beberapa tahun lalu.

Seperti yang dikatakan Devara, Pak Johan memang tampan. Dia juga punya kemampuan sosial yang bagus. Dia menyapa hampir semua orang yang ditemuinya, mengobrol tetapi tidak pernah mengabaikan keberadaanku sebagai temannya malam itu.

“Anda kenal semua orang di sini?” tanyaku.

Pak Johan mengangguk. “Sebenarnya kurang tepat kalau semua tapi sebagian besar saya memang kenal sejak lama. Sejak kecil saya sering mengunjungi Bibi, sebab hanya Bibi lah keluarga yang Mami punya.”

“Berarti nenek dan kakek Bapak dari pihak ibu sudah meninggal? Eh, maaf kalau saya lancang.”

“Nggak kok! Nggak apa-apa!” jawabnya dengan cepat. “Mereka masih hidup, setidaknya hingga hari ini. Hanya saja, hubungan keluarga saya dengan keluarga besar tidak cukup baik. Semacam itu lah. Kalau Dokter Maya sendiri? Ayah dan Ibu baru dari sini kan ya?”

“Iya. Lebih tepatnya Ayah dan Bunda.”

“Beda?”

“Saya punya empat orang tua.”

“Eh?” Mata Pak Johan membulat. “Orang tua Anda bercerai? Lalu menikah lagi? Begitu?”

“Bukan! Orang tua kandung saya masih bersama. Hanya saja, saya diadopsi.”

Dari ekspresinya, Pak Johan terlihat tidak percaya. Dia melongo sebentar tapi kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Wow. Luar biasa.”

“Apanya yang luar biasa?” Aku menarik napas panjang, menikmati udara malam. “Ayah angkat dan ibu kandung saya saudara kandung. Itu menjadi lebih mudah. “

“Kalau saudara? Kalau tidak salah, dulu Anda pernah cerita kalau punya dua adik perempuan, kan?”

Adik?

Ya, adikku.

Aku hanya mengangguk, sebab bayangan mengenai Zahra dan Ilham mendadak muncul kembali di depan mata. Kupegang tas berisi barang belanjaan itu dengan kuat, seolah bisa kuraba lagi segala luka yang masih basah di sana.

“Eh, Dok, mau ke pasar malam? Mumpung di sini?” Pak Johan menunjuk ke gerbang lapangan yang sebelumnya sempat kulihat. Semakin malam semakin ramai.

*_*

“Mbak Maya, terima kasih untuk bantuannya. Semoga tidak kapok pergi dengan saya.” Perkataan Pak Johan ketika mengantarku pulang tadi tidak berhenti datang, membayangiku bahkan saat akan tidur.

Lihat selengkapnya