Kira-kira apakah di mata orang lain sekarang aku terliat seperti ingin memanfaatkan kondisi Opa Josh? Ataukah ini hanya perasaanku sendiri?
Sejak semalam aku tidak bisa tidur, beruntung suasana asrama sudah sepi setelah hampir seluruh penguhinya –kecuali aku dan Devara –telah pulang kampung. Bahkan Pak Martin saja izin dan harus digantikan oleh orang lain. Mang Darsan, tetangga dekat sini yang memang biasanya dapat tugas bersih-bersih taman.
“Kamu beneran nggak akan pulang?”
Devara yang duduk di meja makan menggeleng saat kutanyai. “Sudah gue bilang, gue mau balik ke mana? Bokap dan Nyokap sudah punya kehidupan sendiri. Balik pun gue percuma.”
“Terus, soal nikahan kamu? Masa betulan nggak mau minta restu?”
“Apa pentingnya?” Dia mengaduk salad di piring dengan garpu. “Kalau mereka masih menganggap gue anak, pasti bakal datang. Kalau nggak, ya sudah. Pakai wali hakim. Beres. Eh, omong-omong, lo berapa hari di sana? Jangan lupa oleh-olehnya ya kalau balik. Pokoknya, kalau sampai nggak ngasih oleh-oleh, awas saja.”
“Ini permintaan apa ancaman?” Aku mengambil garpu dari tangannya dan mencomot buah tomat segar di dalam mangkuk. “Aku saja nggak tahu mau dibawa ke mana.”
“Memangnya Mas Hans bilang apa?”
“Dia hanya bilang, ke vila keluarga.”
“Oh.” Devara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Curang banget gue nggak diajak.”
“Kalau begitu, kamu ikut saja. Biar nanti aku yang bicara ke Opa.”
“Nggak usah. Makasih.” Devara membuka mulut, maka kusuapi dia dengan potongan sayur. “Bercanda, Mbak May. Lagian, calon manten kan nggak boleh pergi jauh.” Dia menempelkan kedua tangan di muka. Berpose menggemaskan.
Yah, tanggal pernikahannya tinggal beberapa saat lagi. Dia memang menjadi lebih cantik. Lebih tepatnya bertambah semakin cantik setiap harinya dengan rajin olah raga dan makan-makanan sehat.
Obrolan kami terputus saat suara klakson mobil terdengar dari halaman, buru-buru aku memastikannya dan benar saja, mobil Pak Johan telah menunggu di sana. “Aku berangkat dulu,” ujarku sambil menyambar ransel dan tas di atas meja. Lalu, kupeluk Devara dari belakang sebagai tanda perpisahan. “Sampai jumpa lagi.”
“Jangan lupa kabarin kalau sudah sampai sana. Hati-hati di jalan!" Devara agak berteriak.
Aku menghampiri mobil Pak Johan dia duduk di bangku kemudi. Aku masuk ke bangku tengah, sementara Opa Josh duduk di depan bersama putranya tersebut.
“Maaf membuatmu menunggu!” ucap Opa Josh.
Aku tersenyum, melirik ke arah Pak Johan yang juga tersenyum lebar. \
“Baiklah. Kita langsung berangkat ya.”
Sepanjang perjalanan itu semua terasa sangat menyenangkan. Seolah aku berada di tempat yang dipenuhi cinta, mereka benar-benar macam keluargaku sendiri. Kami bercerita panjang lebar soal keseharian Kristina di masa remaja, membuatku semakin mengenal mendiang gadis itu. Juga, bagaimana Opa Josh secara bersemangat menceritakan masa kecil Pak Johan. Atau, hobi Opa sendiri yang masa mudanya dipenuhi petualangan.
Opa Josh terdengar seperti seorang pria yang sangat menyukai tantangan, mirip dengan ayahku. Sedangkan Pak Johan, dia mengaku bahwa dirinya lebih banyak waktu di rumah, duduk, membaca buku dan kegiatan-kegiatan serupa. “Saya tidak terlalu suka berada jauh dari rumah. Sesekali, saya suka tapi terlalu sering seolah menarik energi terlalu banyak. Kalau Anda sendiri bagaimana?”
“Hans, tentu saja kakakmu suka berpetualang.” Opa Josh menyela. “Kamu ingat betapa kakakmu ingin naik gunung dulu? Dia merengek tetapi mamimu tidak peduli. Dia melarang Kristina pergi.”
Kulihat ekspresi Pak Johan berubah di sana, semacam ada kepedihan tetapi buru-buru dia ralat. Dia tersenyum kembali saat sang ayah menoleh padanya. “Papi, perjalanan kita masih panjang. Kalau Papi ingin tidur dulu, tidak apa. Nanti Hans bangunkan.”
“Bagaimana mungkin? Papi tidak mengantuk. Papi senang dengan perjalanan ini. Belum tentu kita akan punya waktu seperti ini lagi.”
*_*
Vila itu terletak di perbukitan yang cukup terpencil tetapi sangat nyaman, medannya juga tidak sulit, malah sangat mudah dijangkau. Ada beberapa vila lain di sekitarnya, lengkap dengan pepohonan tinggi yang ada di depannya, membuat suasana makin asri.
Sejujurnya, aku sedikit tidak enak karena Opa Josh terus memaksa Pak Johan untuk mengangkatkan barang-barangku ke dalam.
“Jangan, Pi. Biar aku bawa sendiri.”
“Tidak, Kristina! Jangan memaksa! Biar adikmu saja.”