Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #33

Pak Johan dan Isi Kepalanya

 

Opa Josh suda tertidur setengah jam lalu, kini aku bisa beristirahat kembali. Di dalam kamar yang hampir tak memiliki perkakas tersebut aku kembali berada, terbaring di atas ranjang sambil menikmati kerlip bintang dari jendela kaca besar di salah satu sisi ruangan yang menghadap langsung ke pegunungan, yang meskipun gelap tetapi masih tampak sangat menawan. Cahaya bulan menyinarinya dedaunan dengan sempurna. Alam memang mampu membangun relasi luar biasa antara satu sama lain. Harmoni khas pemandangan malam tanpa jamah tangan-tangan manusia.

Jujur saja, aku tidak tega melihat kondisi Opa Josh. Tidak mungkin selamanya aku akan menjadi Kristina-nya tetapi di sisi lain tak mungkin pula aku menyatakan yang sebenarnya, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Toh, sejak awal aku lah yang menerima peran ini tanpa paksaan dari siapapun.

Kondisi Opa mengingatkanku pada Ibu yang jauh di sana. Sebagaimana yang kapan lalu aku bahas, bagaimanapun juga Ibu adalah perempuan yang telah melahirkanku ke dunia. Ada ikatan abadi di antara kami. Maka, kuputuskan untuk menghubungi Ira saat itu juga. Butuh waktu lama untuk panggilan terhubung, tetapi begitu tersambung layar langsung menampilkan adik bungkuku itu dalam balutan kaos olahraga, keringat memenuhi wajah serta rambut pendeknya.

“Sedang apa, Dik?”

Ira mengusap rambutnya ke belakang supaya lebih rapi. Barusan latihan sama teman-teman. Buat pertandingan voli minggu depan. Mbak sendiri? Lagi di rumah baru Kak Deva ya?”

“Eh?”

“Tuh, latar belakangnya nggak kelihatan kayak kamar Mbak Maya?” Dia menunjukkan botol air mineral ke arah kamera, membuka tutupnya. Katanya, dia habis beli rumah –eh, apartemen baru.”

“Iya. Tapi, ini Mbak lagi keluar sama teman. Liburan.”

“Seru banget tuh,” ujar Ira. “Sama siapa? Kak Deva juga?”

Aku mengambil bantal untuk kupeluk. “Nggak. Deva kan mau nikah, nggak boleh pergi jauh-jauh."

"Dipingit, ceritanya? Jadi, Mbak pergi sama siapa?"

"Dokter Johan.”

“Teman kantor?”

"Bukan. Keluarga pasien. Oh ya, Dik, kondisi Ibu gimana?”

Fahira menenguk air dalam botol, lantas mengusap bekas di bibirnya dengan punggung tangan. “Jangan tanya deh, Mbak.”

“Lha? Kalau nggak tanya kamu, Mbak May harus tanya ke siapa?”

“Tahu deh, Mbak!” Dia menarik napas panjang.Jujur, Ira takut sebenarnya. Takut kalau Ibu ‘lewat’.”

“Maksudmu?”

“Mbak ingat kan Bu Tutun tetangganya Lek Puji? Dia awalnya depresi, lalu berakhir masuk RSJ.”

Lambemu ya, Ra! Kok bisa-bisanya ngomong tentang Ibu begitu?”

“Aku nggak asal ngomong. Mbak Maya sih nggak lihat sendiri. Ibu itu udah kayak orang linglung, Mbak. Besok aja sama Ayah mau dicarikan orang ‘pintar’. Tapi, menurutku nggak bakal ngaruh. Lha ini masalah mental, bukan supranatural.”

“Lho? Bukannya sudah dibawa ke psikolog?”

“Sudah. Tapi, kan nggak mungkin langsung sembuh. Mbak kayak nggak paham saja gimana orang kampung. Rumor soal Ibu menyebar cepat. Sekarang, semua orang di sini sudah tahu kalau Ibu mulai nggak waras. Dan coba Mbak Maya tebak, yang paling kasihan di sini itu siapa? Bapak. Aku malah takut kalau Bapak yang bakal gila.”

*_*

Pernyataan Fahira membuat kepalaku sekarang seperti diputar-putar. Perutku serasa dipilin, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman di sekujur tubuh.

Aku memutuskan turun ke dapur guna mengambil segelas air, akan tetapi begitu menuruni tangga kulihat Pak Johan yang tengah duduk di ruang makan sembari menempelkan ponsel ke telinga.

Lihat selengkapnya