Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #34

Takdir Tuhan

Setelah menimbang semalaman, maka pagi itu sebelum turun dari ranjang kuputuskan untuk menelepon Bapak.

“Pagi, Nduk Ayu.”

Dari layar ponsel kulihat Bapak sudah tampil rapi dengan baju cokelatnya. “Bapak sehat?”

Alhamdulillah. Kowe piye, Nduk?”

“Maya sehat, Pak. Bapak sampun dahar?”

“Wis. Iki mau bundamu masak jangan bayem. Seger, May.”

“Sekarang sedang apa, Pak?”

“Ngulet sega kanggo ibumu. Yen ora lembut, ora arep mangan. Pie ngunu kuwi, May.” Bahkan beliau masih bisa tersenyum lebar. “Awakmu sarapan nggo apa, Cah Ayu?”

Entahlah, aku bahkan belum tahu Pak Johan akan memesan makanan apa hari ini. Namun, untuk menyenangkan Bapak, maka kujawab, “Bubur ayam.”

“Enake!” Bapak kembali tersenyum pada kamera. “Ya wis sik ya, Nduk. Bapak arep ndulang ibumu sik.”

“Pak, Maya boleh ngomong sama Ibu? Sebentar saja.”

Bapak seketika terdiam, tetapi kemudian menggeleng. “Ibumu nggak boleh bicara sama siapa-siapa dulu, May. Nanti dia marah-marah lagi.”

“Sebentar saja, Pak.”

“Tapi yen Kang Mas lan Mbak Yu ….”

“Jangan bilang ke Bunda dan Ayah!” tegasku. “Sebentar saja, Pak. Dua menit. Maya kangen.”

“Tenan lho ya! Dilut wae.”

Bapak membawa ponsel pintar masuk ke kamar Ibu. Meskipun hanya dari layar kamera, tetapi aku bisa menangkap betapa berantakannya ruangan itu. Baju berserakan di mana-mana. Padahal sebelumnya Ibu adalah orang yang selalu menjaga kebersihan .

Bapak menatap ke layar, aku bisa mengangkap gurat kecemasan di mukanya. “Maryam, ini Maya. Anak kita.”

Aku bisa mendegar suara Ibu yang terisak-isak.

“Maya arep ngomong karo sampeyan, Nduk. Iki lho. Masa ora gelem ngomong karo anake?”

“Maya?”

Itu suara Ibu?

Samar dan sangat lemah.

Namun, kemudian layar berganti menampilkan wajahnya. Rambut Ibu tidak dikuncir seperti biasa, melainkan dibiarkan acak-acakan. Terlebih rambut ibu memang pada dasarnya keriting. Itu membuatnya semakin menyayat hatiku.

“Bu?”

“Maya?” Mata Ibu kosong. Ibu nggak mau di sini, May. Ibu mau pergi. Ibu ikut kamu ya, May. Ibu malu. Malu. MAYA! MAY! IBU MALU!”

Aku terjut saat tiba-tiba saja ponsel dibanting dan gelap. Apa yang sebenarnya terjadi?

*_*

Kuletakkan ponsel pintar di atas kasur sambil memijat kening. Kepalaku kembali sakit. Apa yang sudah kulakukan?

Tidak kusangka kondisi Ibu akan separah itu. Emosinya tidak stabil, bahkan sempat kulihat …, benar! Aku tahu bahwa selama ini Ibu memang sering marah-marah, hanya saja tak kusangka akan seperti ini. Sangat lain jika dibandingkan dengan amukan Ibu sebelum-sebelumnya.

Kalau saja rumahku hanya satu atau dua jam, maka sudah pasti aku akan pulang. Membawanya pindah ke sini untuk menenangkan diri. Ya, sepertinya aku harus bilang kepada Bunda untuk membawa Ibu pindah.

Namun, belum sempat tanganku meraih kembali ponsel di atas meja, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk. Suara Opa Josh terdengar dari balik pintu. Sangat lembut dan penuh kehati-hatian, seolah dia mengira bahwa aku masih terlelap dan akan kaget karenanya.

“Kristina. Kristina. Bangun, Nak.”

Karena tidak memungkinkan, akhirnya kuputuskan untuk menunda rencana. Kupindahkan ponsel ke meja samping ranjang sebelum menemui Opa Josh. Pria tua itu kini berdiri di depan kamarku dengan pakaian yang telah rapi serta wangi. Rambut putihnya juga sudah disisir rapi.

“Kamu sudah bangun?” tanyanya begitu pintu terbuka.

“Ada apa, Papi?”

“Sarapan sudah siap, turun dulu!” katanya sambil menggandeng tanganku.

Mau tak mau, aku harus kembali mengambil peran sebagai Kristina. Peran yang entah sampai kapan akan kujalani. Kuharap Opa Josh dan ibuku bisa terlepas dari penderitaan mereka. Ya, kini tiap kali aku melihat Opa Josh, bayang-bayang Ibu selalu turut serta.

“Hari ini ada ayam pedas manis kesukaanmu,” ujar Opa Josh sambil kutuntun menuruni tangga. “Rasanya dijamin enak karena Bi Asri sendiri yang masak.”

Bi Asri?

Lihat selengkapnya