Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #35

Doa dan Air Mata

Meskipun masih dilanda kepedihan, aku sudah bisa sedikit merasa lega setelah keluar dari gereja. Bukan hanya mereka yang berdoa, melainkan aku juga.

Lalu, siapa yang bilang bahwa bersama mereka yang berbeda agama akan melunturkan iman? Tidak! Sama sekali tidak! Malah sebaliknya, aku merasa butuh kembali pada sang Pencipta lewat iman berdasarkan keyakinanku sendiri.

Karena memang tidak membawa kendaraan, alhasil kami harus pulang dengan berjalan kaki. Tak masalah karena aksesnya cukup mudah, dekat dan indah. Udara di sini masih sangat segar dan cocok untuk memberi kenikmatan pada paru-paru.

“Bagaimana, Kristina?” seru Opa Josh.

Aku menoleh. “Bagaimana apanya?”

“Kamu senang hari ini?” tanyanya lebih tepat disebut tebakan. “Bagaimana kalau kita tinggal lebih lama di sini? Kata kamu dulu kan mau tinggal di sini. Pindah ke sini. Karena jujur saja, Papi lebih senang di sini ketimbang di Panti. Bukannya Papi tidak bahagia di sana, hanya saja di sini tempat kita, bukan?”

Aku bergeming. Bingung. Kulihat Pak Johan juga sama, pria itu berdiri di belakang kami untuk beberapa detik tanpa reaksi apa pun sebelum akhirnya menyusul.

“Papi, tidak bisa begitu!” katanya.

“Kenapa tidak, Hans?”

“Karena kita punya kontrak kerja. Bukankah begitu, Kak?”

Kujawab dengan anggukan cepat. “Benar, Pi. Lagian, sebentar lagi pemilu. Kita harus balik ke Jakarta untuk mencoblos. Papi ingat, kan?”

“Kalian tidak seru!” Opa Josh cemberut. Dia melepaskan tangannya dari lenganku, lalu berjalan tertatih menggunakan tongkat yang memang dibawanya sejak tadi.

Aku dan Pak Johan hanya bisa saling pandang sebelum akhirnya, Pak Johan menyusul. Dari tempatku berada, apa yang terjadi pada mereka mengingatkanku pada Ibu. Lagi, lagi dan lagi. Apakah memang sebaiknya aku bawa ibuku tinggal bersama? Sebagaimana Pak Johan yang melakukan segala hal untuk ayahnya, bukankah aku harus menolong ibuku juga?

“Kenapa Anda mau menuruti keinginan Opa Josh?” Adalah pertanyaan yang semalam sempat kutanyakan pada Pak Johan saat kami duduk bersama di halaman. “Maksud saya, soal sandiwara’tentang Kristina. Padahal bisa saja Anda menjelaskan kepada Opa dan membawanya ke rumah sakit jiwa atau semacamnya.”

Pak Johan hanya tersenyum saat itu, sambil sesekali menatap langit. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya beliau menjawab, “Apakah saya cukup tega membiarkan Papi jatuh dalam depresi? Tentu saja sudah melakukan segala cara termasuk membawanya ke psikiater tetapi hasilnya tidak instan, tentu saja. Anda pasti paham, sebagai dokter Anda harus percaya pada ilmu medis dan mengupayakannya tetapi sebagai seorang anak …, selalu ada dorongan untuk …, Anda tahu …, ini semacam perasaan ….”

“Tidak tega?”

Pak Johan mengangguk. “Saya tidak tahu sampai kapan harus menutupi kenyataan dari Papi. Tetapi yang pasti, saya tidak bisa memaksa Anda bersandiwara seumur hidup, bukan?” Meskipun sambil tertawa tetapi aku tahu pasti jika Pak Johan sedang menyembunyikan kepedihan. Tawanya palsu. Sekadar formalitas belaka. “Yang pasti, selama masih belum ada cara yang lebih baik untuk menolong Papi maka saya akan bertahan. Tetapi tentu kalau Anda masih mau membantu saya melakukannya.”

Tidak terasa bibirku terangkat dengan sendirinya saat mengingat ucapan terakhirnya. Bersamaan dengan itu, kutoleh Pak Johan yang ternyata sedang menemani ayahnya duduk di bawah pohon rindang di kejauhan. Keduanya melambaikan tangan padaku, yang kemudian kubalas lengkap dengan senyuman lebar.

*_*

Sebenarnya aku cukup menikmati liburan kali ini, hanya kami harus segera kembali ke Jakarta untuk mengikuti pesta demokrasi. Aku sendiri sudah mengurus seluruh dokumen pemindahan lokasi pemilihan sejak jauh-jauh hari, lebih tepatnya Ayah lah yang membantuku mengurus semuanya. Sungguh tidak pernah kubayangkan akan begini, karena biasanya sejauh apa pun aku pergi, setiap kali hendak menyumbangkan suara maka aku akan pulang, berkumpul dan menikmati hari libur yang singkat bersama seluruh anggota keluarga. Hanya saja, sejak hari itu aku hampir tak paham apakah kata kampung halaman kini berubah jadi neraka kecil bagiku?

Kalau saja aku tidak sedang berada di dalam mobil yang melaju lancar di dalam tol sekarang, mungkin saja aku akan mengemasi koper dan buru-buru memesan tiket kereta, itupun kalau masih ada, guna menjemput Ibu dan membawanya ke Jakarta. Semalaman tadi aku memikirkan semuanya, menghitung berapa uang yang kupunya untuk mengangkutnya dan membuatku sadar bahwa keuanganku tidak sebaik yang kukira. Aku berbelanja terlalu banyak selama ini. Dan jika aku mengeluarkan beberapa barang tidak berguna barangkali akan cukup untuk menyewakan tempat tinggal baru bagi Ibu. Karena dengan kondisiku yang masih menggunakan fasilitas kantor, asrama entu bukan tempat yang cocok untuk ibuku. Terlebih karakternya yang keras kepala …, aku tahu dan sudah sangat mengenal ibuku …, itulah kenapa aku tidak mau orang lain tak nyaman bersamanya.

“Ya. Nanti gue bakal minta Hasyim bantu carikan,” kata Devara saat kami mengobrol via panggilan video semalam. “Dia biasanya kenal tuh orang-orang yang nyewain apartemen murah. Tapi masalahnya, memang lo yakin bakal bawa Nyokap ke sini?”

Sejujurnya, aku tidak sepenuhnya yakin. Itulah kenapa aku tidak langsung menjawab dan hanya menatap kamera ponsel dengan penuh kebimbangan. “Ya mau gimana lagi? Aku nggak mau Ibu kenapa-kenapa.”

“Terus, lo sendiri?” Dia mendekatkan wajahnya ke kamera hingga layar ponselku penuh oleh gambar wajahnya. Bahkan aku bisa melihat pori-porinya dengan jelas di sana.

Kutunjuk diriku sendiri, bingung. “Aku? Aku kenapa?”

Lihat selengkapnya