Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #38

Manusia Biasa

 

Johan :

Saya sudah di bawah.

Boleh tolong keluar sebentar?

Pak Martin tidak bisa masuk.

 

Adalah pesan yang dikirimkan Pak Johan setengah jam lalu. Masih dengan handuk di kepala aku yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek segera berlari turun sembari mengirimkan panggilan padanya. Apa yang sudah kulakukan? Sepertinya aku telalu lama berada di kamar mandi dan lupa kalau Pak Martin sedang pulang dan baru akan kembali nanti sore.

Tepat ketika aku menginjak anak tangga paling dasar, panggilan tersambung. Kudengar suara klakson kendaraan dari balik telepon, bersamaan dengan suara sapaan khas dari Pak Johan. Dokter Maya di mana?”

“Aduh! Maaf, Dok! Saya tadi nggak dengar ada panggilan.” Aku meraih gagang pintu depan dan menariknya. “Anda sendiri di mana sekarang? Sudah pulang atau –”

Astaga!

Mataku membulat saat mendapati Pak Johan masih berdiri di balik gerbang, sambil melambaikan tangan ke arahku. Ya Tuhan. Aku pun berlari menghampiri dan mempersilakannya masuk. Kasihan sekali. Dia pasti kepanasan.

“Dokter Johan, saya benar-benar minta maaf!” ucapku penuh penyesalan. Serius. Kalau saja aku tahu. Terlebih siang itu dia tidak membawa mobil melainkan sepeda motor. “Taruh sini dulu, Dok." Aku menyeret kursi kayu di sudut parkiran supaya motor Viction merah Pak Johan dapat tempat. “Saya buatkan minum dulu ya? Tunggu sebentar!”

Ya, tentu. Ini hanya ada kami berdua. Aku tidak mungkin membiarkannya masuk ke asrama karena akan menimbulkan fitnah. Terserah jika ini dianggap kuno tetapi asramaku punya CCTV, kalau Devara melihatku berdua dengan Pak Johan maka mulutnya akan ember dan menyebarkan gosip yang tidak-tidak.

Setelah menyajikan segelas es jeruk dan kue kering ke depan, aku pun izin naik kembali untuk berganti pakaian. Dan entah karena efek panik atau bagaimana, aku jadi bingung hendak memakai baju apa. Maksudku, ini adalah kali pertama aku …, meskipun tidak bisa disebut pertama juga …, Pak Johan …, dia membuatku merasa bersalah.

Kuambil kaos lengan panjang berwarna abu-abu dari dalam lemari, lalu memoles wajah menggunakan bedak tipis-tipis. Tanpa gincu, aku hanya memakai pelembab bibir berwarna netral. Sudah tidak ada waktu. Kuraih ponsel dan tas jinjing kecil di atas meja, lalu berlari keluar.

“Mau langsung pergi?” tanya Pak Johan begitu aku sampai di teras asrama.

Aku terdiam sejenak, menatapnya yang penuh keringat lalu menjawab, “Terserah Dokter saja. Kalau masih lelah, istirahat dulu.”

Pak Johan meminum air dalam gelas kemudian menggeleng. “Nggak usah. Saya sudah nggak apa-apa. Ayo!” Dia berdiri dan meraih kunci di atas meja tetapi sebelum berjalan ke arah parkiran dia terlebih dulu berbalik menatapku. “Anda tidak keberatan kan kita naik motor?”

“Eh?”

“Mobil saya mogok,” jelasnya. “Jadi, kalau Anda keberapan kita bisa pesan taksi daring atau –”

“Nggak masalah!” tegasku. “Saya juga sudah biasa naik motor.”

Pak Johan tersenyum, menampilkan lesung di kedua pipinya. “Baiklah. Kalau begitu silakan dipakai helmnya.” Dia menyodorkan helm berwarna hitam yang sejak tadi ada di jok belakang motornya kepadaku. Yang tentu saja aku terima dengan senang hati. Untungnya, rambutku sudah dikeringkan. Kalau tidak, entah bakal seperti apa baunya nanti.

Lagipula, naik motor membuat kami bisa lebih mudah mengambil jalan. Bahkan untuk menghindari kemacetan, Pak Johan punya jalan alternatif di mana kami harus melewati perkampungan padat penduduk.

“Penah lewat sini?” tanyanya di sepanjang jalan.

Lihat selengkapnya