Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #39

Mungkinkah Ini Kencan?

Sudah lama aku tidak makan makanan Jepang karena jujur saja aku tidak terlalu suka dengan makanan mentah. Itulah kenapa aku menjatuhkan pilihan pada semangkuk ramen saja, sedangkan Pak Johan membeli cukup banyak makanan siang itu, terutama shushi. Beliau tampaknya maniak shushi atau sejenisnya. Tidak! Tidak! Aku tidak bermaksud menghina tetapi begitulah beliau mengisi meja kami dengan aneka macam shushi tanpa kecuali.

“Ini nanti habis?” tanyaku.

Beliau menjawab dengan anggukan kecil. “Saya belum makan sama sekali sejak pagi.”

“Heh? Kenapa?”

“Tidak sempat,” jawabnya sambil menyumpit gulungan nasi tuna segar. “Saya harus memandikan dan menyuapi Papi. Beliau hari ini kan ada acara, jadi harus paling tidak ‘sempurna’. Beliau sangat bersemangat. Alhasil, saya nggak sempat makan.”

“Ya ampun.” Entah mengapa bukannya kasihan aku malah tertawa.

Namun, sedetik kemudian aku mendadak merasa bersalah. Karena jika begitu itu artinya aku telah membiarkannya menunggu selama setengah jam dalam kondisi kelaparan.

“Eh, Dok –”

Kami sama-sama terdiam setelah dengan tidak sengaja mengatakan hal yang sama. Hanya saja, kami kemudian merasa kikuk, atau setidaknya begitulah perasaanku.

“Anda duluan,” ujar Pak Johan mencoba memecah keheningan.

Aku menggeleng. “Anda saja dulu. Saya lupa mau ngomong apa.” Ini serius, aku tidak bohong apalagi berpura-pura.

“Baiklah!” Pak Johan meletakkan sumpit makannya dan menatapku. “Soal kemarin, sebenarnya Dokter Maya mau ngomong apa?”

Oh iya! Astaga!

Bagaimana mungkin aku lupa? Bukankah seharusnya aku memintanya bertemu untuk mengembalikan ponsel? Lalu, kenapa aku malah meninggalkannya di kamar? Ini pasti gara-gara kepanikanku tadi pagi. Aku terlalu terburu-buru sampai tidak sempat mengambilnya padahal sudah kupersiapkan di atas meja di kamarku.

“Jangan bilang kalau Anda mau mengembalikan ponsel dari saya,” tebaknya.

Sialan!

Entah bagaimana aku menjadi sangat malu sekarang. Pipiku pasti memerah sekarang. Tidak enak. Lagian bagaimana mungkin Pak Johan bisa tahu?

“Saya tidak bisa meneriamnya kembali. Itu hak Anda. Kalau Anda tolak, maka saya akan marah,” lanjutnya setengah bercanda. Lalu, mengambil kembali sumpit untuknya makan. Hanya saja, sebelum memilih makanan untuk dimasukkan ke dalam mulut, Pak Johan tersenyum lebar padaku. “Anda tidak usah sungkan, Dok. Anggap saja saya sebagai saudara lelaki Anda. Bukankah kita telah menjadi saudara? Kristina?”

“Ya ampun!” Mau tak mau aku ikut tertawa. Menertawai hal-hal konyol yang sudah kami lewati. Opa Josh bukan hanya datang membawa suasana baru di panti tetapi juga membuatku mendadak punya kakak laki-laki. “Makasih, Dok.”

“Sama-sama,” jawabnya. “Oh iya, soal tadi …, Anda cari apartemen baru bukan karena mau pindah kerja, kan?”

“Nggak kok!”

“Terus?”

Aku berhenti mengaduk isi mangkukku. “Ibu saya mau nyusul ke Jakarta.”

“Yang kemarin ke sini itu?”

“Bukan. Kalau itu Bunda. Yang mau datang ini ibu kandung saya.”

“Oh. Lalu, kenapa nggak tetap tinggal di asrama. Kan boleh bawa keluarga?”

“Gimana ya ngomongnya?” gumamku. “Ibu saya orangnya agak ribet.”

“Eh?” Kening Pak Johan mengerut. Heran. “Ribet, gimana? Suka marah-marah? Atau, gimana?”

“Jujur, saya berani cerita ini ke Dokter karena …, saya rasa punya pengalaman yang sama. Eh, jadi, sebenarnya akhir-akhir ini Ibu berubah jadi lebih emosional.” Aku mencoba menjelaskan dengan hati-hati, sedangkan Pak Johan mendengarkan ceritaku dengan penuh penghayatan. “Bahkan Ibu sempat dibawa ke psikiater.”

“Apa katanya?”

“Beliau agak depresi karena ada lah masalah keluarga.”

“Setiap keluarga pasti punya masalah, Dokter Maya. Tidak ada keluarga yang sempurna. Hanya di negeri dongeng orang hidup tanpa masalah. Bahkan di dunia dongeng pun masalah tetap ada.”

Pak Johan benar.

Manusia dan masalah memang tidak terpisahkan. Bahkan masalah adalah garis takdir yang harus dilewati untuk menjadikan kita manusia yang sesungguhnya.

“Kalau Anda mau, saya bisa lho bantu Anda cerikan tempat tinggal.”

Lihat selengkapnya