Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #42

Tuduhan Jatuh Cinta

Jujur aku tidak tahu apakah benar-benar siap menerima kedatangan Ibu untuk bergabung dengan kehidupanku sekarang. Setelah bertahun-tahun kami terpisah dan hidup dengan interaksi yang minim, kini akhirnya aku harus benar-benar tinggal berdua, seatap dengan ibuku tanpa orang lain. Itulah kenapa aku seolah mengulur waktu. Alih-alih bergegas menemukan apartemen baru, aku justru menikmati proses pencariannya dan berharap tidak segera mendapatkan apa yang aku cari. Malah, selama berhari-hari aku dan Pak Johan …, ada perasaan gembira ketika jalan dengannya. Menikmati kota yang padat merayap, di bawah langit malam yang dingin. Apakah aku menyukainya? Tentu, dia seperti kakak lelaki yang belum pernah aku punya sebelumnya. Selama ini aku selalu menjadi kakak tertua dalam hubungan. Aku seorang kakak. Aku merasa harus selalu kuat tapi Pak Johan tidak memandangku begitu. Aku memang Kristina di mata ayahnya, kakak perempuan Pak Johan tapi bagaimanapun juga beliau lebih tua dariku.

Kadang kala kami tidak benar-benar mencari, malah di beberapa kesempatan kami nonton bioskop, makan-makanan Jepang, atau sekadar duduk-duduk di taman sambil makan camilan. Aku tahu ini salah, setidaknya karena ini membuat kondisi ibuku makin uring-uringan, hanya saja aku mencoba menikmati masa-masa ini sebelum mungkin nantinya tidak akan bisa lagi. Tentu, kalau ada Ibu pergerakanku tidak bebas.

Aku masih ingat betul bahwa hampir tujuh belas tahun pertama hidupku seperti dipenjara. Memang, Ibu tidak pernah berbuat kasar apalagi memukuliku hanya saja beliau sama sekali melarangku keluar rumah kecuali untuk sekolah dan les. Bahkan untuk ikut program ekstrakurikuler saja tidak boleh. Aku melewatkan banyak kesempatan ada di masa belia. Itulah kenapa begitu kuliah dan pisah dari orang tua aku merasa terbebas. Lepas. Dan, ketika sekarang aku berkemungkinan kembali bersama Ibu …, rasanya sulit diterima. Bukan! Bukannya aku membenci ibu kandungku sendiri! Malah, aku begitu mencintainya. Karena kalau aku tega, mana mungkin aku mau bersusah payah mencarikannya tempat tinggal yang nyaman? Terlebih aku jauh, jadi bisa saja kalau aku mau lepas tangan.

Namun, sayang sekali hari ini aku tidak bisa pergi bersama Pak Johan sebab ada janji untuk datang ke rumah Umi. Beliau sampai ke rumah sore tadi, sekitar pukul setengah lima, itulah kenapa begitu pulang dari panti, aku dan Devara langsung bersiap-siap ke sana. Berboncengan naik motor lengkap dengan gamis dan beberapa tas berisi souvenir –yang dipesan Umi sebagai tambahan untuk para tamu.

“Kalau bukan karena mertua, nggak mungkin gue mau melakukan semua ini!” Devara yang duduk di jok belakang sedikit berteriak supaya aku bisa mendengar suaranya.

Di tengah mengendalikan laju sepeda motor aku menjawab, “Nggak apa-apa. Sekalian latihan jadi menantu salehah. Kan nanti kalau lo nikah sama Hasyim, kemungkinan besar nama lo bakal sering muncul di media. Menantu dari ustaz dan ustazah kondang.”

“Beban banget nggak sih, Mbak May, kalau begitu?” ungkapnya. “Tapi, alhamdulillahnya, Umi sama Abi nggak pernah maksa gue sama Hasyim buat mengikuti langkah mereka. Kayaknya, Umi dan Abi tahu kalau anak dan menantunya nggak cocok jadi pemuka agama. Lagian, ilmu kami juga jauh banget kalau dibandingkan sama mereka.”

Itulah hebatnya Ustaz Ali dan Umi Sarah, mereka tidak pernah menghakimi siapapun. Padahal kalau dipikir-pikir, Devara dengan segala latar belakangnya, jika disandingkan dengan keluarga Hasyi memanglah sangat jomplang. Akan tetapi, satu yang pasti, Devara telah berubah tanpa dirinya sendiri menyadari. Meskipun sangat perlahan dan lambat. Tapi seenggaknya, dia sudah mau lagi percaya pada Tuhan. Dia sudah mau salat dan memaafkan kedua orang tuanya, meskipun kadang masih sering menghardik. Bukannya di sini aku berlagak sok suci tapi memang begitulah adanya. Aku pun juga belum begitu sempurna, tapi banyak yang bisa dipelajari dari pasangan pemuka agama tersebut.

Meskipun di masyarakat banyak pula yang menghujat pilihan Umi Sarah dan Ustaz Ali dengan ucapan-ucapan menyakitkan, tuduhan-tuduhan tidak berdasar bahkan mengatai mereka sesat. Tapi, bukankah hanya Tuhan yang bisa menilai keimanan seseorang?

*_*

Ketika kami sampai di kediaman Ustaz Ali telah ramai oleh jemaah yang datang untuk bertemu. Tenda besar terpasang di halaman. Buru-buru aku dan Devara masuk melalui pintu belakang untuk meletakkan souvenir ke kamar belakang –yang mana di sana telah ada bibi dari Hasyim.

“Taruh sini saja, Nak!” Wanita bercadar itu menunjuk pojok ruangan. “Habis ini langsung ketemu Umi ya. Beliau ada di depan.”

“Baik, Bi!”

Karena tidak enak menyelonong ke depan dengan tangan kosong, Devara mengajakku mengambil nampan berisi kue-kue basah untuk dibawa ke ruang tamu, tempat Umi Sarah bersama para ibu-ibu berkumpul. Dan benar saja, suasana di sana sangat ramai. Orang-orang rela datang jauh-jauh hanya untuk bertemu dengan Umi. Dan pemandangan seperti ini tidak sekali dua kali tetapi hampir setiap hari terjadi. Terlebih karena memang keduanya menjadi pengurus pondok pesantren yang cukup terkenal. Bahkan di sana juga ada guru dan siswa dari lembaga milik keluarga mereka yang datang untuk sekadar bertemu Umi, dan ada juga beberapa yang sengaja kemari guna membantu kelancaran acara.

“Silakan dimakan, Ibu-ibu!” Devara meletakkan nampan ke atas karpet.

“Eh, Cantik-cantikku!” ujar Umi saat menyadari kedatangan kami. Beliau langsung mengulurkan tangan, yang tentu saja kami sambut dengan senang hati. “Masyaallah. Ini calon menantu saya, Bu. Mbak Devara Almira. Kalau yang ini sahabatnya. Mbak Maya.” Dengan bangga beliau memperkenalkan kami berdua.

Para jemaah mengangguk-anggukkan kepala, saling tatap dan tersenyum satu sama lain. Entah apa yang mereka pikirkan tapi dari tatapannya, aku tahu bahwa semua berjalan baik. Tentu semua ini karena Umi. Beliau sangat membanggakan Devara tidak peduli seburuk apapun pemberitaan tentangnya di media. Bahkan pada awal hubungannya dengan Hasyim, Devara seringkali mendapat serangan dari remaja-remaja yang mengidolakan Hasyim. Mereka mengatakan bahwa Devara tidak cukup baik dan tak akan pernah diterima oleh keluarga pemuka agama ini. Akan tetapi, lihat sekarang!

Sebenarnya, aku juga pernah merasakan apa yang Devara alami. Keluarga Ilham sangat mencintaiku, membanggakanku bahkan menganggapku anaknya sendiri. Namun, saat aku berpikir bahwa kehidupanku selalu beruntung, saat itulah Tuhan menghancurkan segalanya. Mungkin ini memang salahku sebab terlalu percaya diri. Bukankah hidup tidak lalu berjalan sebagaimana yang kita inginkan? Seperti yang selalu dikatakan oleh Umi Sara dalam ceramahnya, “Setiap manusia akan mengalami duka supaya diperkenalkan dengan bahagia yang sebenarnya. Karena kalau selalu beruntung, bisa-bisa kita lupa akan nilai kenikmatan yang Allah berikan.”

Sementara Devara menemani Umi di dalam, aku bersama Fatimah duduk di depan untuk membagikan souvenir kepada para tamu perempuan yang hendak pulang. Semua tanpa terkecuali mendapatkan bagian. Karena memang, tamu pria dan wanita di pisah di sini.

“Terima kasih sudah datang, Bu.” Fatimah yang cantik memberikan tas cokelat kepada seorang wanita paruh baya lengkap dengan senyuman lebar, menampakkan lesung pipi di kedua pipinya. Dia sangat manis dan mirip dengan sang Ibu.

“Sama-sama, Fatimah.”

Meskipun dibesarkan sebagai anak pemuka agama, Fatima tetap sama saja dengan remaja pada umumnya. Dia seumuran Fahira, dipenuhi semangat dan sangat suka makanan manis. “Mbak Maya mau kue?”

“Nggak. Makasih. Masih kenyang.”

Lihat selengkapnya