Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #44

Aib

Yang lebih tidak bisa diterima dari semua ini adalah kenyataan bahwa Devara sudah tahu segalanya sejak awal dan dia sama sekali tidak menjelaskan apa-apa padaku.

“Lo saja nggak pernah tanya.” Itulah kata-kata pamungkas yang dia berikan saat aku mencecarnya malam sepulang kami dari rumah Abi. “Gue kira lo sudah tahu,” lanjutnya sebelum meringkuk ke atas kasur.

Dengan sebal aku menarik guling dari pelukannya. “Terus, kamu pikir aku akan tahu dari mana kalau bukan darimu? Kamu kan satu-satunya sahabatku.”

“Cih! Kesiniin gulingnya!” Devara yang tidak terima berupaya merebut tetapi buru-buru kuangkat setinggi mungkin supaya tak bisa dijangkau. “Mbak Maya! Jangan begini!”

“Nggak akan aku biarkan kamu tidur dengan nyeyak begitu saja!” ancamku. “Bisa-bisanya kamu, Dev. Asal kamu tahu ya, aku malu banget tadi.”

Bukannya merasa bersalah, Devara justru nyengir. “Ngapain juga lo pakai acara malu segala, Mbak May? Kan lo nggak salah apa-apa. Nggak tahu mah wajar. Lagian, lo kan sudah jalan berhari-hari sama Mas Hans. Masa iya lo nggak tahu siapa emaknya? Gue pikir lo sudah jadi bagian dari keluarganya Opa Josh.”

“Nggak usah ngeledek!” Dari cara bicaranya jelas dia sedang menggodaku. Maka, buru-buru kutimpuk badannya dengan guling dengan cukup keras tapi Devara malah makin kencang tertawa. “Ya kan gue kenalnya sama keluarga bokapnya doang. Ya siapa juga yang menduga kalau Umi Sara itu mantan istrinya Papi Josh.”

“Memang iya sih!” Devara bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk dengan kaki –tertutup selimut –lurus ke depan. “Gue juga awalnya sempat nggak percaya. Secara mana mungkin Umi Sara yang seorang ustazah,” dia menjeda kalimatnya, “terlebih Pak Joshua kan religius banget. Dia rajin ke gereja, ke mana-mana bawa alkitab. Nggak masuk gitu di nalar dan pikiran gue yang serba kekurangan ini. Sementara di sisi lain, Umi sekarang jadi pemuka agama. Ya meskipun karena menikah sama Abi sih.” Devara menoleh padaku. “Hidup memang unik.”

“Tapi, bukannya keluarganya Umi itu muslim juga ya?” tanyaku penasaran. “Kan dulu lo pernah cerita kalau neneknya Hasyim dan Fatima, yang merupakan eyang putrinya dari pihak Umi sempat ikut naik haji.”

“Kalau itu sih gue kurang paham juga. Entah mereka ikut keyakinan Umi setelah menikahi Abi atau gimana …. Hasyim juga nggak pernah cerita sih. Sudah, ah! Sudah malam! Ngantuk!” Devara berhasil merenggut selimut dari tanganku, yang segera dia peluk untuk dibawa ke dunia mimpi.

Sementara aku kembali mengingat kejadian tadi sore. Terekam jelas kesedihan yang sama besarnya di mata Umi ketika mendengar nama mendiang putrinya disebut. Bagaimanapun juga anak tetaplah anak. Selama apapun dia pergi, tidak akan mudah bagi orang tua untuk mengikhlaskannya.

“Pak Joshua sangat menyayangi anaknya.” Abi mengatakannya dengan suara serak tepat setelah Pak Johan menjelaskan semuanya kepada mereka, termasuk bagaimana Opa Josh menganggapku sebagai Kristina. “Terima kasih ya, Mbak Maya, sudah mau membantu keluarga kami.”

“Jadi, Umi sama Abi nggak keberatan kalau saya membawa nama mendiang Kristina?”

Umi Sara mengangguk sembari sesekali menyeka air mata di wajahnya. “Joshua juga orang tua Kristina. Sama seperti Umi, dia juga punya hak untuk mencintai anaknya. Umi sama sekali tidak menyalahkan kamu. Justru Umi senang kalau kehadiran kamu sebagai Kristina bisa membuat kondisinya baik. Alhamdulillah. Umi juga yakin kalau kedatangan kamu dalam hidup Joshua juga atas izin Allah, Nak.”

*_*

Opa Josh dan Umi Sara.

Sejak saat itu setiap kali bertemu dengan Opa Josh, aku tidak bisa berhenti membayangkan wajah Umi. Kalau dipikir-pikir, sudah berkali-kali aku menyaksikan foto keluarga mereka di dalam album foto yang pria itu simpan di kamar tidurnya. Akan tetapi, tidak satupun dari potret itu menampilkan Umi sebagai sebuah figure yang utuh. Ada coretan besar di sana, entah dengan spidol atau malah robekan kasar. Dan, Opa juga nyaris tidak pernah membicarakan apapun soal mantan istrinya.

“Kristina?” Konsentrasiku pecah saat Opa Josh tiba-tiba menyentuh pundakku. Beliau tersenyum sambil menyodorkan sepiring kue cokelat yang masih hangat. “Mau? Ini enak lho, Sayang. Baru matang.”

Aku yang terkejut segera menerimanya. “Papi dapat dari mana? Papi bikin kue?”

Namun, Opa Josh menggeleng. “Dikasih Lita dan Nur. Baru saja mereka pergi,” jelasnya. “Kamu makan dulu ya. Mumpung masih panas. Kamu kan suka makanan yang ada cokelatnya. Biar Papi suapi ya?” Tanpa menunggu jawaban, Opa Josh mengambil sepotong lalu mencuilnya sedikit, setelah memastikan aman dia menyuapkannya padaku. “Ayo! Dibuka mulutnya.”

Ragu-ragu aku menerimanya.

“Enak?” tanya Opa Josh.

Aku mengunyah kue dengan nikmat, mencoba mengecap setiap rasa pahitnya cokelat. “Enak sekali.”

“Papi mau coba juga!” katanya sebelum akhirnya ikut mencicipi.

Baru kusadari bahwa Opa Josh benar-benar versi tua dari Pak Johan. Maksudku, mereka salinan yang cukup sempurna begitupun Umi Sara dan Kristina. Kenapa aku tidak menyadari garis-garis yang sama di antara mereka? Pantas saja saat pertama kali melihat foto Kristina, aku seperti pernah melihatnya. Tidak asing. Ternyata orang yang dimaksud amat dekat denganku.

“Selamat malam!”

Lihat selengkapnya