Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #46

Pulang dan Keraguan

Apa yang sebenarnya kutakutkan dari bertemu dengan Ilham

Mungkinkah karena sosoknya? Akan tetapi, bukankah dia tetap orang yang sama dengan yang sebelumnya?

Mungkinkah karena kenangan? Akan tetapi, bukankah semua kenangan itu memang sengaja kuciptakan sendiri? Bukankah dalam mengambil langkah setiap manusia harus merelakan bila kenangan tak mungkin diulang?

Dan, kini kusadari bahwa satu-satunya yang memberatkanku adalah ekspektasiku sendiri. Di mana aku terlalu mencitrakan dia dalam bayangan dan melupakan bahwa dia manusia yang bisa memilih, mengambil langkah serta mandiri sebagai individu. Meski begitu tak seharusnya dia mengkhianati rasa percayaku. Sudah kuberikan semua kepadanya secara cuma-cuma, tapi beginilah caranya mencampakan aku? Sungguh kalau boleh memilih, kalau boleh membayangkan, selama ini di dalam kepalaku yang selalu ingin kulakukan adalah menampar, memukul atau bahkan memaki-makinta tapi ternyata, begitu Ilham ada di depan mataku, aku gagal. Aku tidak bisa melakukan semua itu. Malah, aku hanya bisa terdiam menatapnya tanpa sepatah kata pun.

Ilham yang berdiri di pinggir sumur lengkap dengan kaos merah dan sarung abu-abunya pun juga bergeming. Padahal sangat dekat tapi baik aku maupun Ilham melihat jarak yang amat jauh di antara posisi kami. Aku tahu dia juga berpikir seperti itu karena …, dengar! Aku mengenalnya bukan satu atau dua tahun saja –meskipun dia benar-benar menipuku dengan luar biasa –tapi aku paham hampir setiap hal darinya. Tatapannya. Gerak-geriknya.

Namun, bukan hanya tidak menangis tetapi aku juga berhasil menahan diri untuk mengabaikannya. Kupalingkan pandanganku ke arah lain tepat sebelum dia memanggil namaku sebab aku yakin apabila mendengarnya sekali lagi, sudah pasti kesabaranku akan luruh. Kuputuskan untuk membuka pintu dapur yang terbuat dari kayu dan cukup berat dengan sedikit dorongan, membuat Bunda dan Ayah yang ternyata sedang duduk di depan tungku seketika menoleh.

“Lho? May?” Ayah hampir saja menumpahkan segelas kopi di tangannya karena berdiri terlalu mendadak. “Kok kamu ada di sini?”

Bunda menambahkan, “Kamu pulang ke sini sama siapa?”

“Sendirian,” jawabku. Lalu, kujatuhkan tas di tangan ke atas lantai berbahan semen sebelum akhirnya menyalami kedua orang tuaku tersebut. “Bunda sama Ayah sehat, kan?”

Ayah mengangguk. “Ayah yang harusnya tanya, kamu nggak kenapa-kenapa kan?”

“Kamu sakit?” Bunda menyentuh keningku.

Segera aku menjawab dengan gelengan tegas. “Alhamdulillah Maya sangat sehat. Memangnya Ayah sama Bunda nggak senang anaknya pulang?”

“Ya senang dong, May. Cuma kan kami,” Bunda menjeda kalimatnya dan menggiringku duduk di atas lincak yang berada di dekat jendela dapur yang kemudian dibuka lebar supaya udara pagi bisa masuk. “Kerjaanmu nggak kenapa-kenapa kan?”

Sebelum menjawab, aku memutuskan untuk menoleh ke arah sumur tetapi kali itu sudah tak ada siapa-siapa. Ilham telah pergi.

“May?” Bunda mengguncang bahuku. “Kamu –”

“MAYA!” Suara teriakan Ibu dari dalam rumah utama seketika membuat kami terkejut. Beberapa detik kemudian, beliau muncul dengan napas terengah-engah. “AYO, MAY!” katanya.

Lihat selengkapnya