Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #49

Zahra dan Hati Kecilnya

Fahira dan Bapak sudah ada di meja makan lengkap dengan seragam sekolahnya –Bapak dengan setelan batik birunya sementara Fahira mengenakan seragam pramuka lengkap dengan hasduk melingkar di leher. Keduanya tengah menikmati nasi goreng dan telur.

“Kok sudah makan duluan?” Aku menggeser kursi kayu tepat di sebelah Ira untuk kududuki. “Nggak pakai ayam, Nduk?” lanjutku sambil membalik piring makan yang telah ada di atas meja dan mengelapnya.

Fahira menggeleng dengan mulut penuh nasi. “Ini saja cukup. Sudah terlalu berminyak!”

Aku hanya tersenyum saat mendengar jawaban itu. Padahal tidak biasanya adik bungsuku itu pilih-pilih makanan. “Kalau Bapak, takut banyak lemak juga?”

“Apa lah kamu ini, Nduk!” Bapak menggeleng dengan pipi memerah.

“Terus?”

“Giginya sudah mulai goyang!” Fahira menyahut sambil meraih sawi rebus yang Bunda letakkan dalam piring tepat di depanku. “Bapak takut kalau makan daging nanti bisa copot.”

“Eh? Serius, Pak?”

Masih dengan malu-malu Bapak akhirnya mengangguk. Tentu saja kami jadi tertawa di sana. Bukan! Bukan! Bukan maksudku menertawakan orang tua sendiri hanya saja melihat ekspresi Bapak rasanya aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Sementara dari arah dapur Bunda muncul lengkap dengan semangkuk besar sup sayuran yang baru matang dan masih berasap.

“Kenapa ini? Kok padha ngguyu?” Sambil meletakkan mangkuk ke atas meja, Bunda bertanya. Akan tetapi, sebelum ada jawaban terucap beliau segera berteriak, “Mas! Mas Salman!”

“Sebentar! Masih ganti baju!” jawab Ayah dari arah kamarnya.

Lalu, Bunda duduk di seberangku. “Makan yang banyak, Sayang. Ini sengaja Bunda masak sup buat ayahmu.” Kemudian Bunda menoleh pada Bapak. “Hamdan, ini lho pakai kuah. Ben penak nek ngelek sega.

“Inggih, Mbak Yu!”

Aku mengambil nasi dan ayam kecap, lengkap dengan sambal terasi serta rebusan sawi sebagai tambahan. Meskipun sederhana tapi ini sungguh luar biasa. Enak sekali. Nikmat. Tidak ada yang bisa menandingi masakan Bunda.

“Piya, May?”

“Mantap, Bun.”

“Alhamdulillah.” Bunda mengambil centong nasi dan mulai mengisi piringnya. “Bunda sengaja ini tadi minta ayahmu potong ayam. Gara-gara ayamnya kabur-kaburan. Kemarin dua hari nggak pulang.”

“Oalah!” Aku mengangguk-angguk saja. “Ayo sini, Yah!” Segera kupanggil Ayah yang baru saja turun dari tangga. Beliau mengangguk dan duduk di ujung meja.

Bunda dengan sigap mengambilkannya nasi dan lauk. Ternyata kedua ayahku sama-sama tidak kuat lagi giginya terbukti dari Ayah yang hanya makan sayur sop dan tahu.

“Oh iya, May, kamu kok tiba-tiba pulang? Sebenarnya ada apa?” Bapak membuka pembicaraan.

Aku, Ayah dan Bunda seketika saling tatap tapi kemudian memahami keadaan. Bahwa kami sepakat merahasiakan semuanya dari Bapak dan Ira. Itulah kenapa Ayahlah yang menjawab.

“Ya ora apa-apa. Maya kan kangen karo keluargane. Iya kan, May?”

Aku mengangguk kecil. Entah kenapa tidak bisa percaya diri. Ah, tentu saja sebab tidak biasanya aku menipu Bapak. “Maya kan sebelum-sebelumnya nggak pernah pulang. Jadi, rasanya Maya …, ingin kumpul sama kalian.”

“Sekalian melihat Maryam juga, Dan!” Bunda menambahkan. “Kondisinya kan juga nggak baik. Siapa tahu kalau Maya pulang dia bisa sembuh. Makanya, aku minta dia pulang. Bukankah begitu, Cah Ayu?”

Lagi-lagi aku mengangguk kecil, tapi kali ini tidak berani menatap mata Bapak. Meskipun aku tahu bahwa ada tatapan curiga di mata tua Bapak. Beliau jelas tengah mengkhawatirkanku.

“Oh begitu ya!” Bapak berkata dengan suara lembutnya seperti biasa. “Tapi, May, kamu jangan terlalu kepikiran. Di sini ibumu aman kok. Bapak akan sebisa mungkin merawatnya. Kamu jaga kesehatan saja di sana. Kan pekerjaanmu juga sibuk. Jauh pula.”

“Bapak ini gimana sih?” Fahira berkata dengan nada kesal. “Mbak Maya pingin pulang kok nggak boleh. Aku kan kesepian.”

Lihat selengkapnya