Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #50

Sakit dan Pesakit

Apa yang sebenarnya Ilham lakukan selama ini? Kenapa dia diam saja melihat kondisi istrinya yang sedemikian parah? Apakah dia memang sengaja membiarkan Zahra dan bayinya mati? Ya, semuanya tampak lebih gelap di mataku sekarang, bahkan jauh lebih buruk dari yang selama berbulan-bulan terakhir sanggup kubayangkan.

Melihat adikku terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit nyatanya cukup untuk melunturkan semua bara di dadaku. Terlebih keadaan Zahra dan anak di kandungannya benar-benar memprihatinkan. Kalau kami terlambat sedikit saja membawanya ke rumah sakit barangkali nyawanya tidak akan bisa diselamatkan. Zahra bahkan harus mendapatkan transfusi darah saking parahnya animea yang dia derita.

“Bayinya cukup sehat tetapi ukurannya sangat kecil.” Itulah yang dikatakan oleh dokter kandungan di rumah sakit umum daerah kepadaku dan Bunda di ruangannya, tepat setelah pemeriksaan Zahra dilakukan. “Namun, Ibu tidak perlu khawatir karena kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan keduanya. Dan yang terpenting, Bu Zahra harus mendapatkan pendampingan untuk memulihkan psikologisnya karena apa yang beliau alami ini berkaitan erat dengan kondisi kesehatan mentalnya.”

Ya, tentu saja aku kami sudah tahu. Sebab sebagaimana yang dikatakan Ira sebelumnya, pernikahan itu tidak hanya melukai kami tetapi juga Zahra sendiri. Terlalu besar rasa bersalah di dalam dirinya sampai-sampai tidak punya semangat hidup sama sekali. Maksudku, kenapa? Kenapa dia melakukan semua ini? Kenapa dia tidak hidup bahagia? Padahal dengan begitu akan lebih mudah bagiku melampiaskan kemarahan padanya.

Namun, bagaimanapun juga dia adalah saudara kandungku. Bahkan di saat kondisinya tidak sadar saja Zahra terus-menerus memanggil namaku, dia menggenggam erat tanganku seakan tidak boleh terlepas, sambil sesekali merintih kesakitan.

“Mbak Maya?”

Lamunanku buyar saat pintu ruang perawatan terbuka, menampilkan Fahira yang baru datang lengkap dengan tas besar di tangan kanannya. Gadis itu tersenyum, lalu menutup kembali pintu sebelum akhirnya menyalamiku.

“Mbak Zahra gimana?” tanyanya sembari meletakkan tas ke atas sofa di belakangku. “Sudah ada kemajuan? Oh iya, Bunda mana?”

“Lho? Bukannya di luar?”

Fahira menggeleng. “Cuma ada Mbak Ida doang di depan.”

“Mungkin beliau masih salat magrib. Kamu sendiri, ke sini sama siapa?”

“Bapak.” Fahira berdiri di sampingku sekarang, lalu dengan lembut tangannya memijit bahuku yang pegal. Maklum saja, sejak kemarin aku belum tidur sama sekali. “Ayah tadinya mau ikut tapi masih belum bisa ninggalin kantor, katanya. Mau ada atasan datang gitu lho, kalau aku nggak salah dengar. Yang jelas, beliau minta aku sama Bapak duluan. Omong-omong, Mbak Maya sudah makan? Dibuatin nasi goreng sama Bapak.”

“Belum sih.”

“Ya sudah, makan duluan sana.”

“Nggak deh, Ra.”

“Kenapa? Nggak doyan?”

“Bukan.”

“Terus?” Fahira menatapku dengan kening mengerut sebelum akhirnya tersenyum kecut. “Jangan bilang kalau nggak napsu makan gara-gara lihat Mbak Zahra sakit?” Setelah menebak –bahkan sebelum aku sempat berkomentar –Fahira segera melanjutkan, “Ya ampun, Mbak May! Sampeyan itu kan dokter. Masa lihat orang sakit begini saja nggak napsu makan? Gimana mau menangani pasien?”

“Tapi kan ini beda, Za.”

“Sama saja!” Fahira menarik kedua bahuku supaya menghadap tegak ke arahnya. “Mbak Zahra biar sama aku, sekarang Mbak Maya makan dulu.”

Lihat selengkapnya