Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #51

Calon Sopir Taksi Yang Gagal

Ilham memang sedikit keras. Dia jelas bukan laki-laki seperti Bapak yang bisa dikendalikan. Itulah kenapa dulu aku begitu takut untuk membawanya datang menjadi bagian dari keluarga kami, terlebih pada saat itu aku sangat takut jikalau berubah menjadi orang seperti Ibu. Karena aku tahu masih ada ego di dalam diri Ilham. Dan itu wajar.

Kuteguk setengah botol air mineral sembari menatap lalu lalang orang di jalanan. Setelah sebelumnya berniat ke kantin, nyatanya aku malah berakhir di minimarket depan rumah sakit.

Ada begitu banyak kesadaran di kepalaku bahwa mulai hari ini aku harus terbiasa menatap Ilham bukan sebagai mantan kekasih tetapi adik iparku. Dan jelas ini tidak mudah. Mungkin, kalau cerita ini dimulai ketika aku dan Ilham …, hanya sebagai mantan pacar, ada kemungkinan untuk lebih mudah diterima. Hanya saja, bahkan tidak ada omongan putus sama sekali di antara kami. Semua selesai tanpa kejelasan. Dan bohong kalau aku bilang tidak terluka saat melihat keberadaannya, terlebih harus menghadapinya dengan peran yang jauh berbeda.

Tepat saat aku meremas botol air mineral kosong dan melemparkannya ke dalam tempat sampah, ponselku berdering. Ada nama Pak Johan di sana. Yang entah bagaimana segera membuatku merasa lega. Benar saja, begitu panggilan kubuka bukan wajah beliau yang muncul di sana melainkan Opa Joshua yang tengah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arah kamera.

“Halo, Kristina!” sapanya.

Aku pun segera membalas dengan senyuman selebar mungkin, sebisanya menyembunyikan kepedihan. “Papi kok belum tidur?”

“Nggak ngantuk.”

“Papi sudah dibilangi!” Pak Johan mendadak muncul dan duduk di sebelah ayahnya. Kalau dilihat dari latar belakangnya, mereka sedang berada di panti, lebih tepatnya di dalam kamar Opa Josh dan tengah duduk di atas kasur. “Dari tadi memaksa perawatan untuk meneleponkan Kristina. Padahal sudah dibilangi kalau Kak Kristina sedang sibuk. Sekali lagi, mohon maaf.”

“Tidak masalah kok.” Aku kembali duduk dan tidak jadi meninggalkan minimarket. “Oh iya, Papi sudah makan? Sudah minum obat?”

Mendengar pertanyaanku, Opa Josh menjawab dengan bangga, “Sudah dong. Papi kan sekarang rajin. Pokoknya, kamu nggak usah khawatir. Papi akan jaga kesehatan biar kamu tenang dan lancar kerjanya.”

“Bagus!” Aku mengacungkan jempol ke kamera.

“Siapa dulu? Papi kamu.”

Seringkali aku merasa bahwa Opa Josh hampir selalu hadir setiap kali aku merasa hancur. Seakan ini sebuah ikatan takdir atau semacamnya. Kutemani beliau hingga terlelap via panggilan video. Setelah memastikan beliau terlelap, barulah aku punya kesempatan ngobrol dengan Pak Johan. Aku bahkan baru kembali ke ruang perawatan Zahra sekitar pukul setengah sembilan. Dua jam setelahnya.

*_*

Apakah ini artinya aku menghindar?

Jika aku memang berniat lari untuk apa aku kembali? Aku memang terluka tetapi tidak sendirian. Berulang kali kutekankan hal tersebut pada diri sendiri.

Ketika aku sampai di depan kamar perawatan Zahra, ternyata sudah ada lebih banyak orang di sana termasuk Bu Saropah dan Mas Aziz, suami Mbak Ida, yang langsung kusalami.

“Kapan pulang, Nduk?”

“Tadi pagi, Mas.”

“Maya yang bawa Zahra ke sini.” Bu Saropah menjelaskan sembari menepuk sisi kosong di sebelahnya, memberi tanda untukku duduk. “Kalau nggak ada Maya mana mungkin Zahra mau dibawa ke rumah sakit? Tapi, ya wis lah, alhamdulillah sekarang sudah dapat obat. Dia akan sembuh kan, May?”

Lihat selengkapnya