Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #55

Pak Johan dan Keluarganya

Meskipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tetapi kepulanganku hari itu bukan berarti bisa terbebas dari banyak bawaan karena Bunda bahkan sampai rela menitipkan segala macam oleh-oleh –yang sudah ditatanya rapi dalam beberapa kardus dan tas –ke rumah Bu Painem supaya bisa langsung kuangkat dalam perjalanan ke stasiun subuh tadi. Itulah kenapa di waktu yang hampir menunjukkan tengah malam, ketika kereta yang kunaiki akhirnya berhenti stasiun tujuan, aku agak kesusahan membawa begitu banyak bawaan sampai-sampai petugas harus memberiku bantuan untuk menurunkannya dari gerbong.

Sebenarnya, aku sudah cukup tegas menolak, tetapi Bunda tetap saja memaksaku membawanya. Sisi keibuan beliau tidak bisa disembunyikan. Hampir semua ibu selalu ingin didengarkan, meskipun kalau untuk kasus Ibu itu sudah sangat keterlaluan. Aku tidak bisa membayangkan betapa besar amukannya saat pulang dari pasar dan menemukan putrinya ini telah minggat dari rumah. Dan sampai sekarang, aku belum mendapat kabar apapun dari rumah. Padahal biasanya Fahira akan menelepon jika terjadi sesuatu, atau lebih tepatnya Bunda lah yang melarangnya memberitahuku. Yang jelas, aku akan berinisiatif menghubungi mereka sesampai di rumah nanti. Tubuhku amat kelelahan dan tidak punya energi lagi untuk mendengar keributan. Pun Pak Johan sudah menungguku di kejauhan, dia melambaikan tangan lengkap dengan senyuman lebar yang langsung kubalas dengan cara serupa, akan tetapi bedanya aku sama sekali tidak bisa berlari. Pak Johan memberiku kode untuk menunggu, sedangkan dia berjalan cepat menghampiriku.

Tengah suasana di stasiun masih sangat ramai oleh lalu-lalang orang. Inilah perbedaan nyata kota megapolitan berserta segala kesibukannya, tanpa malam dan tampa tidur dengan kota mungil yang penduduknya ribuan orang saja.

“Bagaimana perjalanannya?” Pak Johan membuka pertemuan kami dengan pertanyaan itu. “Lelah, ya?”

Aku yang sudah setengah mengantuk hanya bisa mengangguk, lalu menutup mulutku karena menguap. Yang langsung ditertawakan oleh Pak Johan. “Kenapa?”

“Nggak,” jawabnya. “Mau ngopi dulu?”

“Boleh. Tapi, memangnya Dokter nggak kemalaman?”

“Harusnya, saya yang bertanya demikian. Dokter Maya tidak apa-apa kalau pulang larut?”

“Ini sih bukan larut lagi. Hampir dini hari.”

Pak Johan membantuku mengangkat barang-barang ke dalam mobilnya yang diparkir di depan stasiun. Cukup jauh, tapi tidak masalah karena secara teknis aku hanya membawa ransel dan dua tas yang cukup ringan, Pak Johan lah yang membawa bagian-bagian beratnya. Tidak! Aku tidak memaksanya malah dia sendiri lah yang memilih membawakannya.

Pria itu membuatku merasa memiliki seorang kakak lelaki, sosok yang sama sekali tidak pernah kumiliki dalam hidup. Terlahir sebagai anak perempuan pertama membuatku terbiasa melakukan segalanya sendiri. Dengar! Jangan samakan Ilham dengan Pak Johan. Ilham memang hampir selalu ada untukku, dulu. Sebab dia kekasihku sementara Pak Johan, aku merasa dia …, kami disatukan karena ikatan aneh. Dia kehilangan kakak perempuannya, dan barangkali beliau menganggapku sebagai Kristina-nya.

“Devara nggak tahu kalau Anda pulang hari ini?” tanya Pak Johan sambil meletakkan kopi panas dalam gelas karton kepadaku. Kami sengaja memesan kopi di minimarket, kemudian duduk di terasnya sambil menikmati udara sesak ibu kota. Bahkan di tengah malam sekalipun hawa dingin tidak cukup punya ruang.

Aku mengangguk. “Terima kasih. Iya, Dok. Saya memang sengaja memberinya kejutan. Meskipun gara-gara itu, dua malam dia meneror saya. Dia bilang, saya tega karena mau melewatkan pernikahan sahabat sendiri.”

Pak Johan ikut tertawa mendengar penjelasanku. “Terus, kondisi adik Anda bagaimana?”

“Alhamdulillah.” Aku menyeruput sedikit isi cangkir yang kubawa. “Kandungannya telah membaik dan hanya perlu perawatan jalan saja. Yang jadi masalah justru Ibu.”

“Nah, itu dia!” Pak Johan meletakkan cangkir miliknya ke atas meja. “Ibu tidak jadi ikut tinggal di sini?”

Aku menggeleng lemah.

“Kenapa? Terus, apartemennya?”

“Saya tinggali sendiri. Ya mau bagaimana lagi? Sudah telanjur juga.”

Pak Johan mengangguk-anggukkan kepalanya, entah apa yang sedang dia pikirkan tetapi kemudian dia berkata, “Tinggal sendirian tidak buruk kok, Dok. Kadang malah bisa jadi ruang tenang juga.”

Aku tidak tahu apakah pernyataan Pak Johan adalah sebagai usaha menghiburku atau dirinya sendiri. Tatapan matanya sulit diidentifikasi. Sorotnya teduh, tetapi di sisi lain senyuman di bibirnya sangat netral. Baru kusadari bahwa dia ternyata memang se …, bagaimana aku mendeskripsikannya? Pak Johan tampan, harus kuakui. Sebagaimana yang dikatakan oleh Devara selama ini, beliau memiliki keindahan yang alami. Akan tetapi, satu hal yang sama sekali tidak kupahami, mengapa pria sepertinya masih sendiri di usia segini? Apakah karena dia terlalu sempurna?

Jelas bahwa jawabannya, setidaknya menurutku, ada pada sang ayah.

Pengamatanku merujuk pada kesimpulan bahwa hidup Pak Johan hanya didedikasikan untuk sang ayah. Hal yang sangat sulit kulakukan bahkan terhadap perempuan yang sudah bersusah payah melahirkanku ke dunia. Mungkinkah aku tidak cukup berbakti? Mungkinkah aku sudah durhaka? Aku sangat malu padanya.

*_*

 “KOK LO SUDAH DI SINI?”

Devara hampir melemparkan botol minum yang dia bawa saat melihatku masuk ke dalam ruangan tempatnya dirias. Sesuai dugaanku, dia pasti akan mengamuk saat tahu bahwa sahabatnya ini telah menipunya mentah-mentah. Tapi, mau bagaimana lagi? Terkadang aku senang menjahili Devara. Lagipula, mana mungkin aku akan meninggalkannya sendirian di hari-hari menuju pernikahannya? Terlebih dia sendirian, tanpa orang tua dan hanya ada aku dan adiknya saja sebagai pendamping pernikahannya. Malah yang kudengar hingga hari pengajian menjelang pernikahan ini, tidak satupun dari ayah maupun ibunya yang mau datang.

Lihat selengkapnya