Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #57

Malam Resepsi

Setelah ijab kabul, Devara dan Hasyim sempat di pajang di atas dekor selama beberapa jam untuk resepsi yang dihadiri oleh para tamu undangan dari Umi dan Abi. Barulah ketika malam tiba keduanya menggelar sendiri resepsi sederhana dengan suasana lebih kasual, tanpa dekorasi mempelai berbaur bersama para tamu yang didominasi ‘orang-orang muda’. Bukannya aku hendak mendiskriminasi orang berdasarkan usia, hanya saja nuansa kedua acara ini amat sangat berlainan.

Acara kedua ini diadakan di gedung serba guna dekat rumah Hasyim, bukan di pesantren yang penuh dengan nuansa islami. Tentu dalam batas wajar, kupikir. Karena keduanya tetap mengenakan pakaian sopan, Devara bahkan masih tetap mempertahankan kerudung di kepalanya.

Hal paling menonjol di acara ini ialah bahwa keduanya menolak untuk memberikan jarak pada tamu. Pun tidak banyak tamu yang diundang membuat suasana lebih mencair.

“Dokter Wahyu sudah ke sini?” Aku bertanya.

Devara mengambil segelas jus jeruk dari atas meja dan mengangguk. “Tadi siang.”

“Kok aku nggak tahu?”

“Kalau nggak salah, waktu dia datang lo lagi ke belakang sama Ima,” jelasnya.

Sebagai satu-satunya teman dari mempelai perempuan, aku memang sengaja mendedikasikan diri untuk terlibat lebih banyak. Termasuk memastikan apakah Devara mendapatkan hari terbaiknya. Beruntung, Fatima mau membantuku.

Gadis itu sedang bersama kedua kakaknya di meja lain. Keakrabannya dengan Pak Johan dan Hasyim entah bagaimana membuatku gembira. Aku merasa lega sebab ini membuktikan bahwa Pak Johan masih diterima. Bagaimanapun pria itu sangat pantas untuk bahagia.

Ketika aku menoleh ke pintu masuk, tampak sepasang manusia yang kekenali datang. Magdalena mengenakan gaun pendek berwarna di atas lutut dengan rambut tergerai, sementara suaminya mengenakan jas senada.

Kami saling melambaikan tangan begitu bertatapan.

“Siapa?” bisik Devara.

Aku meliriknya lalu menjawab dengan lirih, “Kamu nggak tahu? Itu kan sepupunya Pak Johan.”

“Oh ya?” Mata Devara membulat. “Itu Magdalena?”

Aku mengangguk. “Yang satu lagi suaminya. George.”

“APA KABAR, MAYA?” Maggie setengah berteriak saat menyambutku. “Lama tidak bertemu. Aku belum sempat mampir ke rumahmu. Eh, ini mempelainya ya?” lanjutnya sambil menyalami Devara. “Cantik sekali. Selamat ya.”

“Terima kasih,” jawab Devara. “Salam kenal lho, Kak. Ini pertemuan pertama kita. Sebuah kehormatan Kak Magdalena dan Kak George mau menyempatkan datang.”

“Sudah seharusnya!” George meletakkan kedua tangannya ke dada, memberikan salam pada Devara. “Oh iya, mana Hasyim?”

“Kak Gigi! Kak Maggie!”

Panjang umur, yang dibicarakan muncul dari belakang. Tidak hanya sendirian, Hasyim membawa serta adik dan kakaknya.

“Kim nggak ikut, Kak Magg?”

“Di rumah neneknya, Syim. Tadi siang kan dia ikut kemari sama Papa dan Mama.”

“Ah, iya!” Hasyim menepuk mukanya sendiri. “Sudah makin besar dia. Masa tadi nggak mau pulang? Lucu banget. Mau ikut Oma Sara, katanya.”

“Tadi saja aku dimintai gendong!” Fatima menyahut. “Terus aku bilang, ‘Mana bisa Tante Ima ngangkat kamu?’, eh dia malah marah.”

Kami tertawa tetapi segera terhenti saat George tiba-tiba berkata, “Ini dua manusia kenapa diam saja?”

“Eh?”

“Iya. Kamu dan kamu,” tambah Maggie sambil menepuk bahuku dan Pak Johan. “Kapan kalian mau –”

“Mau apa?” Pak Johan memotong ucapan adik sepupunya itu dengan tegas. “Jangan ngomong aneh-aneh.”

“Ngomong aneh apa?” Maggie mengerutkan alis tetapi dengan tawa yang ditahan di bibirnya. “Oh iya, Tante Sara dan Ustaz Ali di mana?”

“Umi dan Abi nggak ke sini, Kak. Mereka ngurusin tamu yang datang ke rumah.”

“Oalah.”

“Ya sudah, silakan makan dulu, Kak.”

Fatima membawa pasangan suami istri itu meninggalkan kami. Iya, kami. Aku dan Pak Johan. Sebab, Hasyim dan Devara harus menyambut tamu lain yang datang setelahnya.

Baik aku maupun Pak Johan hanya saling melempar senyuman di sana. Menertawakan hal-hal semacam ini adalah makanan sehari-hari. Selama kurang lebih tiga belas tahun terakhir, setiap kali mendatangi acara pernikahan, dipertanyakan kapan menyusul adalah hal biasa. Bedanya, kini bukan lagi dengan Ilham. Untungnya, Pak Johan tidak terlihat keberatan.

Ini semua gara-gara seragam Devara dan Hasyim.

“Kalau orang tidak tahu, kita bisa disangka suami dan istri lho, Dok!” Tiba-tiba saja Pak Johan berkata demikian.

Aku agak terkejut tetapi melihatnya tertawa, jelas kalau ini candaan. “Kayaknya sih begitu, Dok.”

“Nggak ada suami istri manggil pasangannya begitu!” Kedatangan Fatima hampir membuat kami melompat saking kagetnya. Gadis itu muncul dengan sebuah sosis bakar di tangan. “Mbak, Mas, kenapa sih kalian kalau ngomong formal banget? Ini bukan rumah sakit lho.”

“Eh?”

Lihat selengkapnya