Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #58

Jatuh dalam Cinta

Pak Johan tertawa terbahak-bahak setelah mendengar cerita tersebut. Membuat suasana perjalanan malam itu tidak begitu layu, meskipun kami sudah hampir loyo akibat rasa lelah yang menghantam setelah seharian mengurusi pernikahan Devara dan Hasyim.

Sungguh! Aku sama sekali tidak menyangka bahwa mengurus pernikahan bisa semelelahkan ini. Kalau kami yang hanya membantu saja sudah seperti ini, bagaimana rasanya menjadi si mempelai? Apakah mereka tidak merasa seperti dipukuli bertubi-tubi?

“Justru kalau yang menikah malah nggak lelah,” ungkap Devara dengan penuh percaya diri. “Kan tujuan diadakannya bridesmaid dan groomsmen kan buat itu. Membantu pengantin biar nggak kecapekan.”

Masalahnya, orang gila mana yang hanya punya satu bridesmaid dan satu groomsmen untuk acara sebesar itu?

Aku bahkan sudah hampir tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Punggungku menempel ke sandaran mobil Pak Johan yang sengaja diposisikan rendah supaya lebih nyaman. Sementara itu, di sebelahku Pak Johan mengemudikan mobilnya di jalanan kota Jakarta dengan segala keramaiannya. Kota ini tidak pernah mati. Kian malam justru semakin ramai.

“Saya tidak menyangka kalau Fahira serius. Karena dia seperti bercanda ketika menawari saya oleh-oleh.”

Tanpa mengangkat kepala aku menimpali, “Dia memang cengengesan anaknya, tapi kalau ngomong selalu ditepati.”

“Saya jadi tidak enak.”

“Nggak apa-apa, Dok. Malah, kalau tidak diterima si Fahira bisa tersinggung.”

Melihat Pak Johan terdiam, aku akhirnya sedikit mengubah posisi dudukku. Di sanalah aku melihatnya melirik kepadaku, lengkap dengan senyuman yang dipaksakan.

“Kenapa, Dok?”

Pak Johan menggeleng. “Saya sangat paham perasaan Fahira.”

Aku mengerutkan kening. Bingung.

“Ketika kita memberikan sesuatu kepada seseorang tetapi tidak diterima, rasanya,” dia menyentuh dadanya dengan tangan kiri, lalu menepuk-nepuknya beberapa kali.

Oh, astaga!

“Bukan maksud saya nggak mau pakai ponsel yang Anda berikan, hanya saja –”

“Tidak apa-apa kok, Dok!” Dia menyela. “Saya paham.”

Melihat ekspresi lucu Pak Johan saat mengucapkan kalimat tersebut, membuatku spontan tertawa. Aku tidak menyangka bahwa dia bisa menjadi selucu ini. “Akting sedih yang buruk dan kurang natural.”

“Wajar. Saya kan bukan aktor,” jawabnya.

“Apa sih, Dok!” Aku menepuk bahunya. Oh! Tunggu! Kenapa aku melakukan ini?

Pak Johan menoleh.

Mata kami bertemu selama beberapa milidetik, lalu detik berikutnya suasana di dalam mobil itu menjadi hening. Tidak satu pun dari kami membuka pembicaraan. Atau lebih tepatnya, aku bingung harus bagaimana. Dan satu-satunya hal paling masuk akal yang bisa kulakukan ialah meletakkan kembali kepalaku ke sandaran kursi, lalu menutup mata.

Meskipun demikian aku tidak pernah bisa benar-benar terlelap, tentu saja. Sebab jantungku berdegub sangat kencang, semakin kencang seolah-olah hendak meledak. Beruntung, aku masih bisa menahan diri.

Sesampai kami di parkiran apartemen, kuajak Pak Johan masuk guna mengambil oleh-oleh pemberian Fahira. Sebetulnya aku hendak memberikannya kemarin, hanya saja rasa lelah membuatku menunda pembongkaran barang. Pun sialnya, tadi pagi aku juga lupa memberikannya. Padahal sudah kusimpan rapi di atas meja dekat televisi.

“Belum saya lihat sama sekali,” kataku saat memberikan paper bag cokelat tersebut kepada si penerima.

Pak Johan dengan senang hati menerimanya. “Untuk menghilangkan rasa penasaran Anda, bolehkah saya membukanya di sini?”

Ya ampun!

Aku tidak menyangka kalau Pak Johan masih berniat melanjutkan candaannya.

“Silakan,” jawabku. “Bagaimana kalau sambil duduk?” lanjutku sembari mengarahkannya ke sofa ruang tamu.

Di dalam paper bag tersimpan sebuah kotak berukuran sedang senada, lengkap dengan hiasan pita merah yang menyala. Seolah ingin membuatku makin penasaran, Pak Johan memelankan aksinya.

“Penasaran ya?”

“Dokter Johan!” Aku tidak bisa berhenti tertawa sekarang. “Jangan sampai saya mati penasaran di sini.”

“Tapi sepertinya apa yang dibilang Fatima benar deh, Dok.”

Eh?

“Kok tiba-tiba ngomongin Fatima?”

Pak Johan berhenti menyinggungkan senyum di bibirnya. Malah, kini dia melemparkan tatapan serius padaku. “Anda kan bukan pasien saya. Dan ini bukan di rumah sakit.”

“Jadi?”

“Bisakah Anda memanggil saya Hans saja?”

“Tapi –”

“Dokter Maya –”

Lihat selengkapnya