Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #60

Ulang Tahun Fatima

 Merupakan perayaan hari kelahiran Fatima yang ke delapan belas tahun, diadakan secara sederhana di sebuah restoran Jepang tidak jauh dari kediaman Umi dan Abi.

Sebetulnya, acara ini juga akal-akalan Devara. Dialah yang selama hampir dua minggu terakhir mempersiapkan segala keperluan guna memberikan kejutan bagi bungsu mereka itu, tetapi perlu diingat bahwa Devara tetaplah Devara. Mana mungkin dia bisa merealisasikan rencananya seorang diri? Sudah tentu dia akan menarikku. Kalau misalnya dia diharuskan nyemplung ke dalam sumur pun, sudah tentu tidak akan ketinggalan mengajakku.

Kami sangat beruntung karena Umi mau mambantu dengan mengajak Fatima pergi ke lokasi. Terlebih karena gadis itu pada dasarnya sangat sulit diajak ke luar. Kalau tidak dengan Umi dan Abi, dia tak akan pergi.

“Kuenya langsung ditaruh di sini atau mau disembunyikan dulu?” Devara bertanya saat kami sampai di meja yang telah dipesan.

Hasyim yang sejak tadi memegangi kue red velved menjawab, “Langsung saja lah, Yang. Tanganku sudah pegal ini lho.”

“Baru juga bawa segitu doang sudah ngeluh lo, Yang!” Devara berdecih, kemudian menarik salah sau kursi untuk diduduki. “Kalau menuru kalian bagaimana?”

Tepat ketika mulutku hendak mengutarakan pendapat, Mas Johan terlebih dahulu menyahut, “Ide Hasyim ada benarnya. Toh, mereka kan masih nanti datangnya.”

“Benar. Aku setuju!” Aku menambahkan. “Nanti kita bisa minta tolong Umi buat kirim pesan kalau mereka sampai. Biar kita bisa langsung menyalakan lilin.”

“Tuh, kan!” Hasyim meletakkan kue ke atas meja. “Gue bilang juga apa? Si Devara apa pernah percaya kalau gue yang ngebilangin, Mbak May? Dia nurutnya cuma sama lo, Mbak.”

“Lo ngambek?” Pertanyaan Devara justru lebih mirip tuduhan, yang untungnya segera dijawab oleh Hasyim dengan segelengan.

Keduanya memang begitu sejak dulu. Tidak mengherankan lagi. Malah, kalau setelah menikah mendadak berubah aku justru akan kebingungan. Walaupun begitu mereka sebetulnya sangat saling mencintai. Tidak ada keraguan untuk itu.

Kurang lebih lima belas menit setelahnya, Devara mengaku mendapatkan pesan pemberitahuan dari Umi.

Kami langsung menyalakan lilin, sementara Mas Johan lah yang kini diminta untuk mengangkat kue itu, menyambut kedatangan adik mereka.

Fatima Azzahra Humaira muncul bersama kedua orang tuanya dengan gamis senada, warna biru muda yang kalem. Membuat penampilannya malam itu sangat mempesona. Ditambah pipinya yang berubah kemerahan saat melihat kami datang menyanyikan lagu ulang tahun untuknya. Bahkan dia menangis.

“Aku pikir kalian lupa!” Suara Fatima bergetar menahan tangis. “Umi sama Abi kenapa nggak bilang?”

Umi tersenyum, perempuan bermata lentik itu menggandeng tangan putrinya. “Nggak usah nangis. Nanti hilang jeleknya lho.”

“Ah, Umi!” Fatima menyeka air matanya. “Yang ada hilang cantiknya, bukan hilang jeleknya.”

“Kan benar, yang jelek dibuang, yang cantik disimpan." Umi tersenyum lebar, memperlihatkan keanggunan di wajahnya.

“Ya sudah, cepat dimatikan itu lilinnya, Dik. Keburu meleleh.” Abi menyahut.

Mas Johan pun mendekat, memberikan adiknya kesempatan untuk mengangunkan tangan kanannya di atas lilin bertuliskan angka 18 tersebut dengan hati-hati. Butuh beberapa ayunan sebelum kedua lilin benar-benar mati.

Di sebelahku, Hasyim dan Devara tidak berhenti mendokumentasikan adegan tersebut menggunakan ponselnya.

Lihat selengkapnya