Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #61

Hari Pengajian

Pun aku sendiri tidak tahu apakah menyematkan kata hubungan dalam interaksi kami dapat dibenarkan karena memang baik aku maupun Mas Johan belum ada yang membuka pembicaraan. Paling tidak untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan secara resmi menunjukkan benang merah guna menjadi penghubung –ikatan –di antara kami.

Namun, apakah itu masih perlu dilakukan?

Bukankah perhatian yang selama ini dia berikan telah menggambarkan segalanya dengan begitu jelas? Dan apakah dua orang dewasa seperti kami masih membutuhkan pengungkapan cinta dengan cokelat atau bunga layaknya anak remaja yang dimabuk asmara? Yang jelas, aku menikmati setiap detik yang kuhabiskan bersamanya.

“Sampai bertemu lagi nanti malam!” Mas Johan mengatakannya bahkan sebelum aku benar-benar keluar dari mobilnya.

Aku menoleh, menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. “Sudah! Sana berangkat! Nanti terlambat lho.”

“Ini masih jam setengah delapan,” jawabnya sembari menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan kirinya. “Aku akan memastikan bahwa kamu benar-benar masuk ke panti.”

Tentu aku tidak bisa menyembunyikan senyum saat menyaksikan tingkah kekanakan lelaki di dalam mobil itu. “Iya. Aku akan masuk. Memangnya aku bakal ke mana lagi?”

“Siapa yang tahu,” Mas Johan menjeda kalimatnya sembari menaikkan kedua bahunya bersamaan, “kalau kamu tiba-tiba melarikan diri.”

“Hah? Kamu ngomong apa sih?” Kugelengkan kepala dengan tegas dengan bibir masih tersenyum lebar. “Sudah! Jangan bercanda! Aku harus kerja!” lanjutku berpamitan.

Kulambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, yang tentunya langsung dia balas dengan lebih bersemangat. Sebagaimana pernyataannya tadi, Mas Johan baru benar-benar pergi setelah aku sampai di lobi. Sementara aku sendiri baru menuju klinik setelah memastikan mobil Mas Johan tidak lagi terlihat, melesat meninggalkan panti werda yang ramai oleh para lansia.

Bisa dibilang hari ini merupakan minggu tersibuk di sini mengingat sebentar lagi libur panjang akan segera tiba. Dalam seminggu, satu persatu lansia akan dijemput oleh keluarganya untuk merayakan hari raya. Itulah kenapa sebagai penutup Ramadhan, Dokter Wahyu mengadakan syukuran kecil-kecilan. Lebih tepatnya ini merupakan agenda rutin di mana pemuka agama dihadirkan sebagai salah satu bentuk siraman rohani bagi para oma dan opa. Sebagaimana natal beberapa bulan lalu, di mana pendeta di undang untuk membimbing kebaktian, kali ini Umi Sara lah yang diminta mengisi pengajian.

“Tadinya mereka mau mengundang Ustaz Ali, tapi jadwal beliau sudah penuh.” Bu Juwar bercerita saat membantuku melakukan pemeriksaan pagi.

“Kan aku sudah bilang dari awal, kalau mau mengundang Abi harus jauh-jauh hari. Ini saja masih untung Umi bisa datang. Padahal jadwal beliau juga padat banget lho.” Devara yang ada di sana menjelaskan.

“Tapi kita jadi nggak bisa milih jadwal.” Bu Juwar lagi-lagi tampak kecewa.

Lihat selengkapnya