Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #62

Ditampar Kenyataan

Ceramah diakhiri tepat sebelum adzan zuhur berkumandang, tetapi jamaah baru benar-benar meninggalkan mushala setelah memunaikan salat dan doa bersama.

Aku sendiri segera melepaskan mukena yang menempel di badan, meletakkannya kembali ke dalam lemari sebelum menuju melangkah pergi, akan tetapi sama seperti yang lainnya, sebelum meninggalkan mushalla terlebih dahulu kuhampiri Umi untuk berpamitan.

Bersama para pegawai lainnya, kami mengantre di belakang, memberikan ruang kepada para oma –yang sambil berpamitan –mengajak Umi mengobrol. Tidak lama aku mendapakan giliran.

Kuraih tangan Umi dan mencium punggung tangannya yang sangat wangi. Beliau sudah kuanggap orang tuaku sendiri. Anak dan menantunya pun kawan baikku. Namun, begitu aku hendak melepaskan tangan itu untuk memberikan giliran pada Dokter Arumi yang ada di belakang, Umi justru menahannya.

“Maya, kamu jangan langsung pergi ya?”

“Eh? Ada apa, Mi?”

“Tidak apa-apa. Hanya ada sedikit yan perlu Umi bicarakan.”

Aku pun mengangguk, lalu memutuskan menunggunya di teras mushalla yang dingin.

“Kalau begitu kami duluan, May!” kata Dokter Arumi sambil mencari mengenakan sepatu sementara di sebelahnya, Bu Anggi mengikuti. Tentu aku mengiyakan sebab tak mungkin kutahan mereka lebih lama di sini. Terlebih tanpa tahu sampai kapan harus menunggu Umi sebab di dalam masih banyak oma yang mengobrol dengan beliau.

Beruntungnya, kurang lebih lima belas menit kemudian masjid telah sepi. Hanya ada para Opa yang tengah tadarus di ruangan laki-laki, sedangkan Umi bersama Oma Rahma akhirnya keluar melalui pintu di samping mushalla sambil bergandengan tangan.

“Bisa, Mbak Yu?” Umi dengan sabar menuntun wanita tua itu. “Yang mana sandalnya?”

Buru-buru aku berdiri untuk mengambilkan sendal jepit berwarna ungu yang ada di bawah tangga supaya bisa langsung dikenakan oleh Oma Rahma. “Sini, Oma. Saya bantu!” ucapku sembari mengulurkan tangan.

Oma Rahma menyambut tanganku. Penuh kehati-hatian untuknya agar bisa sampai di atas permukaan tanah. “Terima kasih, Dok.”

“Mau saya antar?”

Tawaranku dibalas gelengan. “Saya bisa sendiri.”

“Serius, Oma?”

Lagi, Oma Rahmah menjawab, “Iya. Lagipula kan jalanannya juga rata. Saya bisa. Toh, kalian mau ngobrol dulu tadi, kan? Silakan.”

“Kalau Mbak Yu butuh bantuan, tidak apa-apa biar Mbak Maya antar dulu.”

Oma masih bersikeras menolak. “Saya bisa.”

Alhasil dengan perasaa tak tega aku dan Umi hanya bisa memandangi Oma Rahma dari kejauhan. Langkah yang lemah tetapi penuh semangat. Karena memang, Oma Rahma merupakan salah satu lansia yang sangat aktif di panti ini. Padahal usianya termasuk salah satu yang tertua.

“Baiknya kita mengobrol di sana saja ya?” Umi menunjuk bangku taman tak jauh dari lokasi kami.

Aku mengangguk, mengekori langkah beliau.

Selain memiliki bangunan bersih dan nyaman, di panti werda ini juga terdapat taman yang cukup luas. Bahkan di sekitar taman masih terdapat pepohonan besar sehingga membuat udara terasa sangat segar. Padahal ini di tengah kota.

“Sebelumnya Umi minta maaf karena menganggu waktu kamu.” Umi mengatakannya bersamaan dengan duduknya aku di sebelah beliau. “Semoga saja tidak lama.”

“Tidak apa-apa kok. Maya juga sedang santai.”

“Alhamdulillah kalau begitu,” ucap Umi lengkap dengan senyuman mengembang. “Jadi begini …, sebenarnya Umi hanya ingin bertanya …, tapi kamu jangan tersinggung.”

“Memangnya, Umi mau tanya soal apa?”

Tentu aku keheranan, sebab seumur-umur aku mengenal beliau belum pernah Umi bersikap macam ini. Seolah-olah pembicaraan siang itu sangatlah genting serta dapat menggores perasaanku.

Umi bergeming, menarik napas panjang dan menghelanya dengan cepat lewat mulut. “May,” beliau menjeda kalimatnya untuk meraih tanganku, “sebetulnya Umi sudah menganggap kamu sebagai anak sendiri.”

Aku terdiam, menatap beliau masih dengan raut kebingungan.

“Umi juga sangat menyayangi kamu."

Tentu, aku tahu semua itu.

“Maka dari itu Umi tidak mau kamu sampai salah langkah, Nak!”

Tunggu! Tunggu!

Lihat selengkapnya