Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #63

Pernikahan Beda Keyakinan

“Mereka bercerai karena tidak cocok.” Itulah yang selalu dikatakan oleh Mas Johan setiap kali menceritakan keluarganya. “Beberapa orang menikah dan bercerai, bukankah itu wajar? Dan sejauh yang aku tahu, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan keyakinan. Bahkan bisa dibilang selama dua puluh tahun bersama semuanya baik-baik saja. Malah, Papi sering mengantarkan Mami pergi pengajian setiap jumat, begitupun saat natal tiba. Mami akan selalu memasak banyak makanan untuk dinikmati selepas Papi pulang dari gereja.”

Mengingat pernyataan tersebut aku berpikir bahwa mungkin menikah dengan perbedaan keyakinan bukanlah masalah serius. Toh, agama merupakan urusan hamba dengan Tuhan. Dan sudah seharusnya setiap manusia bebas menentukan sendiri jalan hidupnya, tanpa harus takut dibatasi oleh dokumen formal negara.

Sejauh pengetahuanku, telah banyak pasangan berbeda agama menikah dan tetap mempertahankan keyakinannya masing-masing. Memang sih banyak yang berakhir perceraian, tetapi bukankah banyak juga pasangan seiman yang gagal? Seperti yang dikatakan oleh Mas Johan, ini hanya soal jodoh. Pernikahan bagaimanapun juga adalah proses mempersatukan dua kepala. Ketidakcocokan sangat mungkin terjadi. Terlebih setelah aku mendengarkan prespektif Opa Joshua.

Dia sedang duduk di balkon ketika aku datang. Tatapannya jauh ke depan, sementara kedua tangannya memegang erat album foto yang sejak awal kedatangannya telah berada di kamar itu, tersimpan rapi di dalam lemari. Album yang sama dengan yang sebelumnya dia gunakan untuk memperkenalkan aku paada Kristina.

“Mamimu sudah pulang?” Dia bertanya sambil menunjuk bangku kosong di sampingnya, memintaku duduk.

Aku mengangguk. “Baru saja.”

Opa Joshua mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tidak menyangka kalau akan bertemu lagi dengannya di tempat ini.” Ada kegetiran dari caranya bicara. “Kristina Putriku,” lanjutnya sebelum akhirnya meraih tangan kiriku dalam genggamannya. “Apa pun yang terjadi di antara kami sekarang …, ini pasti membuatmu bingung hanya saja …, sama sekali tidak akan pernah mengurangi rasa cinta kami kepada kamu dan adikmu.”

Entah mengapa sedih rasanya melihat beliau menjelaskan. Terlebih ketika kudapati matanya berkaca-kaca. Namun, apa yang bisa kulakukan selain bergeming? Mencoba menempatkan diriku sebagai Kristina. Meskipun jelas bahwa aku tidak akan pernah bisa memahami ataupun menggantikan posisi Kristina.

Opa Josh menyentuh pipiku dengan tangannya yang dingin. “Setelah kepergianmu sangat sulit bagi kami untuk bisa melanjutkan hidup.”

“Aku tahu,” jawabku.

“Itulah kenapa akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan,” lanjutnya. “Papi tidak sanggup setiap kali harus melihat mamimu menangis. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan, Sayang. Dan yang perlu kamu tahu, sekarang mami kamu sudah menikah. Suaminya orang baik. Orang yang bisa memberikan kesenangan. Dia juga punya anak perempuan. Seperti kamu. Tapi jangan khawatir, Sara pasti tetap mencintaimu. Papi yakin itu.”

Mendengar hal tersebut semata-mata membuatku hatiku pedih. Inikah yang selama ini Opa Josh tahan di dalam hatinya? Padahal selama belasan tahun lamanya, semua orang menganggapnya gila.

“Jangan menangis, Sayangku.” Opa Josh menyeka air mata di pipiku dengan ibu jarinya. “Andaikan Papi tahu kalau kamu akan kembali, sudah pasti Papi akan mencoba mempertahankan keluarga kita. Papi berdosa.”

“Tidak! Papi jangan ngomong begitu.”

“Kalian segalanya bagi Papi,” ungkapnya. “Sekarang hanya kamu dan Hans yang Papi miliki dalam hidup. Jadi, tolong jangan pergi lagi. Kamu boleh bertemu dengan Sara kapanpun kamu mau. Papi tidak akan melarang. Namun, kembalilah kepada Papi. Kembalilah ke sini Papi.”

Ya Tuhan.

Sesak betul dadaku kini. Terlebih setelah kemudian Opa Joshua memberikan album foto yang dibawanya kepadaku. “Maaf karena Papi terpaksa menghapus gambar mamimu dari sini. Papi hanya tidak ingin membuatnya hancur. Terlebih karena sekarang dia sudah bersama pria lain. Akan tetapi kamu jangan cemas! Ayah tirimu bukan pria yang jahat. Dia sangat baik. Dia pasti bisa menerimamu.”

Aku terisak, menangisi Opa Joshua entah karena apa. Yang jelas, segalanya teramat menyedihkan kala itu.

“Kenapa kamu malah menangis lagi?” Opa Joshua menaikkan suara. “Maafkan Papi ya, Nak. Papi pasti bikin kamu marah ya?”

“Nggak.”

“Kamu boleh kok marah ke Papi, tapi jangan benci mami kamu. Karena bahkan dulu dia tidak pernah mau meninggalkan rumah kita. Papi lah yang mengusirnya. Papi yang jahat, Sayang.

“Papi sama sekali tidak pernah menyesal memiliki kamu dan adikmu. Hanya saja, Papi sudah egois. Terlalu banyak yang …, kehidupan mamimu hancur karena Papi –argh!”

Melihat Opa Joshua tiba-tiba terdiam dan memegangi dadanya, spontan aku bertanya, “Papi kenapa?”

Tentu saja pria tua itu menggeleng. “Papi tidak apa-apa.”

“Dada Papi sakit?”

“Sedikit.”

“Ya sudah, kalau begitu istirahat ya?” Tanpa berpikir panjang segera kupaksa dia masuk kembali ke kamar dan berbaring di atas ranjang. “Papi tadi sudah minum obat, kan?”

Dia mengangguk. “Sudah semuanya. Bu Anggi yang kasih.”

“Pokoknya Papi nggak boleh mikir macam-macam, semuanya akan baik-baik saja.” Aku menyentuh lengannya dengan lembut. “Semua yang sudah telanjur terjadi, biarlah terjadi. Aku tahu kalau Papi sangat menyayangi Kristina, Johan maupun Mami. Begitu juga sebaliknya. Kami semua sayang sekali dengan Papi.”

“Mamimu membenciku.”

Lihat selengkapnya