Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #64

Libur Lebaran

Devara:

Lo jadi berangkat?

Maya:

Iya.

Baru saja bus masuk tol.

Devara:

Yang ikut siapa saja?

Maya:

Lumayan banyak.

Totalnya ada dua puluh lima orang di dalam bus.

 

Adalah perjalanan penuh suka cita menyambut lebaran yang hanya tinggal hitungan hari. Sebelas lansia dan empat pekerja –termasuk aku –serta anak-anak duduk rapi di dalam bus sembari sesekali melemparkan candaan dan bernyanyi bersama. Jauh dari bayanganku, di mana orang tua yang tidak bisa merayakan hari besar bersama anak –entah karena jauh atau malah memang tak punya –akan berduka, setidaknya yang kusaksikan sekarang, mereka semua tampak baik-baik saja. Malah sangat bersemangat. Atau mungkin liburan semacam ini memang sengaja diadakan oleh Dokter Wahyu untuk mendatangkan kesenangan, membuat lansia bisa seolah merasakan serunya mudik ke kampung halaman.

Aku duduk di bangku yang sama dengan Mbak Sari, istri Mas Angga, sementara sang suami duduk di bangku sebelah bersama kedua anak mereka. Dan bagian terbaiknya, Yolanda dan Leonardo tidak berhenti berdebat. Bocah yang hanya berjarak tiga tahun itu bahkan telah menumpahkan sebotol air minum kemasan ukuran satu liter di dalam bus beberapa menit lalu. Alhasil, Mbak Sari uring-uringan sejak tadi.

“Kalau nggak bisa akur sama Dedek mending kamu duduk di depan saja, Yol! Jangan buat Mama pusing! Lama-lama kok gedek aku sama Yolanda ini!” Mbak Sari menarik Leo yang menangis untuk mendekat, lalu menyeka cokelat yang menempel di mulut bocah itu dengan tisu. “Yolanda kalau nggak gangguin adeknya memang nggak puas kok, kayaknya. Sudah, Leo! Kamu juga nangis melulu. Kalau dikerjain sama kakakmu itu lawan! Jangan nangis terus yang digedein.”

“Namanya juga anak-anak, Ma!”

“KAMU JUGA!” Mas Angga yang hendak mendinginkan situasi malah terkena juga. “Anaknya duduk berdua bukannya dijagain malah dibiarkan berkelahi. Ini aku cuma duduk beda kursi lho, Mas, bukan beda bus. Kalau aku nggak ada di sini mungkin bisa-bisa perang dunia ketiga meletus.”

Sebagai penonton, aku tidak berkomentar. Karena memang belum merasakan apa yang kini dilalui oleh mereka.

“Padahal dulu Sari nggak galak lho, May,” kata Mas Angga sambil mengangkat Leo ke pangkuannya. “Entah apa yang dimakan sampai bisa jadi begini.”

Mbak Sari melirik suaminya tajam. “Aku nggak bakal kayak begini kalau bukan karena kamu.”

“Kok aku?”

“Terus siapa lagi?” Tampak jelas kekesalan di wajah Mbak Sari saat mengatakannya. Kemudian, dia menoleh padaku. “Pokoknya, Maya, kamu kalau cari suami jangan sampai yang macam dia ini.”

“Eh? Maksud Mama?”

“Hsst!” Mbak Sari menempelkan telunjuknya di bibir, memberi kode agar suaminya berhenti buka suara. “Dia ini kalau dibilangin nggak pernah dengar. Namanya aku perempuan, kalau masih sekali dua kali –okelah. Tapi lama-lama lelah juga. Lihat aku! Dulu seperti ibu peri, sekarang jadi Mak Lampir.”

“Terus, maksudmu aku Genderuwo-nya?”

“Menurut ngana?”

Sebagai orang yang sudah mengenal mereka, candaan semacam ini telah menjadi makanan sehari-hari. Selain terkenal suka berdebat, keduanya pun terkenal hobi melawak meskipun terkadang agak berlebihan, setidaknya untuk orang seperti aku. Namun, bukankah candaan itu soal selera? Selama yang dibercandai tak tersinggung, kupikir itu boleh saja.

Lihat selengkapnya