Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #66

Masih Perlukah Sebuah Harapan?

Meskipun sama-sama sering tersenyum tetapi jelas kalau Mas Dirga jauh lebih humoris ketimbang sepupunya.

Bukan maksudku ingin membandingkan keduanya, hanya saja sulit untuk tidak menyandingkan mereka dalam satu warna mengingat baik Mas Johan maupun Mas Dirga sama-sama …, sulit bagiku menyebut Mas Johan –sebagai teman, meskipun memang secara teknis hubungan kami sebatas itu.

“Kamu mungkin sudah lupa saat kecil dulu kita sering liburan ke sini.” Opa Joshua berkata demikian saat datang untuk membawakanku kue cokelat buatan Oma Rita. Baru matang, malah. “Tapi, setelah Desti meninggal kita memang jarang ke sini.”

“Desti?”

“Tante kamu. Mamanya Tara.”

“Mas Dirga, maksudnya?”

Opa Josh agaknya terkejut, tetapi kemudian mengangguk. “Dirgantara. Boleh saja dipanggil Dirga. Namun, kenapa agak aneh mendengarmu memanggilnya demikian?

“Oh iya, Putriku. Adikmu baru saja menelepon. Tidak biasanya dia seperti ini. Katanya, dia masih banyak pekerjaan dan sepertinya gagal menyusul. Kamu tidak apa-apa, kan?”

Sudah kuduga Mas Johan akan melakukan ini. Meskipun begitu, tak tahu kenapa aku tetap kecewa. Apalagi mengetahuinya bukan dari mulutnya sendiri. Seolah dia sengaja membuatku terjebak dalam penyesalan.

“Kristina?” Opa Josh tiba-tiba menyentuh bahuku. “Kamu kecewa ya?” lanjutnya penuh kecemasan, matanya bahkan berkaca-kaca. “Papi janji akan menasehati adikmu ke depannya. Dia pasti akan mengerti.”

Kuletakkan piring mungil berisi kue itu ke atas lantai, lalu menyentuh kedua tangan keriput itu dengan lembut. “Papi nggak usah khawatir. Kristina baik-baik saja.”

“Benarkah?”

“Om Josh tenang saja!”

Lagi dan lagi, Mas Dirga muncul seperti hantu. Tanpa aba-aba dia keluar dari pintu di belakangku, lalu ikut duduk di atas lantai yang dingin bersama kami.

“Demi Yesus! Tara, kamu hampir membuat Om jantungan!” Opa Josh berpura-pura memukul lengan pemuda itu. “Dari mana kok baru muncul sekarang? Tadi kamu dicariin ayahmu lho.”

“Sudah ketemu barusan,” jawabnya. “Aku boleh pinjam Kak Kris sebentar nggak, Om?”

“Buat?”

“Jalan-jalan. Soalnya, aku lihat dia suntuk sekali.”

Apa?

Opa Josh menoleh padaku sebentar sebelum melanjutkan, “Jadi, kamu juga menyadarinya? Itu benar, Tara. Kristina memang tidak baik-baik saja malam ini. Dia bagaikan bunga yang lesu kekurangan air. Ajaklah dia keluar mencari udara segar. Tapi, dengan catatan! Jangan kebut-kebutan.”

“Pa –”

“Tidak apa, Kristina.”

Itulah kenapa kemudian aku bisa terdampar di alun-alun kota terdekat bersama Mas Dirga. Menonton takbir keliling yang diadakan oleh warga setempat, lengkap dengan anak-anak yang berbaris sambil membawa obor dan lampu warna-warni.

*_*

Fahira:

Maaf baru buka ponsel.

Habis ikut takbir keliling.

Pesan tersebut masuk tepat ketika aku hendak tidur, kurang lebih sekitar pukul setengah satu dini hari.

Maya:

Tadinya Mbak May mau telepon.

Kata Bunda, kamu sekarang ikut ke rumah Simbah?

Fahira:

Bukan begitu.

Aku hanya menginap selama liburan.

Habis lebaran balik lagi ke rumah Bunda.

Lagian aku juga belum pernah ke sini.

Banyak sepupu kita ternyata, Mbak.

Maya:

Kenapa?

Fahira:

Bapak nggak mau pulang.

Maya:

Maksudnya?

Bapak nggak mau pulang kalau Ibu nggak pulang, begitukah?

Lihat selengkapnya