Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #67

Pernyataan Cinta

“Maaf karena sudah membuat semuanya cemas. Ada beberapa urusan yang tidak mungkin ditinggal, karena terlalu larut jadinya saya baru bisa sampai di sini sekarang.”

Pertanyaan Mas Johan tidak lantas membuatku percaya, entah mengapa. Karena jujur saja aku masih merasa bahwa semua itu sekadar alibi yang dia buat-buat. Akan tetapi, melihat semua orang tampaknya mempercayai alasan tersebut kini aku malah …, mungkinkah di sini aku terlalu berlebihan? Mungkinkah pikiran negatif sudah menguasai diriku sehingga tidak bisa melihat segala sesuatunya dengan objektif?

Oh Tuhan, kami bahkan baru bermaaf-maafan tapi aku malah membuat dosa baru.

“Sudahlah! Tidak perlu dibahas lagi,” ujar Mas Dirga. “Yang penting sekarang kan Hans sudah ada di sini bersama kita.”

Dari meja makan Opa Hadi ikut memberi komentar, “Nak Dirga benar. Untuk itu lebih baik Mas Johan makan dulu. Perjalanan panjang pasti bikin perut lapar.”

“Masakan buatan Oma Rose enak sekali lho, Mas.” Mas Angga yang tengah menggendong Leonardo muncul dari pintu belakang. “Apalagi cumi asinnya. Juara.”

“Kamu nggak usah mencari muka, Ngga!” Yang dibicarakan berpura-pura cemberut, tetapi kemudian disambut tawa dari seisi ruangan.

Setelahnya, Mas Johan berdiri dan satu persatu orang disalaminya. Barulah kemudian dia bergabung dengan Opa Hadi untuk sarapan. Di sisi lain, aku tak bisa memalingkan pandangan darinya. Terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepala, yang ingin langsung kuajukan tetapi begitu takut untuk terealisasikan.

“Kalian beneran kayak kakak dan adik ya?” Mas Dirga berkata setelah kami akhirnya punya kesempatan duduk bertiga, lebih tepatnya menikmati rujak buah di gazebo belakang rumah. Bersantai.

Baik aku maupun Mas Johan hanya tersenyum sambil menikmati manisnya papaya setengah matang didampingi sambal kacang super pedas buatan Mbak Sari.

“Bokap sih sudah cerita soal keadaan Om Joshua, tapi aku nggak pernah berpikir kalau kalian sendiri sampai sejauh ini.”

“Sejauh ini?” Mas Johan bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Mewakili kebingunganku.

Mas Dirga mengangguk. “Memangnya kalian merasa …,” dia menjeda kalimat lalu menunjuk kami dengan kedua tangannya, “kalian sampai bikin seragam lebaran.”

“Seragam?”

Ah!

Baik aku maupun Mas Johan sama-sama mengenakan pakaian yang tempo hari kami beli di mall. Meskipun sebenarnya bukan sepaket tetapi warnanya benar-benar identik. Biru toska dengan sedikit aksen hitam.

“Memangnya tidak boleh?”

Aku tidak menyangka kalau Mas Johan akan meresponnya dengan pertanyaan demikian.

“Bukannya nggak boleh, tapi kalian nggak pacaran, kan?”

Lebih mengejutkan, aku hampir tersedak sekarang. Terbatuk-batuk bahkan. Untungnya, Mas Dirga dengan cepat menuangkan segelas air putih dari dalam ceret yang ada di sana.

Lihat selengkapnya